“Apa yang bakal kita lakukan selanjutnya, Jali?” tanya Reza sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Suaranya kecil hampir seperti orang berbisik. “Apa kita harus lapor polisi?”
Rojali yang tengah mematut diri di depan cermin yang berada di kamar langsung menyahut, “Yang pasti kita harus mencari informasi lain, Za.”
Reza yang tengah berbaring di kursi seketika tersedak. Ia bangun dengan kondisi terbatuk.
Rojali keluar kamar dengan tubuh yang dibalut kaus dan celana katun. “Sebaiknya kita jangan lapor ke siapa pun dulu, termasuk polisi dan bapak kamu. Saya takut masalahnya bisa jadi lebih rumit. Kita juga bisa ditanya macam-macam.”
Reza mengangguk. “Lalu?”
“Kamu masih ingat dengan orang berpakaian hitam sebelum kita masuk ke Mak Lilin?” Rojali ikut duduk di kursi.
Reza kembali mengangguk.
“Saya pikir orang itu sosok yang masuk ke gubuk tadi. Sejujurnya s
Lima orang pria berseragam serba hitam memasuki lorong panjang dengan bantuan pencahayaan obor. Jejak langkah mereka bersahutan dengan suara burung hantu yang bertengger entah di mana. Kelima wajah pria itu tertutup topeng hitam, di mana sebilah pisau bertengger di pinggang bagian kiri.Lima orang pria itu akhirnya tiba di sebuah ruangan. Atapnya ditutupi rerimbunan tanaman liar. Sisa cahaya bulan terperangkap di sela-selanya. Beberapa batu besar tertancap di sekeliling lokasi. Dinding batu yang mengelilingi mereka ditumbuhi lumut dan beberapa tanaman merambat.“Maneh duaan (Kalian berdua) periksa lorong itu dan laporkan situasinya nanti di markas,” pinta pria yang berdiri paling depan.Dua pria yang berada di pintu lorong seketika mengangguk, lalu mulai memeriksa tempat yang dimaksud.Pria yang memerintah dua orang tadi membuka topeng, menghirup oksigen dengan rakus. Pandangannya lalu menyisir sekeliling ruangan. Senyumnya seke
Note: Chapter berisi Flashback Kejadian Ujang setelah jatuh ke jurangDesa Ciboeh, 1985Seorang wanita berperut buncit baru saja terbangun. Mata sembapnya seketika mengedar ke sekeliling ruangan. Meski agak kesusahan, tangannya berhasil meraih gelas di atas nakas, lantas meneguknya hingga habis.Romlah namanya. Wanita yang tengah mengandung anak pertama hasil pernikahannya dengan sang suami. Memijat belakang perutnya, ia turun dari kasur. Langkahnya tergopoh-gopoh saat menyibak tirai kamar. Seketika pandangannya menggerus isi ruangan. Tak terlihat badan suaminya menempel di kursi seperti kebiasannya beberapa hari lalu.Romlah lalu mengikat rambut dengan karet di tangan. Dengan hati-hati, ia membuka sedikit celah tirai jendela, memandangi halaman rumah yang tampak lengang. Ia harus berperang dengan kegelapan di luar, berharap sang suami pulang membawa delima yang diinginkan. Nahas, hampir setengah jam terpaku di sana, Romlah
Pencarian Ujang dimulai keesokan harinya. Tepat pagi hari setelah matahari mengantarkan sinar hangat, para warga yang terdiri dari pemuda dan pria dewasa mulai menyisir kawasan desa. Terkhusus pencarian ke arah Mak Lilin, warga memilih berkelompok hingga sepuluh orang.“Apa kita izin dulu sama Mbah Atim, Kang?” tanya Asep yang masih berselandangkan sarung. Pandangannya menyisir kawasan gerbang pemakaman.Kelompok pencarian itu masih berjalan melewati gerbang sebelum akhirnya tiba di depan jembatan kayu.“Sebaiknya begitu, Sep,” sahut Mahmud.“Astagfirullah, Kang. Coba lihat!” pekik Cecep tiba-tiba. Telunjuknya terarah pada lubang di tengah jembatan.Asep dan Aep yang merupakan sahabat dekat Ujang langsung berlari ke tengah jembatan. Mereka terkejut ketika salah satu bagian jembatan berlubang. Niatan untuk memberi tahu Mbah Atim lenyap karena diterkam keadaan.“Apa mungkin Ujang jatuh, Sep?” tan
Para pria yang tengah berjaga di pos ronda tiba-tiba bubar setelah hujan turun. Aep adalah salah satunya. Rumahnya yang berada di ujung kampung memaksanya harus bersusah payah berlari dengan berpayung kain sarung. Terlihat sia-sia untuk mengusir air, tetapi hal itulah yang bisa terpikirkan olehnya saat ini.Suasana perkampungan yang Aep lewati tampak begitu sepi. Ia berjalan berjinjit sembari sesekali mengarahkan pandangan pada tiap-tiap pintu rumah yang ia lewati. Waktu memang belum terlalu larut, tetapi ketakutannya sudah merangkak ke ubun-ubun saat tetes hujan berkunjung ke Ciboeh.Banyak cerita yang Aep dengar tentang penampakan sosok itu dari warga saat hujan mengguyur. Tak jarang kisah itu kian menggerogoti keberanian karena sering ditambahi bumbu saat diceritakan dari mulut ke mulut. Meski sudah lama berlalu, nyatanya keangkeran pocong berbalut kain hitam itu tetap menciutkan nyali penduduk desa.Aep merengut kesal. Hujan kian deras menyapa Ciboeh. Terpak
Ilham meneguk kopinya untuk menjeda cerita, membiarkan kedua pemuda di dekatnya mencerna informasi yang baru saja dirinya bagikan.“Lalu sebenarnya apa hubungannya dengan kasus pembunuhan itu, Kang?” tanya Reza yang kini bersandar pada kaki kursi.Ilham mengembus napas panjang. Pandangannya teralih sesaat pada langit-langit ruangan. “Saya akan ceritakan sejarah desa ini dulu, dan setelah kalian mendengar semuanya, kalian akan tahu alasan di balik semua kejadian di desa ini.”Rojali memberi tanda pada Reza untuk diam. Reza mengangguk, tak banyak protes.“Saat warga menemukan rumah sudah kosong, kecurigaan warga pada orang-orang asing itu kian bertambah. Dengan amarah yang kian berkecamuk, warga kembali ke desa dan mengabarkan berita ini ke seluruh penduduk. Pencarian dikerahkan. Namun, usaha warga tampaknya sia-sia. Orang-orang asing itu tak ditemukan di mana pun.Beberapa minggu kemudian, terjadi hujan besar selama ber
Kedatangan Ilham ke Ciboeh nyatanya membuka secarik rahasia yang semula terkunci rapat. Informasi mengenai sejarah desa serta siapa sosok misterius yang penduduk desa panggil sebagai Mbah Atim mulai sedikit terkuak.Masih di kediaman Ki Udin, di tengah hujan yang kian mengganas, dua pemuda itu makin larut dalam informasi yang disampaikan Ilham. Baik Rojali dan Reza sontak berbagi pandangan saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ilham. Rona keterkejutan dengan jelas terpahat di paras mereka.“Alasan kenapa Mbah Atim datang dan menjadi penjaga makam di desa ini tak lain karena permintaan Ki Udin,” jelas Ilham.Pandangan Rojali dan Reza kembali menumbuk. Dua pemuda itu belum mampu bicara. Mulut mereka terbuka, tetapi bibir seakan enggan bicara.“Dan permintaan itu tentunya ada bukan tanpa sebab,” lanjut Ilham, “permintaan itu ada setelah Ki Udin mendengar cerita dari Mbah Atim mengenai sesuatu yang tersembunyi di desa in
Reza pulang ke rumahnya dengan membawa beragam pertanyaan. Seharian ini, pemuda itu menghabiskan waktu di dalam kamar. Masalah bengkel dan toko, ia serahkan pada bawahannya. Ia hanya keluar kamar hanya untuk urusan perut.Sebenarnya, kecurigaan Reza pada Ilham timbul saat ajakan Rojali untuk berjemaah di masjid ditolak pria itu. Ia sedikit tahu bagaimana keluarga Ki Udin. Keluarga itu bisa dibilang taat terhadap perintah agama. Jadi, aneh rasanya kalau Ilham sampai menolak ajakan tersebut. Toh, Ki Udin saat itu sudah dalam kondisi bangun.Lamunan Reza seketika buyar begitu mendengar teriakan bapaknya di pintu kamar. Pak Dede memelotot dengan tangan yang sudah berkacak pinggang. Tak ada raut ramah saat Reza bangkit dari kasur.“Aya naon, Pak?”“Aya naon, aya naon?” sentak Pak Dede, “Bapak panggil dari tadi malah cicing wae (diam aja)! Tuli kamu?”Reza segera duduk di bibir kasur, mengaca
Ucapan Ilham terjeda beberapa saat. Angin malam menerobos ketegangan yang sempat terjadi di antara ketiga pemuda itu.“Perlu kalian tahu kalau ... saya ini adalah anak dari pria yang kalian sebut sebagai Mbah Atim,” ungkap Ilham.Rojali dan Reza saling berpandangan. Mimik keterkejutan hadir meski tak berlangsung lama.“Saya sudah tahu itu,” ungkap Rojali.Ilham pikir kedua pria di depannya akan terkejut dengan penuturannya, tetapi nyatanya justru ia sendiri yang dibuat terperangah. Pria itu lalu tersenyum. “Saya teu ngira kalian bisa tau sejauh itu.”“Saya menemukan foto ini di kamar Ki Udin saat subuh tadi,” tunjuk Rojali dengan secarik kertas di tangan, “butuh beberapa waktu bagi saya untuk bisa menyimpulkan kalau ini foto Mbah Atim sewaktu muda. Selain itu, saya sudah bertanya pada salah satu saudara Ki Udin di kampung ini. Mereka mengatakan kalau Ki Udin sama sekali tidak memiliki c
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,