Share

51

Penulis: Ramdani Abdul
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-29 18:21:43

Rojali mengusap wajah dengan kedua tangan saat baru saja terbangun. Pemuda itu turun dari kasur, lalu berjalan ke arah luar. Udara dingin seketika menerjang begitu ia berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.

Rojali mengembus napas panjang setelah keluar dari kamar mandi. Tetes air berjatuhan dari wajah dan rambutnya. Ia melirik sekeliling sejenak, kemudian memandangi taburan kelip bintang di langit. Suasana dini hari tampak hening dan menenangkan.

Pikiran Rojali kembali melayang pada kejadian setelah isya tadi. Ia masih ingat saat harus melompat ke selokan hanya agar terhindar dari tabrakan motor yang ia duga adalah milik Reza. Awalnya, Rojali ingin mengenyahkan tuduhan jika sahabatnya itu memang berniat mencelakainya. Namun, entah mengapa hatinya justru tertuju pada dugaannya.

Rojali kembali melangkah menuju rumah. Begitu ia akan membuka pintu dapur, perhatiannya teralih pada arah belakang kediaman yang merupakan persawahan. Secara samar, ia sepert

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kafan Hitam   52

    “Ujang?” Aep memastikan apa yang barusan ia dengar. “Apa Ujang juga diikuti sama seperti saya, Ustaz?”Rojali diam sesaat, lantas menggeleng. “Bukan itu maksud saya, Kang.”Aep menyandarkan punggung ke kursi, menunduk.Rojali mengambil napas panjang. Ia menyandarkan punggung ke sandarkan kursi. Suara kokok ayam mulai mendominasi kebisuan yang menjalar di antara kedua pria itu. “Saya bingung, Ustaz,” ujar Aep, “apa kaitannya saya dan Ujang dengan kelompok itu? Kok, bisa saya dan Ujang diawasi.”“Kang,” ujar Rojali dengan mimik serius.Menyadari hal itu, Ujang segera menutup mulut. Kata-katanya terpaksa ia telan kembali.“Ujang ... adalah salah satu anggota Kalong Hideung,” ungkap Rojali, “Ujang juga yang mengawasi Kang Aep selama ini.”Mendengar penuturan barusan, Aep seketika membatu. Matanya mendadak membola dan dan suara di

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-29
  • Kafan Hitam   53

    Reza perlahan membuka mata, mengerjap beberapa kali. Pria itu memegangi kepala yang masih pusing saat mencoba untuk duduk. Pandangannya dengan segera memindai sekeliling. Suasana rumahnya tampak sepi.Reza mengacak rambut beberapa kali. Wajahnya tampak kusut. Tubuhnya hanya ditutupi celana panjang, sedang bagian atasnya terekspos bebas. Ia memandangi meja yang penuh kulit kacang, juga beberapa botol minuman yang sudah kosong.Reza mengembus napas pajang, menarik rambut kuat-kuat ke belakang. Lampu tengah rumah masih menyala meski waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Selama beberapa menit, ia hanya diam.Reza bergerak ke arah samping, membuka tirai lebar-lebar. Matanya dengan cepat menyipit saat serbuan cahaya menyerang. Ia lantas membuka pintu depan setengah. Tak dilihatnya sandal atau sepatu yang sering dipakai Pak Dede bekerja.“Bapak pasti tidak pulang semalam dan memilih langsung ke desa,” ujar Reza sembari merebahkan diri kur

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-29
  • Kafan Hitam   54

    “Za.” Rojali berusaha bersikap tenang meski ia tahu kalau Reza sudah tersulut emosi. Ia tak tahu apa penyebabnya sehingga anak kepala desa ini semarah itu padanya.“Anj*ng maneh!” maki Reza tiba-tiba. Tangan kanannya seketika menyerang Rojali.Rojali berhasil menghindar dengan cara mundur. “Za,” ucapnya setengah tak percaya.“Modar sia (mati kamu)!” Reza sudah dilahap emosi. Dengan beringas, ia menyerang Rojali dengan pukulan dan tendangan yang silih berganti.Rojali sama sekali tak membalas. Ia memilih menghindari semua bogeman dan sepakan Reza. “Kamu tenang, Za!” ucapnya setengah membentak.“Gandeng sia (berisik kamu)!” Reza kian murka, terlebih saat tahu kalau Rojali dengan mudahnya menghindari semua serangannya. “Gara-gara maneh, hirup aing jadi kacau!”Rojali sengaja mengendurkan penjagaan. Alhasil, ia mundur beberapa

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-29
  • Kafan Hitam   55

    Desa Ciboeh masih diguyur hujan. Hingga waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, bulir air dari langit masih setia membasahi tanah dan perumahan warga. Di salah satu teras rumah penduduk, seorang pria masih anteng menghisap rokok. Sudah hampir lima batang ia habiskan sendiri. Asbak di sampingnya telah disesaki abu dan tumpukan batang rokok.Aep melempar rokok ke genangan air di depannya. Pandangannya lurus ke depan. Sesekali pria itu menggosok-gosok tangan, kemudian menempelkan ke pipi. Aep merogoh saku depan, lantas menyalakan kembali rokok terakhirnya.“Kunaon kamu, Ep?” Pintu rumah terbuka, menampilkan sosok Asep yang membawa sepiring ubi dan kacang rebus. Pria itu lantas duduk di samping Aep.Ditanya demikian, Aep hanya menggeleng, kian dalam menyedot rokoknya, mengepulkan asap tinggi-tinggi.“Saya tahu kamu punya masalah,” kata Asep sembari ikut menyalakan rokok. “Saya kenal kamu sejak kecil. Jadi saya tau

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Kafan Hitam   56

    “Kamu kenapa dari tadi diam saja, Ep?” tanya Ujang yang tengah membersihkan diri di pancuran.Aep tak menjawab. Tangan dan bibirnya masih asyik dengan rokok, sedang pandangannya memindai luasnya persawahan. Pria itu tengah duduk di atas batu di pinggir sungai setelah seharian bekerja di sawah. Tumpukan karung berisi rumput segar berjajar tak jauh darinya.“Sok atuh cerita sama saya kalau kamu punya masalah,” ujar Ujang sembari berusaha naik ke atas batu, kemudian duduk di samping Aep. “Saya tahu kalau kamu punya masalah.”Aep mengembus napas panjang. “Ucapan kamu sama persis seperti ucapan Asep semalam, Jang.”Ujang diam sejenak. “Ya wajar atuh, Ep. Saya sama Asep itu teman kamu dari kecil. Sok atuh cerita.”Aep melempar rokoknya ke aliran sungai. “Si Rojali, Jang.”“Maksudnya Ustaz Rojali?” koreksi Ujang dengan wajah yang sengaja d

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Kafan Hitam   57

    “Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu sama Reza?” tanya Ilham sembari menyimpan satu tangannya di bahu Rojali.Rojali tak langsung menjawab. Ia lebih dahulu memindai sekeliling lapangan, berharap sosok Reza tiba-tiba muncul. Angin menerjang kebisuan yang mendadak muncul. Baik Ilham maupun dua anggota Kalong Hideung sama-sama menunggu jawaban Rojali.“Sepertinya Reza salah paham mengenai saya,” jawab Rojali sembari berbalik, berhadap-hadapan dengan Ilham. “Saya juga salah karena tidak jujur sama dia dari awal.”“Salah paham soal apa?” Ilham bertanya.Rojali mengembus napas panjang, diam sesaat lantas berkata, “Reza ... marah karena dia pikir saya meremehkan dia. Dia juga marah karena merasa saya selalu bertindak sendirian tanpa pernah diskusi atau mendengar pendapat dia lebih dulu.”Ilham masih di posisinya, begitupun dengan kedua anggota Kalong Hideung di atas sana.“Selain

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Kafan Hitam   58

    “Siapa mereka, Kos, Jang?” tanya seseorang yang berjalan dari arah belakang.Ujang dan Engkos masih menggeliat di tanah, lalu begitu mendengar suara barusan, segera bangkit.Sesosok pria tua tiba-tiba muncul dari kegelapan. Tongkat tengkorak yang menancap di tanah dengan cepat kembali ke genggamannya. Di belakang kakek tua itu, sosok pria berikat kepala merah ikut muncul.“Mereka ... Rojali dan Ilham, Ki,” jawab Engkos.“Rojali?” Kakek berjenggot putih itu memastikan.Engkos mengangguk.“Rojali sudah tahu identitas saya dan Engkos,” timpal Ujang.Kakek tua yang biasa dipanggil Ki Jalu itu tersenyum, lantas mengentak-entak tanah dengan tongkat.“Bagaimana bisa?” tanya Badru dengan tatapan memelotot. Ia yang hendak maju dihadang oleh tongkat Ki Jalu.“Dia cerdik, Kang,” balas Engkos. Wajahnya mendadak pucat. “Saya juga tidak tahu bagaimana

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30
  • Kafan Hitam   59

    1 Jam sebelum kejadian Reza tengah duduk termenung di dalam kamar sambil memegangi secarik kertas di tangan kanan. Pemuda yang saat ini bertelanjang dada itu sesekali mengacak rambut bingung. Tertulis di kertas tersebut bahwa Rojali akan menunggunya di lapangan, tepat di bawah pohon beringin.Bentuk surat itu nyatanya sudah lecek. Saat pertama kali melihatnya, Reza langsung membuangnya ke tempat sampah. Namun, setengah jam kemudian, ia kembali memungutnya.Di satu sisi, Reza masih dendam terhadap Rojali atas kejadian beberapa hari lalu. Ia juga sengaja mengabaikan ustaz muda itu berkunjung ke rumah atau berpapasan di jalan. Akan tetapi, di lain hal, ada perasaan ingin menolong, terlebih Rojali sudah banyak membantunya selama ini. Saat ini, Reza tengah bertarung dengan emosinya sendiri.“Any*ng!” maki Reza frustrasi. Dengan cepat ia melempar kertas tersebut ke luar jendela ya

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-30

Bab terbaru

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Ending)

    “Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Part 1)

    1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H

  • Kafan Hitam   166

    Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal

  • Kafan Hitam   165

    Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu

  • Kafan Hitam   164

    Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 6)

    Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 5)

    Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status