Obrolan dua orang itu perlahan tersapu jarak, yang tampak hanya aksi keduanya yang terus menjauh dari gubuk. Selama beberapa menit, pandangan Rojali terus tertuju pada Ujang. Tanpa sadar, tangan kanannya meremas rokok pemberian pria itu.
Rojali tersadar dari lamunan saat mendengar suara dari belakang. Ia lantas memutari saung dan menemukan Ilham baru saja keluar dari persembunyian.
“Apa laki-laki yang bernama Ujang itu yang kamu maksud?” terka Ilham sembari kembali duduk di papan kayu.
Rojali mengangguk, ikut duduk di samping Ilham.
“Kamu yakin?” Ilham memastikan.
“Liontin merah itu yang membuat saya sangat yakin. Saat kita memeriksa bangunan tua di Legok Kiara, saya tidak sengaja melihat Ujang ada di sana,” ujar Rojali, “kemungkinan besar dia yang selalu mengawasi saya saat malam. Ujang adalah warga Ciboeh yang dinyatakan hilang lima tahun lalu, dan entah bagaimana kejadiannya, dia malah bergabung dengan K
Motor yang dinaiki Reza menepi di pekarangan rumah Rojali. Wajahnya tampak riang. Langkahnya terasa ringan. “Jali,” panggilnya.Reza mengetuk pintu hingga beberapa kali. Meski begitu, tak ada sahutan dari penghuni rumah.“Aya naon, Za?” Rojali muncul di belakang Reza.“Kamu dari mana?” tanya Reza.“Saya habis mengembalikan rantang ke Pak Juju.” Rojali bergerak melewati Reza, lantas membuka pintu.Reza menekuk wajah sesaat. Senyumnya menghilang seketika saat berpikir bila Rojali bertemu dengan Euis. “Ketemu Euis?”Rojali lebih dahulu masuk sebelum menjawab pertanyaan Reza. “Saya hanya ketemu Pak Juju di warung,” jelas Rojali.Reza duduk setelah meletakkan satu keresek makanan. “Itu martabak. Tadi saya beli di kecamatan.”Reza buru-buru melumat cemburu dengan senyuman. “Menurut kamu saya—”“Saya ambilkan pir
Kakek berikat kepala merah tua itu masih menutup mata, sedangkan kumpulan anggota Kalong Hideung itu memperhatikannya dari tempat mereka berjongkok. Tak ada yang berani mengganggu.Gambaran peristiwa terus berganti dengan cepat di benak kakek yang berjenggot panjang itu. Tongkat berkepala tengkoraknya kian memancarkan cahaya kemerahan. Dalam pikirannya, tergambar dua orang pemuda yang sedang menuruni tangga. Keduanya berjalan menuju lorong, lalu berhenti di sebuah lokasi.Kakek tua itu mengernyit beberapa kali. Pegangan di tongkatnya kian menguat. Dua pemuda itu tampak mengangkat sebuah kotak, lalu membuka isinya. Setelahnya, reka ulang peristiwa itu tiba-tiba menghilang.“Aing nyaho ayeuna (tahu sekarang),” ucap si kakek. Matanya kembali terbuka. “Ada dua orang yang sudah mengambil dua pusaka itu lebih dulu.”“Saha pelakunya, Pak?” tanya Badru, tak sabaran.“Sayangnya, wajah dua ora
Rojali mengucap salam tatkala salat malam selesai didirikan. Ia segera mengangkat kedua tangan, berdoa pada Sang Pencipta. Sunyinya malam menambah kekhusukan. Mata terpejam, bibir mengucap keluh kesah dan keinginan.Tak berselang lama, bahu Rojali berguncang, dan tangisan pecah merobek pagi. Cukup lama emosi itu menguasai diri hingga terpaksa diakhiri saat dirinya tak sengaja melihat Reza mengintip dari tirai kamar.Rojali dengan cepat menyeka air mata, melipat sajadah, lalu menyimpannya kembali ke atas kasur. “Kamu sudah bangun, Za?” tanyanya sembari menyibak tirai. Namun, saat ia melangkah ke ruangan tengah, nyatanya Reza masih terlelap di kursi.Rojali mengembus napas panjang, memperhatikan Reza yang sepertinya tidur dalam keadaan gelisah. Beberapa kali anak kepala desa itu mengingau. Gigi geraham pemuda itu bergesekan dan mengeluarkan suara.Saat tiba-tiba Reza pingsan, Rojali segera membaringkan tubuh sahabatnya ke kursi. Reza sempat terb
“Ikut ke rumah Ki Udin?” Rojali memastikan.“Saya juga mau kirim ... makanan ke sana.” Euis dengan spontan mengambil beberapa dagangan, lalu memasukannya ke keresek.Pak Juju kembali memelotot saat melihat tingkah Euis. Pria paruh baya itu dengan cepat membawa piring kotor ke dalam warung, sedikit mencubit tangan putrinya.“Sebaiknya kamu izin dulu sama bapak kamu, Is,” kata Rojali.“Justru Bapak yang suruh saya, Kang,” ucap Euis cepat, khawatir jika Pak Juju lebih dahulu berbicara.Mata Pak Juju kian membulat bak telur ayam. Saat akan mencubit Euis, gadis itu lebih dahulu keluar dari warung.“Sebaiknya kita jaga jarak agar tidak menimbulkan prasangka,” ucap Rojali.“Baik, Kang.”Euis buru-buru menunduk saat tahu Pak Juju memelototinya. Ia segera menyusul Rojali dan berjalan di belakangnya.Tak ada obrolan selama dalam perjalanan, begitupun saa
Sudah dua minggu berlalu sejak terakhir kali Rojali menghubungi pihak pesantren, tepatnya saat diantar Reza menuju kecamatan. Meski begitu, hingga hari ini, belum ada informasi apa pun mengenai isi buku yang pesantren bagikan.Rojali menutup kalender dengan raut cemas. Kesempatan yang ia punya untuk tetap tinggal di desa ini terus menipis, hanya tersisa kurang dua minggu lagi. Namun, hingga sekarang, ia belum mendapat informasi yang dibutuhkan, perihal sosok santri palsu, juga kabar tentang Ilham. Setiap kali memikirkan hal itu, kepalanya seperti ingin meledak.Di sisi lain, Rojali juga belum memutuskan untu pergi ke Lancah Darah atau tidak. Sejujurnya, pemuda itu masih ragu untuk meninggalkan desa, terlebih mengingat hutan itu terkenal berbahaya.Rojali melepas peci begitu tubuhnya mendarat di kursi. Seperti kebiasaanya yang sudah-sudah, pandangannya seketika tertuju pada rumah Ujang. Cukup lama ia memperhatikan kediaman itu hingga harus teralih saat pint
Reza terbangun saat azan magrib berkumandang. Dengan gerakan lamban, ia keluar kamar sembari mengucek mata. Saat melewati ruang keluarga, ia melihat bapaknya tengah berjalan dari arah dapur dengan pakaian rapi.“Mau ke mana, Pak?” tanya Reza.“Bapak ada urusan sebentar di kecamatan,” jawab Pak Dede sembari merapikan kembali tampilan di depan cermin.“Terus kumaha sama rencana Reza, Pak?” Reza mengikuti Pak Dede ke teras. “Bapak ‘kan sudah janji.”Pak Dede kembali berjalan, dan Reza tetap mengekorinya hingga teras.“Jangan bohong atuh, Pak!” Reza terus merengek seperti anak kecil. Kesal karena diabaikan, pemuda itu dengan tiba-tiba memblokade jalan keluar.“Si ontohod!” Pak Dede tiba-tiba saja menggebrak pintu. Matanya memelotot dengan telunjuk yang menunjuk wajah Reza. “Maneh tidak lihat kalau Bapak buru-buru. Ini urusan penti
Reza baru saja tiba di depan rumah Euis. Sebelum turun dari motor, pria itu mengecek tampilannya sesaat. Setelah siap, ia berjalan ke arah teras, mengetuk pintu beberapa kali. Selama menunggu, ia menggosok-gosok kedua tangan untuk mengusir gugup. Meski begitu, senyumnya masih terus melekat di wajah.Reza kembali merapikan pakaian kala mendengar sahutan dari dalam rumah. Tak berselang lama, pintu terbuka dan menampilkan sosok Pak Juju.“Reza,” ucap Pak Juju sedikit terkejut. Pandangannya seketika menyisir sekeliling, mencari keberadaan Rojali.Mengerti gelagat Pak Juju, Reza segera berbicara, “Saya datang sendirian ke sini.”“Aya naon?” tanya Pak Juju, “tumben sekali.”“Saya ... ingin bicara hal penting.” Reza menggaruk tengkuknya.Hening sesaat.“Kalau begitu kita bicarakan saja di dalam.” Pak Juju membuka pintu lebih lebar, memberi akses Reza untuk
Rojali mengusap wajah dengan kedua tangan saat baru saja terbangun. Pemuda itu turun dari kasur, lalu berjalan ke arah luar. Udara dingin seketika menerjang begitu ia berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.Rojali mengembus napas panjang setelah keluar dari kamar mandi. Tetes air berjatuhan dari wajah dan rambutnya. Ia melirik sekeliling sejenak, kemudian memandangi taburan kelip bintang di langit. Suasana dini hari tampak hening dan menenangkan.Pikiran Rojali kembali melayang pada kejadian setelah isya tadi. Ia masih ingat saat harus melompat ke selokan hanya agar terhindar dari tabrakan motor yang ia duga adalah milik Reza. Awalnya, Rojali ingin mengenyahkan tuduhan jika sahabatnya itu memang berniat mencelakainya. Namun, entah mengapa hatinya justru tertuju pada dugaannya.Rojali kembali melangkah menuju rumah. Begitu ia akan membuka pintu dapur, perhatiannya teralih pada arah belakang kediaman yang merupakan persawahan. Secara samar, ia sepert
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,