Perjalanan Ujang melewati hutan berakhir saat komplotan berhenti di sebuah sungai ketika bulan purnama sudah menggantung di langit. Tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringat. Betisnya serasa mau meledak karena terus dipaksa berjalan. Rasa laparnya hanya diganjal dengan rebusan ubi dan pisang yang diberikan komplotan itu tadi siang.
Ujang mencuci wajah dengan air sungai. Ia membasahi rambut untuk mengusir penat. Api tampak lahap menggerus kayu bakar. Begitu ia berdiri, seorang kakek berjenggot putih tiba-tiba muncul dari balik sebuah gubuk. Pria tua itu berjalan dengan tongkat kayu yang memiliki hiasan tengkorak di atasnya. Kalung-kalungnya menjuntai panjang hingga perut.
Serempak, enam orang pria di dekat Ujang membungkuk, sedang pria berikat kepala merah berjalan ke arah kakek berjenggot panjang tadi. Ujang sendiri hanya menatap penuh keheranan. Tiba-tiba saja Engkos mendorong kepalanya hingga membuat tubuhnya agak membungkuk.
“Segera siapkan ritualnya,&rd
Tangis haru masih menguasai kerumunan warga di depan rumah Mak Iyah. Aksi mereka seakan menjadi pengganti ucapan selamat datang bagi Ujang, pria yang sudah lama menghilang. Rojali sendiri hanya mematung di tempat tanpa bisa mengucap kata ap apun. Pandangannya mendadak kosong, dan telinganya tiba-tiba tuli, meski tangisan dan obrolan warga di depannya tampak mendominasi. Pemuda itu terperosok pada alam pikirnya sendiri. Tubuh Rojali bergoncang saat secara tiba-tiba Aep menabrak bahunya. Meski begitu, ustaz muda itu masih tak bergeming dari tempat dan pikirannya.Di sisi lain, warga silih bergantian maju ke arah depan untuk memeluk maupun menyalami Ujang. Beberapa kali bahu Rojali tertabrak. Namun, ekpresi pemuda itu masih sama.Reza yang menyadari keanehan pada Rojali segera menepuk bahu sahabatnya sekaligus memanggil namanya. Tak hanya sekali, tetapi hingga berkali-kali. “Jali!” panggilnya agak membentak.Suara Reza seketika memecah lamun
Rojali tengah bersiap-siap di kamar. Tubuh tegapnya dibalut koko berwarna merah dan celana katun hitam. Tak lupa, ia menyisir rapi rambut sebelum mengenakan peci hitam. Setelah memastikan pintu depan terkunci, ia bergerak menuju arah dapur.Rojali mengintip kediaman Ujang dari celah pintu yang sengaja ia buka. Kondisi rumah itu sudah ramai dengan para tetangga. Terlihat kumpulan bapak-bapak dan pemuda sudah duduk di kursi di depan rumah, mengobrol sembari tertawa. Jarang sekali kejadian ini terlihat, terutama semenjak peristiwa kematian Mbah Atim.Semenjak pulang dari kediaman Mak Iyah, Rojali sama sekali belum mengunjungi tempat itu. Ia hanya keluar untuk mengumandangkan azan dan mengimami salat. Aep dan Asep yang merupakan sahabat dekat Ujang tampak berada di sana semenjak siang. Wajah keduanya tampak begitu bahagia.Rojali berjalan ke arah kediaman Ujang yang jaraknya hanya beberapa langkah. Saat ia datang, bapak-bapak segera menyalami dan memintanya un
Tak lama setelah mendengar penuturan Ujang, satu per satu warga mulai meninggalkan kediaman acara syukuran. Suasana yang tadinya dipenuhi tawa juga nostalgia, segera terjamah sunyi.“Kunaon pada pulang ya, Ep? tanya Ujang di teras depan, memperhatikan gerombolan tamunya yang menjauh dari rumah. “Padahal makanan masih banyak. Biasanya juga pada dibungkus.”Aep mengembus napas panjang, membenarkan letak sarung yang sempat jatuh dari bahu. “Sa-saya juga harus pulang, Jang.”Rojali yang paling terakhir keluar dari rumah Ujang, masih berada di teras, memakai sandalnya.“Saya bareng Ustaz Rojali saja.” Aep buru-buru memakai sandal.“Kunaon kamu teh, Ep? Katanya kamu mau cerita.” Ujang berkerut bingung, sekilas menoleh pada Rojali.Aep dengan cepat menggeleng. “Kan besok masih bisa atuh, Jang.”“Oh iya, tunggu sebentar.” Ujang berjalan ke
Rojali tengah berada di kebun, tepatnya di gubuk yang dijadikan sebagai tempat menyimpan benih, menyimpan hasil panen, sekaligus tempat peristirahatan. Pemuda itu duduk sembari meneguk minuman dari batok kelapa yang airnya baru saja ia tuang dari cerek.Matahari sudah berada tepat di pertengahan langit. Dari tempatnya duduk, Rojali bisa tahu kalau beberapa warga sedang berjalan ke arahnya, membawa beberapa karung dan keranjang bambu. Begitu mereka sampai, ustaz muda itu membantu memasukkan karung dan keranjang ke dalam gubuk.“Punteun, Ustaz.” Cecep, salah satu pegawai yang mewakili beberapa orang di belakangnya berbicara. “Kami izin pulang dulu. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam,” balas Rojali dari balik pintu. Pria itu kembali ke dalam untuk mengatur letak karung dan keranjang.“Punteun,” ucap seseorang dari luar.Rojali segera membereskan barang-barang, kemudian berjalan k
Mau tak mau Ilham segera menuruti permintaan Rojali. Ia harus menyingkirkan dahaga penasaran saat melihat dua orang yang disebut tadi kian mendekat. Ilham bersembunyi di dalam gubuk, di antara susunan karung dan keranjang bambu. Syukurlah, dari persembunyiannya, ia bisa melihat keadaan depan dengan cukup jelas.Rojali sendiri bergegas menuju depan gubuk. Ia menyambut Aep dan Ujang dengan ramah. Ia mengambil beberapa batok kelapa juga cerek untuk minum. Camilan seperti rengginang, opak, wajik dan papais tak lupa ia suguhkan.“Nuhun, Ustaz,” ucap Aep sembari mengambil air dari cerek, lalu memberikannya pada Ujang, kemudian untuk dirinya sendiri.Suasana tampak cerah siang ini. Dedaunan pepaya dan pohon jeruk tampak bergoyang akibat sapaan angin. Kumpulan capung terbang bebas di lahan perkebunan.“Akang-akang habis dari mana?” Rojali bertanya.“Saya dan Asep habis ngajak Ujang ja
Obrolan dua orang itu perlahan tersapu jarak, yang tampak hanya aksi keduanya yang terus menjauh dari gubuk. Selama beberapa menit, pandangan Rojali terus tertuju pada Ujang. Tanpa sadar, tangan kanannya meremas rokok pemberian pria itu.Rojali tersadar dari lamunan saat mendengar suara dari belakang. Ia lantas memutari saung dan menemukan Ilham baru saja keluar dari persembunyian.“Apa laki-laki yang bernama Ujang itu yang kamu maksud?” terka Ilham sembari kembali duduk di papan kayu.Rojali mengangguk, ikut duduk di samping Ilham.“Kamu yakin?” Ilham memastikan.“Liontin merah itu yang membuat saya sangat yakin. Saat kita memeriksa bangunan tua di Legok Kiara, saya tidak sengaja melihat Ujang ada di sana,” ujar Rojali, “kemungkinan besar dia yang selalu mengawasi saya saat malam. Ujang adalah warga Ciboeh yang dinyatakan hilang lima tahun lalu, dan entah bagaimana kejadiannya, dia malah bergabung dengan K
Motor yang dinaiki Reza menepi di pekarangan rumah Rojali. Wajahnya tampak riang. Langkahnya terasa ringan. “Jali,” panggilnya.Reza mengetuk pintu hingga beberapa kali. Meski begitu, tak ada sahutan dari penghuni rumah.“Aya naon, Za?” Rojali muncul di belakang Reza.“Kamu dari mana?” tanya Reza.“Saya habis mengembalikan rantang ke Pak Juju.” Rojali bergerak melewati Reza, lantas membuka pintu.Reza menekuk wajah sesaat. Senyumnya menghilang seketika saat berpikir bila Rojali bertemu dengan Euis. “Ketemu Euis?”Rojali lebih dahulu masuk sebelum menjawab pertanyaan Reza. “Saya hanya ketemu Pak Juju di warung,” jelas Rojali.Reza duduk setelah meletakkan satu keresek makanan. “Itu martabak. Tadi saya beli di kecamatan.”Reza buru-buru melumat cemburu dengan senyuman. “Menurut kamu saya—”“Saya ambilkan pir
Kakek berikat kepala merah tua itu masih menutup mata, sedangkan kumpulan anggota Kalong Hideung itu memperhatikannya dari tempat mereka berjongkok. Tak ada yang berani mengganggu.Gambaran peristiwa terus berganti dengan cepat di benak kakek yang berjenggot panjang itu. Tongkat berkepala tengkoraknya kian memancarkan cahaya kemerahan. Dalam pikirannya, tergambar dua orang pemuda yang sedang menuruni tangga. Keduanya berjalan menuju lorong, lalu berhenti di sebuah lokasi.Kakek tua itu mengernyit beberapa kali. Pegangan di tongkatnya kian menguat. Dua pemuda itu tampak mengangkat sebuah kotak, lalu membuka isinya. Setelahnya, reka ulang peristiwa itu tiba-tiba menghilang.“Aing nyaho ayeuna (tahu sekarang),” ucap si kakek. Matanya kembali terbuka. “Ada dua orang yang sudah mengambil dua pusaka itu lebih dulu.”“Saha pelakunya, Pak?” tanya Badru, tak sabaran.“Sayangnya, wajah dua ora
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,