Tubuhku sekarang lemas dan tidak berdaya, penyakit yang selama ini menggerogotiku semakin hari semakin bertambah parah. Aku hanya bisa terbaring lemas di sebuah kasur di dalam rumah, meskipun banyak yang datang dan pergi setiap harinya untuk sekadar menjengukku. Namun rasanya aku begitu hampa.
Sudah hampir satu minggu, aku tidak menjalani tanggung jawab yang aku emban. Tanggung jawab yang diturunkan turun-temurun dari kakekku, semua apa yang ku pelajari ternyata menjadi duri pada akhirnya.
Memang, kakek dan kakek buyutku pernah mengalami kejadian serupa yang aku alami sekarang sebelum dirinya melepaskan nyawanya dengan susah payah, dan hal itu juga yang aku khawatirkan pada diriku sekarang ini.
Sehingga aku tidak ingin mengajarkan apa yang sudah aku pelajari dari Bapak hingga saat ini, kepada anak semata wayangku yang saat ini sedang kuliah di kota besar. Menggapai cita-citanya setinggi langit, tanpa harus terjebak oleh rutinitas dan tanggung jawab yang diemban olehku.
Aku sengaja tidak memberinya kabar, dia tidak tahu kabarku kalau bapaknya sedang sakit parah dan hanya bisa terbaring di atas kasur pada saat ini.
Apakah aku akan meninggal sekarang, meninggalkan semua yang telah aku lakukan dengan hasil yang masih belum tentu. Aku hanya bisa berharap bahwa tanggung jawab ini akan hilang seiring berjalanya waktu, dan istriku bisa menjalani kehidupannya sesudah aku tiada.
Aku juga berharap bahwa anakku bisa membawa ibunya tinggal di kota besar, menjalani hari-harinya tanpa sekalipun terbebani atas apa yang aku alami sekarang.
Karena aku lelah atas misteri yang mengelilingi hidupku ini, dan menjalani hidup yang sangat berbeda dengan orang lain.
Aku ingin anakku tidak mengikuti jejakku, semua yang aku dapatkan dari kakeknya tidak akan aku turunkan kepada anakku satu-satunya. Karena, dia tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang leluhurnya perbuat dahulu.
“Buuuu, Ibuuuu! ”
Cough, Cough.
Drap drap drap
Terdengar langkah kaki istriku yang berlari-lari kecil dari depan pintu untuk menghampiriku, wajahnya tampak panik setiap harinya. Melihat ku yang sakit parah dan hanya bisa tertidur di atas kasur di tengah rumah.
“Iya ada apa Pak, Bapak butuh sesuatu? ” Kata istriku.
Cough, cough.
“Bu, sepertinya ada sesuatu hal yang harus aku bilang. Sepertinya waktuku tidak lama lagi, keilmuan ku ternyata memperlambat umurku hingga batinku tersiksa, aku harus melepaskan keilmuan yang aku pelajari dari leluhurku. Yang diajarkan secara turun-temurun. ”
“Namun, aku khawatir. Ketika aku melepas semuanya, aku takut nyawaku akan ikut hilang. Bersama dengan hilangnya keilmuan yang aku pelajari, " Kataku kepada istriku yang sedang duduk di depanku.
Kulihat istriku hanya terdiam melihat aku berbicara seperti itu. Namun terlihat, perlahan-lahan sebuah tetesan air mata mengalir dari matanya dan jatuh ke tanganku yang dia pegang.
Aku pun tak kuasa menahan sedih melihat istriku yang seperti ini. Namun, memang ini sudah batasku, aku tidak bisa hidup lebih lama. Untuk menemukan sesuatu yang belum aku pecahkan selama ini.
“Jaga Ujang ya Bu, jangan sampe Ujang harus mengemban apa yang sudah aku lakukan selama ini. Biarkan dia hidup seperti layaknya anak muda yang lain.”
“Aku tidak ingin Ujang terjebak seperti ku, bertanggung jawab atas apa yang tidak dia perbuat semasa hidupnya. ”
“Dan akhirnya harus berakhir mengenaskan seperti aku pada saat ini, dan hal itu juga yang terjadi pada kakeknya Ujang dan leluhurnya. ”
“Kasih tahu saja ketika aku sudah tiada Bu, dan jangan biarkan dia pulang sebelum dia menyelesaikan kuliahnya. Jangan sampai kabar duka ini mengganggu kuliahnya kelak, karena pasti dia tidak akan fokus apabila kabar duka ini terdengar olehnya. ”
Tap, tap, tap
“Amaatt! ”
Seseorang berteriak dari arah depan rumah, dan terlihat Aki Karma yang terengah-engah berlari dari arah luar setelah dia memarkirkan kendaraan di depan warung.
“Mat, kunaon maneh? (kenapa kamu? )”
“Aduh, kenapa sampe bisa parah gini? ” Kata Aki Karma yang panik melihat sahabatnya yang terbujur tidak berdaya di atas kasur.
Aku hanya bisa tersenyum melihat Aki Karma, seorang sahabat yang senantiasa membantuku dan istriku ketika aku perlu sesuatu. Sebagai rasa budi yang dia rasakan ketika dia terjebak di Gunung Sepuh beberapa tahun yang lalu. Dan kali ini, dia menjadi sahabat sekaligus teman berdiskusi apabila ada sesuatu hal yang perlu dibicarakan tentang Kampung Sepuh. Kampung yang aku tinggali saat ini.
“Ki, dah pulang? Katanya ada keperluan dua minggu ini di kota. ” Kataku sambil tersenyum ke Aki Karma.
“Aku pulang karena mendengar kabar tentangmu Mat. "
“Mat, kita ke dokter yuk, kita ke rumah sakit. Biar aku nyari dana ke teman-temanku yang ada di kota, yang pasti kamu harus sehat dulu, ” Katanya yang tampak panik.
Namun, aku hanya menggelengkan kepala. Penyakit ini datang bukan tanpa sebab, seharusnya aku sudah tiada saat ini, namun ada suatu keilmuan pada diriku yang membuat aku masih bisa tersadar. Meskipun badanku sudah seperti mayat.
“Bu tolong berikan foto itu kepada Aki Karma. ” Kataku sambil menunjuk ke arah tumpukan dus-dus yang ada di atas lemari, dengan tangan yang gemetar tak karuan.
“Foto yang mana Pak? ” Kata ibu sembari berjalan ke arah lemari itu, rasa sedih masih terlihat dari raut wajah istriku. Karena mungkin hari ini, adalah hari di mana dia bertemu denganku terakhir kalinya.
“Foto usang yang diturunkan dari leluhurku Bu,” Kataku.
Istriku menurunkan dus-dus dari atas lemari, mencoba mencari-cari foto yang sudah aku ucapkan.
Sebuah foto usang yang diturunkan turun temurun dari leluhurku, dan akibat foto itu juga. Aku sudah menjelajahi banyak tempat sekitar kampung dan Gunung Sepuh.
Sebuah misteri yang harus aku pecahkan, namun akhirnya sia-sia. Karena aku tidak menemukan petunjuk apapun hingga saat ini. Semuanya terasa buntu, bahkan aku merasa putus asa dan merasa lelah.
“Ini Pak,” Kata ibu sambil menyodorkan.
Aku hanya mengangguk dan menyuruhnya untuk memberikan foto itu kepada Aki Karma yang ada di sebelah istriku.
“Ki, bisa kamu jaga foto itu. Aku tidak yakin sebenarnya, menjauhkan Ujang dari tanggung jawab yang harus dia emban. Namun, apabila apa yang aku harapkan tidak terjadi dan Ujang datang kembali ke kampung ini, berikan foto itu sebagai petunjuk atas apa yang harus dia lakukan. ”
“Masalah Ujang akan menerima atau tidak, biarkan dia sendiri yang memutuskan. Karena dia sudah dewasa. ” Kataku.
“Aku sekarang akan melepas semua keilmuanku sekarang. Semua keilmuan yang aku pelajari dan akhirnya malah membuat aku menderita, aku akan keluarkan semua.”
“Namun ketika nyawaku ikut terlepas, berarti sudah saatnya aku pergi. Karena seharusnya seminggu yang lalu aku sudah tiada, namun karena keilmuanku, aku masih tersadar,” Kataku kepada istriku dan Aki Karma.
Istriku hanya menunduk namun tetesan dari air mata mengalir dengan rasa sedih yang mendalam, begitu pula sahabatku yang ada di sisinya. Dia seperti menahan rasa sedihnya karena di depannya adalah sahabat satu satunya ketika dia memutuskan untuk tinggal di Kampung Sepuh ini.
Akhirnya aku merapalkan beberapa mantra, mantra yang aku pelajari sewaktu muda. Demi bekal untuk menjalankan tanggung jawabku semasa aku hidup.
Sakit, tubuhku terasa sangat sakit. Namun, aku harus melepaskan semua keilmuan yang aku miliki sekarang. Dan semakin lama, aku semakin lemas dan tidak berdaya.
Mataku berkunang-kunang dan perlahan-lahan pandanganku tidak jelas, namun memang ini yang harus aku lakukan. Dan akhirnya aku tersenyum kepada mereka berdua, sebelum Mataku tertutup sepenuhnya di depan mereka berdua.
Namaku Amat Darsa, seseorang yang tinggal di suatu kampung yang terpencil di daerah Selatan Jawa Barat. Namun semua orang yang mengenal ku memanggilku dengan nama Amat.Kali ini aku sedang duduk di salah satu ruangan sekolah yang letaknya lumayan jauh dari tempatku tinggal. Dan hari ini pada tanggal 16 Juli 1980 aku baru saja lulus sekolah menengah atas, dan hari ini adalah hari dimana aku diberikan surat kelulusanku.Di kampung tempat ku tinggal, hanya ada satu sekolah. Yaitu sekolah dasar, sedangkan untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Aku harus berjalan sekitar beberapa kilometer ke kampung sebelah untuk sekolah, melewati persawahan luas dan sungai yang menjadi perbatasan kampung hanya untuk sekolah setiap paginya.Terlihat, dari total 20 kursi yang ada di kelas tersebut, hanya setengahnya terisi, karena kebanyakan orang-orang yang sepantaranku. Hanya bisa melanjutkan sekolah hingga Sekolah Menengah Pertama.Mereka lebih memilih un
Kampung Sepuh, sebuah kampung yang berada di pegunungan di daerah Selatan Jawa Barat. Kampung kecil yang dihuni oleh beberapa puluh rumah dengan akses jalan yang sangat sulit untuk dilalui.Meskipun di tahun ini Kampung Sepuh sudah mulai berbenah diri, namun pada tahun 1980 an. Kampung ini sangatlah terisolir, tidak ada listrik di tiap rumah, jalanan yang masih berbatu, juga Akses yang sangat sulit dicapai.Bahkan para warga Kampung Sepuh, harus rela berjalan beberapa kilometer hanya untuk pergi ke pasar atau ke Kantor Desa yang berada di Kampung sebelah.Untuk ke kota saja, para warga kampung harus menempuh waktu selama delapan jam lamanya, dengan jalanan yang cukup terjal dengan banyak hutan dan gunung yang harus dilewati agar bisa sampai ke kota besar.Namun pesona Kampung Sepuh di mata beberapa orang adalah suatu tempat yang harus mereka tuju, terutama bagi orang-orang yang mempunyai kesulitan dalam hidupnya. Dan ingin memakai cara yang mungkin saja b
Gelap dan sunyi, itulah gambaran Kampung Sepuh pada tahun 1980 an. Tidak ada listrik sama sekali di kampung sepuh pada tahun itu. Sehingga, hanya lampu minyak, lilin dan petromax yang menemani malam para warga kampung seumur hidupnya.Tidak ada gemerlap lampu-lampu yang berjejer di depan rumah, tidak ada suara lalu lalang kendaraan dengan lampu-lampunya yang menyilaukan mata, juga tidak ada lampu senter yang setia menemani para warga ketika akan bepergian.Sehingga Kampung Sepuh terlalu sunyi dan sepi. Hanya cahaya bulan dan bintang-bintang saja yang menemani suasana malam mereka, dan itu terus-menerus berlanjut hingga pagi tiba.Meskipun begitu, tampaknya ada satu titik cahaya kecil. yang menerangi tempatnya setiap malam, sebuah titik cahaya yang terang dari lampu minyak yang disimpan di luar. Sehingga cahaya tersebut terlihat dari kejauhan, di mana rumah di sekitar mereka gelap gulita. Dan hanya ada cahaya yang terlihat dari sela-sela bilik bambu dan kayu yang
Hah hah hahJantungku berdegup sangat kencang, keringat dingin membasahi tubuhku hingga membuat pakaianku basah kuyup akibat keringat yang keluar dari tubuhku pada malam itu.Sudah lima kali aku berlari, mencoba menjauhi tempat yang aku tempati sekarang. Namun, aku kembali lagi ke tempat ini dengan perasaan takut terus-menerus menghantuiku saat ini.Hutan Gunung Sepuh semakin malam semakin gaduh, suara-suara hewan malam kini saling bersahutan. Mereka saling berirama satu sama lain, memainkan simponi yang mencekam apabila di dengarkan oleh manusia yang terjebak di dalamnya.Angin malam yang entah dari mana seringkali berhembus ke arahku, menerbangkan daun-daun kering yang berjatuhan di tanah di sekitar pepohonan hutan yang gelap dan menyeramkan itu.Disaat orang-orang sedang terlelap tidur dengan hangat nya selimut mereka, aku harus merasakan kedinginan dan rasa putus asa yang semakin membuat aku bingung dan sedih di tempat ini."Apa mungkin
Apabila kita sedang tersesat di dalam hutan ketika malam hari, kita biasanya melihat beberapa titik-titik cahaya. Sebuah titik-titik cahaya suatu kampung dari kejauhan, yang bisa menjadi petunjuk arah ketika kita sedang tersesat.Namun berbeda dengan hutan Gunung Sepuh, satu-satunya kampung yang paling dekat dengan hutan tersebut adalah Kampung Sepuh. Yang di mana, kampung tersebut sangatlah gelap pada malam hari.Tidak ada satu pun manusia yang sengaja menyalakan lampu minyaknya di depan rumah, juga menyalakan obor-obor di pinggir jalan untuk menerangi jalanan.Mereka hanya menyalakan lampu minyak dan petromak di dalam rumah, dan tidak sekalipun berani untuk menyalakan cahaya-cahaya itu di luar rumahnya.Apalagi cahaya-cahaya yang muncul di Gunung Sepuh selain cahaya bulan yang muncul secara tiba-tiba di tengah gelapnya hutan Gunung Sepuh ketika malam tiba.Hanya ada dua kemungkinan, yang pertama adalah cahaya tersebut muncul dari senter-senter ma
Srak srak srakSuara-suara langkah kaki kini terdengar dengan cahaya obor yang menjadi satu-satunya penerang jalan di dalam hutan tersebut, dengan yang dipenuhi oleh pepohonan dan semak-semak hutan di sisi dan kanan jalan.Semakin aku berjalan, semakin banyak daun-daun kering yang menutupi jalanan setapak itu. Karena mungkin saja, jalanan tersebut jarang sekali dilewati oleh manusia.Aku berjalan bersama seorang nenek tua yang kini berjalan pelan di depan ku, seorang nenek dengan senyumnya setiap kali dia berkata kepadaku, sehingga membuatku tidak lagi merasa ketakutan ketika dia berada di dekatku.Dengan santainya nenek tersebut berjalan di tengah-tengah hutan, tanpa ada rasa takut dengan para makhluk yang sering menampakan dirinya di hutan Gunung Sepuh ini ketika malam tiba.Aku memang sempat ragu dengannya, aku seperti tidak mempercayai nenek yang ada di depanku itu. Karena aku berpikir, bahwa dia adalah makhluk yang sama dengan apa yang a
Sebuah gubuk kecil di dekat tebing yang menjulang tinggi di tengah hutan, gubuk yang sepertinya sudah lama dibangun dan ditinggalkan oleh penghuninya, yang tak lain adalah para manusia yang melakukan perjanjian di hutan ini dan mengharuskan dirinya untuk menginap. Bekas gubuk tua tersebut akhirnya dipakai oleh nenek yang ada di depanku untuk dijadikan tempat tinggal, dia sendirian di hutan belantara, tanpa sedikitpun berinteraksi dengan para warga kampung yang mungkin saja akan membantunya apabila dia muncul dari hutan dan meminta pertolongan. “Geus ulah dipikiran Cu, keun bae, maranehna mah moal wani ngadeketan Nini, (Sudah jangan dipikirkan Cu, biarkan saja, mereka tidak akan berani mendekati Nenek, )” Kata nenek tersebut sambil naik ke depan gubuk itu dengan obor yang masih menyala di tangannya. Aku yang berhenti sejenak di depan gubuk, karena aku merasa seperti ada banyak sekali yang mengawasiku di tengah hutan, membuat nenek itu tiba-tiba berbicara dan m
Sebuah lampu minyak yang menyala terang dengan cahayanya yang kemerah-merahan membuat suasana di dalam gubuk itu terasa seperti rumah-rumah di Kampung Sepuh pada umumnya.Kini, aku terlihat sedang lahap memasukan potongan-potongan daging ke dalam mulutku. Dengan lahap aku terus-menerus memakan makanan yang disajikan oleh nenek tersebut, seorang nenek yang baik yang mengajakku untuk beristirahat dari gelapnya hutan Gunung Sepuh ketika malam tiba.Suara barang-barang yang saling beradu terdengar olehku dari ruangan belakang, sepertinya nenek tersebut sedang menyiapkan sesuatu lagi untukku. Dan di dalam hatiku, aku pasti akan kembali ketempat ini ketika sudah bisa pulang ke rumahku, dan membawa bahan makanan serta selimut hangat untuk nenek itu sebagai tanda terima kasih karena sudah menampungku pada malam ini.Makanan yang nenek itu sajikan terlihat sangatlah lezat, dengan kepulan asap kecil yang terlihat oleh lampu minyak yang ada di tengah-tengah ruangan tersebu
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men