Share

11

Penulis: Ramdani Abdul
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-21 12:30:29

Waktu baru saja menunjukkan pukul empat sore saat Rojali berjalan ke arah teras puskesmas. Itu berarti hampir seharian ia dan Reza berada di tempat ini. Luka yang dialaminya akibat kecelakaan tadi malam memang tak seberapa. Hanya saja, bayangan peristiwa itu masih membekas di ingatan.

Beberapa warga silih berganti berkunjung untuk menengok keadaan Rojali dan Reza. Beberapa datang membawa buah dan bingkisan, yang lainnya berkunjung dengan membawa cerita mengenai penampakan pocong Mbah Atim.

Di beranda puskemas, beberapa warga sedang berkumpul. Pak Dede, Pak Yayat, Pak Juju, Aep serta dua aparat desa sudah berada di sana sejak setengah jam lalu.

Pak Dede dibantu oleh dua aparat desa membantu Reza masuk ke mobil. Saat didudukkan, beberapa kali Reza meringis dan menjerit pelan. Bisa dibilang lukanya lebih parah dibanding Rojali.

Aya-aya wae! (ada-ada saja),” sindir Pak Dede sembari melangkah menuju kursi kemudi. Ia melirik Rojali dengan

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
takawa buton
analisaku menduga kalo dibalik pembunuhan Mbah atim terlibat pak Dede dan pak rudi
goodnovel comment avatar
Iwan Kriswanto
ustadz rojali digambarkan sbg ustadz yg mantul lulusan ponpes, tp didlm ceritanya kok beda ya, kaya gmn gitu? takut sm syaiton, seharusnyakan iman dia lbh kuat...aneh aja sih.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kafan Hitam   12

    Dua hari kemudian, Rojali dan Reza bersiap pergi ke gubuk Mbah Atim. Pukul tiga dini hari, keduanya menjalankan rencana yang telah disusun. Reza bahkan menginap di rumah Rojali agar tak menimbulkan kecurigaan Pak Dede. Berbalut jaket tebal serta senter kecil, keduanya melibas pekatnya jalanan persawahan.Sampai di depan gerbang pemakaman, keduanya menstabilkan napas sesaat. Mata mereka saling berbagi arah, mengawasi keadaan sekitar, takut bila ada warga yang curiga. Saat melihat sekelebat bayangan hitam, Rojali dengan cepat menarik Reza ke balik pepohonan.Rojali memberi tanda agar Reza tak banyak bertanya. Pandangan keduanya lalu tertuju pada sesosok makhluk berkain hitam yang berdiri di ambang gerbang pemakaman.“Itu manusia, Jali,” bisik Reza yang mengamati makhluk itu berlari ke gelapnya pemakaman. Ia bisa tahu saat mengamati kaki sosok itu yang menapak di tanah. “Curiga aing.”Rojali mengangguk, menghempas keringat ya

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   13

    “Bukannya itu tujuan kita, Za? Saya yakin kalau pria yang kita lihat di gerbang pemakaman tadi masih ada hubungannya dengan orang yang masuk tadi, atau justru orang itu adalah orang yang masuk barusan,” terang Rojali.Reza mengangguk, tetapi masih diam di tempat.“Za,” panggil Rojali sembari menepuk bahu Reza.“Kamu benar, Jali.” Reza mengepalkan tangan, menghempas takut dan ragu. Masalah takut, pasti Rojali merasakan hal yang sama, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah memaksakan diri.Kedua pemuda itu lantas menuruni tangga. Mereka masuk lebih dalam dengan bantuan cahaya senter. Beberapa kali suara lolongan anjing terdengar, dan saat bunyi itu memasuki indra pendengaran, Rojali dan Reza berhenti untuk sesaat, saling menguatkan dan menyemangati lewat tatapan dan anggukan.Sampai di undakan tangga terakhir, mereka dihadapkan pada lorong panjang yang berdinding batu. Tampak rumput dan tanaman liar ikut tumbuh di

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   14

    Euis masih berkutat dengan makanan yang sedang ia masukkan ke rantang. Setelah siap, ia beranjak ke luar dapur. Sesuai amanat bapaknya, ia diminta untuk mengantar makanan pada Ki Udin, pria tua yang masih memiliki ikatan keluarga sekaligus warga paling sepuh di Desa Ciboeh. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter. Kakek tua itu seringkali sakit-sakitan. Usianya mungkin sekitar 80 tahunan. Meski sudah uzur, tetapi daya ingatnya masih tajam, tak pikun seperti orang tua kebanyakan.Matahari mulai meninggi saat Euis izin untuk mengantar makanan. Gadis itu sesekali berhenti untuk menyapa ibu-ibu yang tengah menyapu halaman. Rumah yang ditujunya berada di pinggiran perkampungan, hanya terhalang beberapa rumah lagi. Dari arahnya berjalan, terlihat rumah yang ditempati Rojali yang jaraknya cukup dekat dengan rumah Ki Udin. Hanya saja kediaman ustaz muda itu tampak sepi saat ini.Euis tiba-tiba berhenti saat melihat seorang anak tengah bermain bola di halaman. Cukup lama ia memp

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   15

    “Apa yang bakal kita lakukan selanjutnya, Jali?” tanya Reza sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Suaranya kecil hampir seperti orang berbisik. “Apa kita harus lapor polisi?”Rojali yang tengah mematut diri di depan cermin yang berada di kamar langsung menyahut, “Yang pasti kita harus mencari informasi lain, Za.”Reza yang tengah berbaring di kursi seketika tersedak. Ia bangun dengan kondisi terbatuk.Rojali keluar kamar dengan tubuh yang dibalut kaus dan celana katun. “Sebaiknya kita jangan lapor ke siapa pun dulu, termasuk polisi dan bapak kamu. Saya takut masalahnya bisa jadi lebih rumit. Kita juga bisa ditanya macam-macam.”Reza mengangguk. “Lalu?”“Kamu masih ingat dengan orang berpakaian hitam sebelum kita masuk ke Mak Lilin?” Rojali ikut duduk di kursi.Reza kembali mengangguk.“Saya pikir orang itu sosok yang masuk ke gubuk tadi. Sejujurnya s

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   16

    Lima orang pria berseragam serba hitam memasuki lorong panjang dengan bantuan pencahayaan obor. Jejak langkah mereka bersahutan dengan suara burung hantu yang bertengger entah di mana. Kelima wajah pria itu tertutup topeng hitam, di mana sebilah pisau bertengger di pinggang bagian kiri.Lima orang pria itu akhirnya tiba di sebuah ruangan. Atapnya ditutupi rerimbunan tanaman liar. Sisa cahaya bulan terperangkap di sela-selanya. Beberapa batu besar tertancap di sekeliling lokasi. Dinding batu yang mengelilingi mereka ditumbuhi lumut dan beberapa tanaman merambat.“Maneh duaan (Kalian berdua) periksa lorong itu dan laporkan situasinya nanti di markas,” pinta pria yang berdiri paling depan.Dua pria yang berada di pintu lorong seketika mengangguk, lalu mulai memeriksa tempat yang dimaksud.Pria yang memerintah dua orang tadi membuka topeng, menghirup oksigen dengan rakus. Pandangannya lalu menyisir sekeliling ruangan. Senyumnya seke

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   01 - Kafan Hitam (Part 1)

    Note: Chapter berisi Flashback Kejadian Ujang setelah jatuh ke jurangDesa Ciboeh, 1985Seorang wanita berperut buncit baru saja terbangun. Mata sembapnya seketika mengedar ke sekeliling ruangan. Meski agak kesusahan, tangannya berhasil meraih gelas di atas nakas, lantas meneguknya hingga habis.Romlah namanya. Wanita yang tengah mengandung anak pertama hasil pernikahannya dengan sang suami. Memijat belakang perutnya, ia turun dari kasur. Langkahnya tergopoh-gopoh saat menyibak tirai kamar. Seketika pandangannya menggerus isi ruangan. Tak terlihat badan suaminya menempel di kursi seperti kebiasannya beberapa hari lalu.Romlah lalu mengikat rambut dengan karet di tangan. Dengan hati-hati, ia membuka sedikit celah tirai jendela, memandangi halaman rumah yang tampak lengang. Ia harus berperang dengan kegelapan di luar, berharap sang suami pulang membawa delima yang diinginkan. Nahas, hampir setengah jam terpaku di sana, Romlah

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   01 - Kafan Hitam (Part 2)

    Pencarian Ujang dimulai keesokan harinya. Tepat pagi hari setelah matahari mengantarkan sinar hangat, para warga yang terdiri dari pemuda dan pria dewasa mulai menyisir kawasan desa. Terkhusus pencarian ke arah Mak Lilin, warga memilih berkelompok hingga sepuluh orang.“Apa kita izin dulu sama Mbah Atim, Kang?” tanya Asep yang masih berselandangkan sarung. Pandangannya menyisir kawasan gerbang pemakaman.Kelompok pencarian itu masih berjalan melewati gerbang sebelum akhirnya tiba di depan jembatan kayu.“Sebaiknya begitu, Sep,” sahut Mahmud.“Astagfirullah, Kang. Coba lihat!” pekik Cecep tiba-tiba. Telunjuknya terarah pada lubang di tengah jembatan.Asep dan Aep yang merupakan sahabat dekat Ujang langsung berlari ke tengah jembatan. Mereka terkejut ketika salah satu bagian jembatan berlubang. Niatan untuk memberi tahu Mbah Atim lenyap karena diterkam keadaan.“Apa mungkin Ujang jatuh, Sep?” tan

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   17

    Para pria yang tengah berjaga di pos ronda tiba-tiba bubar setelah hujan turun. Aep adalah salah satunya. Rumahnya yang berada di ujung kampung memaksanya harus bersusah payah berlari dengan berpayung kain sarung. Terlihat sia-sia untuk mengusir air, tetapi hal itulah yang bisa terpikirkan olehnya saat ini.Suasana perkampungan yang Aep lewati tampak begitu sepi. Ia berjalan berjinjit sembari sesekali mengarahkan pandangan pada tiap-tiap pintu rumah yang ia lewati. Waktu memang belum terlalu larut, tetapi ketakutannya sudah merangkak ke ubun-ubun saat tetes hujan berkunjung ke Ciboeh.Banyak cerita yang Aep dengar tentang penampakan sosok itu dari warga saat hujan mengguyur. Tak jarang kisah itu kian menggerogoti keberanian karena sering ditambahi bumbu saat diceritakan dari mulut ke mulut. Meski sudah lama berlalu, nyatanya keangkeran pocong berbalut kain hitam itu tetap menciutkan nyali penduduk desa.Aep merengut kesal. Hujan kian deras menyapa Ciboeh. Terpak

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21

Bab terbaru

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Ending)

    “Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Part 1)

    1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H

  • Kafan Hitam   166

    Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal

  • Kafan Hitam   165

    Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu

  • Kafan Hitam   164

    Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 6)

    Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 5)

    Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status