Welcome hari senin jangan lupa baca terus KUTUKAN LELUHUR ya sebagai Prequel cerita dari WARUNG TENGAH MALAM vote dan komen ya agar saya terus semangat upload setiap harinya
Jangan menilai buku dari halaman depannya saja. Mungkin, itulah yang sebenarnya terjadi kepada Bagja akan apa yang dilakukan istrinya selama satu tahun lebih ini. Hidup di dunia pementasan, yang mengandalkan panggung ke panggung. Selalu mengalami pasang surut akan karirnya, tidak semuanya akan sukses menjadi primadona ketika kita tampil dan menampilkan keahlian kita di depan banyak orang. Dan hal itu yang dialami oleh Iceu, Iceu yang kini mulai menapaki karirnya lagi sebagai penari jaipong di pagelaran seni milik teman bapaknya, harus memulai kembali dari nol. Tidak ada sikap hormat ketika dia bergabung dengan para penari jaipong yang lain, para pemain gamelan, sinden, alok (penyanyi pria), hingga penata panggung. Mereka semua menganggap Iceu adalah anak baru yang tidak mempunyai skill apa-apa, tidak seperti dirinya dahulu. Sewaktu dia ikut ibu dan bapaknya, yang seringkali dihormati oleh seluruh anggota dari pagelaran bapaknya ketika dia dating untuk pentas. Namun, ketika dia kini
“A, Iceu nanti berangkat nari lagi ya, kebetulan ada pentas lagi malam ini,” Kata Iceu dengan suara merdunya izin kepada suaminya yang terlihat sibuk menyiram tanaman di depan rumahnya yang dia rawat untuk menghabiskan waktu. “Pentas kemana Ceu?” Kata Bagja “Gak tahu A, soalnya yang punya pagelaran gak ngasih tahu, ” Katanya sambil duduk di kursi depan rumah. “Owh ya sudah, hati-hati ya di jalan, kalau sudah beres jangan langsung pulang, tunggu pagi aja dulu, takut ada apa-apa kalau pulang sendirian malem-malem, ” Kata Bagja sambil tersenyum kepada istrinya. “Asik, makasih ya A,” Katanya sambil memeluk Bagja dari belakang. “Iya Ceu, iya. ” Waktu terus berlalu, malam yang bicarakan Desi akhirnya tiba. Biasanya, ketika ada pementasan, akan ada sebuah truk besar dengan beberapa mobil tua berwarna biru muda yang sudah sangat kusam muncul di terminal kecil Kampung Parigi, untuk menjemput para penari, pemain gamelan, juga orang-orang yang membantu jalannya pertunjukan. Namun, kali ini
“Waaaahhh, luas sekali ruangannya.” Mata Iceu begitu terkesan, tepat ketika pintu rumah besar itu dibuka. Dia melihat sebuah ruangan yang besar dengan tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu jadi di empat sisi. Ruangannya tampak sangat bagus, lampu-lampu minyak berjejer di dinding, juga ada sebuah lampu minyak besar yang menggantung layaknya lampu gantung orang kaya yang ada di kota-kota besar pada waktu itu. Sebuah karpet berwarna merah dengan corak-corak bunga menghiasi ruangan tersebut. Juga beberapa meja panjang di kiri dan kanan yang berisi makanan dan minuman yang bisa diambil dengan sesuka hati oleh mereka yang ada di ruangan itu. Mereka berjalan perlahan, melewati beberapa orang yang melihat mereka dengan seksama. Orang-orang yang memakai kemeja dan memakai pangsi hitam, juga para ibu-ibunya yang memakai kebaya menatap mereka dengan tatapan yang penasaran. “Yu, kita ketemu sama yang punya rumah dulu.” Kata Desi yang mengajak Iceu sambil tersenyum. Iceu hanya mengangg
Dua jam berlalu, akhirnya sesosok bayangan perempuan datang ke arah Desi yang sedang menunggunya di atas motornya di dalam kegelapan, seperti tidak ada rasa takut untuknya ketika menunggu di depan kampung yang gelap gulita dan tanpa ada penerangan sama sekali. Hanya bermodalkan lampu motor yang terus-menerus menyala untuk meneranginya pada malam itu. “Desss!” Kata Iceu yang datang ke arahnya, lengkap dengan pakaian tari yang belum sempat dia ganti sekarang. Desi pun tersenyum, tampaknya dia sukses untuk menari di dalam rumah besar itu. Rumah besar yang akan membantunya untuk membuat dia lebih sukses dari sebelumnya, dan akan bisa mendapatkan saweran dari para penonton yang menonton pertunjukannya kelak. “Bagaimana nari nya? Lancar,” Kata Desi sambil berdiri dan menyender ke arah motornya yang menyala. “Lancar Des, tapi benda yang tadi berikan ternyata ditanamkan ke wajahku dan akan berdampak pada tubuhku nantinya,” Kata Iceu yang masih ragu. “Tunggu aja Ceu, nanti keliatan ko perb
“Haaaah, maksudnya gimana?” Aku malah bingung dengan apa yang dibicarakan Pak Brata pada saat itu. “Iya, ada sesuatu hal yang selama ini ditutup-tutupi oleh Iceu. Dan aku juga baru tahu dari Desi bahwa dia sengaja melakukan hal itu, seperti layaknya Desi dulu ketika aktif menari.” “Awalnya aku marah kepada Desi, kalau ada hal dibalik itu. Aku tidak akan melakukan hal itu dengan Iceu,” Kata Pak Brata yang melirik Desi yang duduk di sebelahnya. Sedangkan Desi, hanya tertunduk. Dia seperti takut untuk mengungkapkan semua di depanku pada saat itu, seperti ada suatu aib yang dia sembunyikan. “Iya Kang, jadi apa yang Akang bilang tentang Nyi Mayang Sari, sebenarnya dia bukanlah manusia, dia adalah makhluk yang menjadi penghuni dari salah satu tempat di Gunung Sepuh ini.” “Karena, pada malam-malam tertentu, Gunung Sepuh biasanya berubah. Menjadi perkampungan yang ramai, dan Iceu sengaja aku ajak untuk menghibur para makhluk yang ada disana dalam wujud manusia.” “Nyi Mayang Sari adalah s
Malam semakin larut, bintang-bintang yang berhamburan hanya bisa menjadi saksi bisu atas apa yang terjadi di Kampung Parigi pada waktu itu. Semua yang ditutup-tutupi oleh Iceu kini terkuak secara perlahan, dan ternyata itu ada hubunganya dengan sesuatu yang ada di Gunung Sepuh, dan itu adalah jawaban dari kejanggalan yang terjadi pada dirinya semasa hidup. Bagja, seorang suami yang sangat mencintai istrinya kini sedikit kecewa. Kecewa akan istrinya yang dianggap telah melakukan sesuatu di Gunung Sepuh seperti perkataan dari Abah Ido, karena tidak pernah sekalipun dia berkata bahwa dia bersentuhan dengan hal-hal yang gaib. Bahkan dia tidak pernah menemukan sesajen atau ritual tertentu di dalam rumah ketika mereka masih berumah tangga. “Lamun maneh nyaah ka pamajikan maneh, udag ka Gunung Sepuh peuting ayeuna. Pamajikan maneh aya anu kaiket ku salah sahiji makhluk Gunung Sepuh, makhluk anu osok di pake ku awewe jang menta susuk di jero gunung. (Kalau kamu sayang kepada istrimu, kejar k
Kondisi malam hari di Kampung Parigi dan Kampung Sepuh sangatlah berbeda, Kampung Sepuh ketika malam seperti sudah menjadi milik para makhluk untuk berkeliaran. Mereka akan muncul dan mengganggu siapa saja yang pada malam itu masih berada diluar rumah, dan akan membuat mereka lari ketakutan dan tidak akan mau untuk keluar di malam-malam sesudahnya. Apalagi kondisi persawahan, sawah yang sudah berpuluh-puluh tahun tidak pernah didatangi oleh para manusia ketika malam hari. Kini menjadi surga bagi hewan-hewan malam untuk beraktivitas tanpa sekalipun diganggu oleh manusia. Belut, ikan gabus yang sering dicari oleh para warga untuk dimakan dan dijual pun bisa hidup bebas dan tenang disana, sehingga mereka bisa berkembang biak tanpa akan khawatir akan ada manusia yang mengambilnya setiap malam. Namun, ada saja yang menganggap hal itu sebagai tantangan. Ketika para warga Kampung Parigi yang sering ngadamar (mencari belut di malam hari), mencoba mencari belut dan ikan gabus di area persawa
“Amat!” Bagja tiba-tiba menoleh, sesaat ketika aku menepuk bahunya pada saat itu. Seperti muncul sebuah harapan dari dalam dirinya, wajahnya yang tampak kusam dan pucat tiba-tiba menangis, menangis dengan keadaan yang putus asa karena dia sudah tidak tahu harus meminta tolong siapa lagi akan hal ini. Dia mendekatiku sambil terduduk, bajunya yang kusam dengan banyak sekali lumpur sawah yang menempel disana, membuat aku yang melihat pun sedikit iba. Sepertinya banyak hal yang terjadi pada dirinya sehingga tubuhnya bisa seperti ini. “Mat, tolongin aku Mat, aku tahu kamu anaknya Pak Darsa, setidaknya kamu mempunyai kemampuan seperti Bapakmu untuk bisa menyematkan istriku Mat.” “Tolongin aku Mat, tolong. Aku tidak mau istriku gentayangan lagi meneror warga, sudah cukup dia dicap tidak baik oleh mereka semasa hidup, dengan profesi yang menurut mereka buruk.” “Tapi tolong, aku tidak mau ketika istriku meninggal, cap buruk yang melekat kepada istriku ini semakin bertambah dan tidak bisa d