Aku menatap kepergian Sinta dan Rudy dengan dada terasa panas dan membara.Sial*n! Pekikku dalam hati. Hanya gara-gara tak punya mobil, aku harus kalah bersaing dengan Rudy dan kehilangan kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Sinta serta mengantar gadis itu pulang ke rumahnya.Hmm, apa ini artinya aku harus segera punya mobil baru seperti rekan satu kantor itu supaya bisa menarik perhatian keponakan direktur itu dan minta uangnya pada ibu ya?Ya, kalau tidak minta pada ibu lantas harus minta pada siapa lagi?Selama ini sebagian besar gaji, kusetorkan pada beliau untuk keperluan beliau dan untuk disimpan demi masa depanku.Jadi, saat aku butuh roda empat seperti sekarang ini, tentu beliaulah tempat aku mengadu dan meminta uang. Berpikir begitu, aku pun segera memacu roda duaku menuju kediaman ibu yang berjarak setengah jam perjalanan dari kantor.Tiba di depan rumah, buru-buru kuparkir motor seadanya. Tak sabar lagi ingin segera masuk dan mengutarakan maksud hati kepada wanita yang
'Ibu serius? Nggak bercanda Zahra dapat arisan?" tanyaku sambil menatap ibu.Wanita paruh baya di depanku itu menganggukkan kepalanya lalu tertawa kecil."Masa iya sih ibu bohongin kamu, Den? Gih, sana pulang dulu! Tanya dan minta uang itu pada istrimu, biar nanti ibu tambahin untuk DP mobil baru kamu. Tapi, ingat ya jangan sampai ikan yang mau kamu pancing, disambar orang lain lebih dulu. Deketin terus. Jangan sampai ponakan direktur yang kamu taksir itu jatuh ke tangan laki-laki lain, oke? Gunakan semua cara untuk bisa memikat gadis itu. Nanti ibu bantu caranya supaya kamu bisa mendapatkan gadis itu.Siapa namanya tadi? Sinta? Tanya tanggal lahirnya dan nama orang tuanya siapa. Terus kamu foto, kasihkan ke ibu. Biar ibu bikin dia tergila-gila sama kamu. Oke?" ujar ibu lagi dengan nada penuh semangat.Mendengar perkataan beliau, aku pun ikut semangat dan akhirnya tersenyum lebar.Ibu memang selalu bisa diandalkan. Entah bagaimana caranya ibu akan membantuku, tapi aku yakin dengan ba
"Gimana, Den? Dapat uang arisannya?" tanya ibu begitu aku tiba.Usai bertengkar dengan Zahra tadi, aku memang langsung memacu roda duaku kembali ke rumah ibu.Tak kupedulikan perasaan Zahra usai kumaki dan kumarahi tadi. Biar sajalah, toh sudah biasa juga perempuan itu menerima perlakuan kasar dariku. Dan selama ini ia tak pernah protes apalagi merajuk diperlakukan begitu olehku.Pun pasti kali ini. Meski sudah kuusir dari rumah, seperti biasanya ia pasti akan bertahan dan tidak akan pergi begitu saja sebab begitu dalamnya rasa cintanya padaku, suaminya, bagaimana pun perlakuanku padanya.Mendengar pertanyaan ibu, aku menggelengkan kepala lalu menyahut."Nggak, Bu. Uang yang sudah dia dapatkan itu ia kembalikan lagi pada Bu RT. Katanya males nerima karena arisannya masih panjang. Lagipula dia belum butuh uang jadi arisan yang dia dapatkan itu dia kembalikan lagi untuk diberikan ke anggota yang lain yang lebih butuh uang," terangku dengan nada kesal menjelaskan alasan Zahra tadi kenap
"Makasih, Pak. Omong-omong jam berapa ya, Zahra pamit pergi tadi? Terus dia ngomong apa aja, Pak?" tanyaku pada Pak RT dengan sedikit menahan rasa malu.Ya, apa kata ketua rukun tetangga di mana aku tinggal saat ini kalau istriku itu pulang ke kampung halamannya tanpa diketahui lagi olehku sebagai suaminya dan tanpa menunggu diriku pulang ke rumah terlebih dahulu?Pasti orang-orang akan berpikir aku sedang ada masalah besar dengan Zahra, hingga istriku itu pergi diam-diam karena sengaja ingin menghindariku?Dan walaupun kenyataannya memang demikian adanya, tapi kok rasanya malu sekali ya masalah rumah tangga seperti ini sampai diketahui oleh orang luar?Apalagi oleh Pak RT yang notabene orang berpengaruh dan punya wibawa besar di kampung ini.Ia pasti akan ditanyai oleh seluruh warga, dan bilamana terpaksa, bisa saja beliau bercerita tentang apa yang sebenarnya memang telah terjadi. Zahra kabur dari rumah tanpa sepatah kata lagi pada suaminya ini.Hmm, bikin malu saja memang si Zahra!
"Maksudnya gimana? Pak RT ngomong apa? Siapa yang dapat arisan lima puluh juta?" Ibu menatapku tak mengerti.Mungkin tak terlalu menyimak apa yang barusan aku sampaikan, atau bahkan sama denganku, tak percaya pada cerita Pak RT soal Zahra yang mampu bayar arisan dalam jumlah besar."Zahra, Bu! Makanya Deni juga nggak percaya omongan Pak RT. Duit dari mana buat dia bayar arisan sebanyak itu?" sahutku merendahkan Zahra."Zahra? Tunggu ... bisa jadi sih. Bisa aja 'kan kita yang selama ini kecolongan sama sikap lugunya Zahra!Ternyata istrimu itu banyak uangnya. Istrimu itu 'kan perempuan munafik! Bilang nggak punya uang, padahal bisa ikut arisan ke mana-mana. Heran! Kalau iya, buat apa sih uangnya? Harta nggak punya, rumah juga nggak punya! Buat apa dia ikut arisan!" "Nggak tahulah, Bu. Rasanya Deni aja masih nggak percaya. Kalau bukan Pak RT yang cerita, mungkin udah Deni tinggal sebelum selesai ngomong," sahutku lagi."Kamu nggak minta buktinya? Coba kita temui yuk, Bu RT. Kita tanyai
"Sialan Bu RT! Nggak boleh kita ambil arisannya si Zahra! Belagu banget! Apa salahnya coba! Kita kan keluarganya! Kamu suaminya, sementara ibu ini, mertuanya!"Pulang ke rumah, ibu berjalan hilir mudik sambil marah-marah.Aku hanya mendengkus pelan.Ibu saja yang aneh. Arisan itu masih empat bulan lagi keluarnya, kenapa dari sekarang sudah diributkan? Apa tidak lebih baik aku mencari Zahra saja, si empunya uang arisan yang sepertinya cukup bisa diandalkan itu.Ya, kalau aku bisa membawa Zahra pulang kembali ke rumah, pasti aku bisa hidup lebih enak dan nyaman.Aku bisa ikut menikmati hasil pencariannya tanpa perlu capek kerja keras lagi karena dalam undang-undang perkawinan, harta pencarian istri juga termasuk ke dalam harta bersama yang menjadi hak suami juga untuk menggunakannya.Jadi, aku juga bisa ikut menikmati dan menggunakan harta Zahra meski bukan aku yang mencarinya."Bu, gimana kalau aku cari Zahra aja lagi ke panti asuhan? Mana tahu dia ada di sana, Bu?" ujarku memutus kek
"Zahra? Kamu sama siapa ke sini? Naik apa?" tanya Dina saat aku datang ke toko tempat kami menjual pakaian dengan tas berisi baju.Dina mengambil tas pakaian itu dari tanganku lalu meletakkannya di dekat meja kasir.Selanjutnya mengambil air minum dari belakang ruko yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya selama tiga bulan terakhir."Aku sendirian, Din," sahutku sembari duduk dan meregangkan tubuhku."Deni mana? Nggak nganterin kamu?" tanya Dina lagi sambil melihat ke luar ruko dan kembali meneliti raut wajahku saat tak menemukan sosok lelaki itu di luar.Aku menggelengkan kepala."Nggak, Din. Aku keluar dari rumah. Sepertinya Mas Deni sudah tak menginginkan aku menjadi istrinya lagi. Jadi, mulai hari ini aku akan tinggal di sini bareng kamu dan ngurus toko ini sama-sama. Gimana?" ujarku sambil balas menatapnya.Mendengar perkataanku, Dina tersenyum ceria."Beneran? Kamu nggak bohong? Alhamdulillah! Akhirnya aku nggak sendirian lagi ngurus toko ini. Do'aku dikabulkan Allah berarti, R
"Anak-anak, apa yang kalian lakukan?" tanya wanita itu pada anak-anak yang barusan mengeroyokku habis-habisan.Wanita tua itu mendekat lalu menghampiri anak-anak asuhannya."Maaf, Bu. Orang ini yang duluan mulai, Bu. Dia menampar dan mencekik Vikram, makanya kami balas, Bu," sahut seorang anak membela diri.Mendengar itu, aku melotot.Sialan! Bukannya takut dan merasa bersalah, mereka justru mengadukanku pada perempuan yang kutahu sebagai pimpinan di panti asuhan ini."Bu, tolong ya anak-anaknya diajari sopan santun! Ditanya sama orang yang lebih tua bukannya menjawab malah ngegas dan membentak! Kayak nggak pernah diajari sopan santun saja!" ujarku sambil menatap wajah wanita tua di depanku itu lalu beralih pada anak-anak panti dengan pandangan marah dan kesal.Aku kemudian kembali membentak."Awas kalian semua ya! Saya nggak akan tinggal diam begitu saja! Saya akan laporin kalian semua ke kantor polisi biar kalian tahu rasa!" ancamku dengan nada penuh emosi supaya anak-anak itu keta