"Den, istri itu wanita yang kebetulan tinggal di rumahmu, numpang hidup! Makanya nggak usah terlalu baik. Nggak usah gaji pake diserahkan semua sama si Zahra. Enak sekali dia, kerja nggak, tiap bulan gajian!" seru ibu sembari mengambil amplop gaji bulanan dari tanganku dan menghitungnya.Setelah mengambil sebagain besar uang itu dan menyisakan hanya lima lembar uang kertas berwarna merah di dalamnya, akhirnya amplop itu pun diserahkan kembali padaku."Ini buat istrimu!" ujar ibu sambil menjejalkan amplop itu ke tanganku.Aku hanya bengong, tapi tak urung kuambil juga uluran tangan dari ibu itu."Istri itu orang lain yang kebetulan mendampingi kamu, Den! Kalau cocok dipertahankan. Kalau sudah nggak cocok, ya dibuang aja, cari yang baru! Nggak usah ribet. Perempuan banyak, mending uangmu kasih ke ibu aja. Ibu ini ibu kamu. Orang yang merawat kamu dari kecil. Ada bekas istri tapi nggak akan ada yang namanya bekas ibu. Ngerti kamu?" sambung beliau lagi dengan nada sinis yang sama.Mendeng
Aku membuka tudung saji lalu menutup kembali dengan gerakan kasar.Hari sudah hampir pukul tujuh pagi tapi belum ada juga barang sebiji sarapan pun di meja makan. Apa sih maunya Zahra? Apa juga gunanya tinggal di rumah ini kalau ngurusin sarapan pagi suami saja nggak becus begini?"Ra, Zahra. Mana sarapan pagi? Kok jam segini kamu belum masak?" teriakku pada Zahra yang kulihat sedang asyik bermain ponsel di ruang tamu.Bah, istri macam apa yang pagi-pagi begini bukannya menyiapkan makan pagi suami malah sibuk berselancar di sosial media?"Maaf, Mas. Aku memang belum masak karena uang yang Mas kasih kurang buat belanja. Aku cuma bisa beli token listrik, beras dan bayar hutang bulan lalu. Mpok Meli nggak mau ngutangi lagi karena itu juga cuma bisa bayar setengah dari hutang semuanya. Makanya aku lagi melayani pembeli yang mau belanja online di olshop-ku, Mas. Nanti kalau sukses orderannya, baru aku mau belanja. Maaf ya, Mas," ucap Zahra sambil menundukkan kepalanya. Terlihat bersalah.
"Mas, kamu dari mana? Kok baru pulang?" tanya Zahra saat aku baru pulang dari rumah ibu.Tanpa menghiraukan pertanyaannya, aku langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, ganti baju lalu berbaring di kasur dan memejamkan mata.Benak ini memang sudah letih. Seharian aku di rumah ibu dan terus dicekoki dengan segala hal negatif soal Zahra membuatku sakit kepala."Mas, kok diem aja? Aku masak nila goreng kesukaan kamu, makan dulu yuk," ujar Zahra lagi sembari mendekati tempat tidur lalu menyentuh pelan bahuku tetapi aku hanya bergeming saja.Entah, berdekatan dengannya rasanya tak lagi seindah dulu, saat awal menikah dan berbulan madu.Saat semua masih baik-baik saja hingga Zahra mulai protes ketika tahu aku memberikan separuh gajiku untuk ibu, wanita yang telah melahirkanku ke dunia."Mas?""Kamu dapat uang dari mana? Katanya uang kemarin habis?" potongku dingin sambil membalikkan punggung, membelakanginya."Dari jualan olshop, Mas. Alhamdulillah hari ini dapat tiga puluh rib
"Mas, sarapan yuk. Aku bikin nasi goreng spesial kesukaan, Mas. Kebetulan masih ada sisa uang buat beli telor, jadi aku bikinin nasi goreng dengan telor mata sapi. Cicipin yuk, enak lho," ujar Zahra saat aku selesai mandi dan berganti pakaian dengan seragam kantor, hendak bekerja pagi ini.Tanpa reaksi apapun, setelah merapikan diri, aku berjalan menuju ruang makan dan duduk di sana.Di depanku telah terhidang sepiring nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas. Sepertinya baru selesai dimasak.Kucicipi dengan ujung sendok. Hmm, enak ternyata. Aku pun lalu memakan nasi goreng buatan Zahra itu dengan lahap meski masih saja memilih mendiamkan istriku itu, supaya Zahra tahu aku masih merasa marah padanya."Mas, untuk siang nanti aku boleh minta tambahan belanja nggak? Rencananya aku mau masak pepes ikan kesukaan Mas. Aku punya uang sepuluh ribu hasil keuntungan jualin barang orang tadi, kurang dua puluh ribu lagi, tambahin ya?" ujar Zahra tiba-tiba sambil menatapku.Aku yang hendak mem
"Den, denger-denger di divisi kamu akan ada karyawan baru lho. Namanya Sinta, ponakan bos besar kita yang baru saja lulus kuliah dari Jakarta. Masih single lho katanya," ucap Rudy, teman sekantor dari divisi lain saat bertemu denganku di kantin kantor.Aku yang sedang menyuapkan makanan ke dalam mulut, sontak menoleh padanya dengan rasa ingin tahu yang begitu besar.Karyawan wanita baru? Kok aku baru tahu? Padahal bakal ditempatkan di divisi yang sama denganku?"Oh ya? Kamu tahu dari mana?" Aku mengernyitkan dahi."Tahu dong. Aku kan barusan ngadep bos dan beliau cerita kalau bakalan ada keponakannya yang mau masuk kerja dan ditempatkan di divisi kalian."Karyawan baru? Ponakan bos? Hmm, kedengarannya menarik, pikirku.Usai makan, aku segera kembali ke tempat kerja dan tercengang saat melihat seorang wanita berpakaian elegan dan berwajah cantik sedang duduk tak jauh dari tempat duduk Amelia, salah satu staf di divisi HR & GA ini.Ah, apakah gadis muda ini yang disebut-sebut Rudy tadi
"Sinta? Kamu belum pulang?" tanyaku saat melihat gadis itu masih duduk di lobi kantor meski waktu telah menunjukkan berakhirnya jam kerja.Aku sendiri sudah bersiap-siap hendak pulang, tetapi melihat gadis itu duduk di sofa lobi kantor, aku bergerak mendekatinya."Eh, Mas Deni. Iya, Mas. Lagi nunggu jemputan, tapi belum ada yang bisa jemput," jawabnya sambil tersenyum manis.Melihat senyum gadis itu, seketika jantungku berdegup kencang. Senyum itu sungguh manis, semanis orangnya, bisik hatiku lagi. Mabuk kepayang."Mas antar aja gimana? Sudah sore ini, takutnya sebentar lagi satpam mau ngunci kantor," ucapku lagi, menawarinya tumpangan. Kesempatan bagus untuk pedekate dengannya tak boleh dilewatkan begitu saja, bisikku pada diri sendiri.Sinta menatapku sesaat, lalu berucap."Memangnya nggak mengganggu, Mas? Nanti Mas dimarahin orang rumahnya nggak kalau telat pulang?" jawabnya lagi.Aku hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalaku."Nggaklah. Ngapain juga marah? Mas biasa kok telat
Aku menatap kepergian Sinta dan Rudy dengan dada terasa panas dan membara.Sial*n! Pekikku dalam hati. Hanya gara-gara tak punya mobil, aku harus kalah bersaing dengan Rudy dan kehilangan kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Sinta serta mengantar gadis itu pulang ke rumahnya.Hmm, apa ini artinya aku harus segera punya mobil baru seperti rekan satu kantor itu supaya bisa menarik perhatian keponakan direktur itu dan minta uangnya pada ibu ya?Ya, kalau tidak minta pada ibu lantas harus minta pada siapa lagi?Selama ini sebagian besar gaji, kusetorkan pada beliau untuk keperluan beliau dan untuk disimpan demi masa depanku.Jadi, saat aku butuh roda empat seperti sekarang ini, tentu beliaulah tempat aku mengadu dan meminta uang. Berpikir begitu, aku pun segera memacu roda duaku menuju kediaman ibu yang berjarak setengah jam perjalanan dari kantor.Tiba di depan rumah, buru-buru kuparkir motor seadanya. Tak sabar lagi ingin segera masuk dan mengutarakan maksud hati kepada wanita yang
'Ibu serius? Nggak bercanda Zahra dapat arisan?" tanyaku sambil menatap ibu.Wanita paruh baya di depanku itu menganggukkan kepalanya lalu tertawa kecil."Masa iya sih ibu bohongin kamu, Den? Gih, sana pulang dulu! Tanya dan minta uang itu pada istrimu, biar nanti ibu tambahin untuk DP mobil baru kamu. Tapi, ingat ya jangan sampai ikan yang mau kamu pancing, disambar orang lain lebih dulu. Deketin terus. Jangan sampai ponakan direktur yang kamu taksir itu jatuh ke tangan laki-laki lain, oke? Gunakan semua cara untuk bisa memikat gadis itu. Nanti ibu bantu caranya supaya kamu bisa mendapatkan gadis itu.Siapa namanya tadi? Sinta? Tanya tanggal lahirnya dan nama orang tuanya siapa. Terus kamu foto, kasihkan ke ibu. Biar ibu bikin dia tergila-gila sama kamu. Oke?" ujar ibu lagi dengan nada penuh semangat.Mendengar perkataan beliau, aku pun ikut semangat dan akhirnya tersenyum lebar.Ibu memang selalu bisa diandalkan. Entah bagaimana caranya ibu akan membantuku, tapi aku yakin dengan ba
POV DeniHari ini akhirnya aku mendapatkan juga promosi naik jabatan dari seorang staf menjadi kepala divisi. Entah aku harus senang atau tidak, karena aku sendiri masih ragu-ragu apakah posisi ini nantinya akan dapat membuatku hidup lebih baik atau tidak. Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha memupuk harapan terbaik, semoga suatu saat keapesan dan kesialanku ini akan segera berakhir.Pagi tadi promosi jabatanku telah dilaksanakan dan hari ini kedudukanku telah resmi menjadi seorang atasan di divisi yang aku pimpin.Ahmad yang tadinya merupakan rekan sejawatku, sekarang telah menjadi bawahanku begitu pun Sinta, sekarang menjadi stafku. Meski demikian, di rumah aku tetaplah suami yang harus patuh atas semua kendalinya. Sebab, bagaimanapun juga ialah pemegang kunci kendali atas hidupku sebab adanya perjanjian sialan mengenai hutang mahar yang mencekik leher itu.Ah, andai aku tahu menikahi ponakan direktur ternyata membuat hidupku jadi sengsara begini, mungkin lebih baik aku menduda
POV Deni"Bu, ini uang buat ibu. Maaf Deni baru bisa kasih segini karena ... karena Deni harus bayar hutang ke Pak Anton dulu, Bu. Maafkan Deni ya, Bu tapi Deni janji Deni akan usahakan untuk menambah uang ke ibu nanti. Deni mau banyakin lembur biar bisa ngasih uang ke ibu lagi ya, Bu," ujarku sambil menyerahkan uang pemberian Sinta pada ibu yang menerima dengan mata tidak percaya.Dua ratus ribu pastilah jumlah yang sangat sedikit buat ibu karena biasanya jatah bulanan beliau adalah empat juta rupiah."Kok bisa-bisanya sih, Den kamu cuma dikasih segini sama Sinta? Apa ibu bilang, nggak usah dekati perempuan itu lagi. Tapi kamu ngeyel, begini kan jadinya!" Ibu menghela nafas panjang sambil memanyunkan bibirnya. Tatapan kecewa tampak jelas dalam rona matanya.Aku pun ikut menghembuskan nafas. Dadaku terasa sakit dan sesak. Sialan, Sinta, gara-gara rayuannya untuk menggelar pesta mewah dan uang mahar yang tidak sedikit, sekarang aku harus terjerat hutang pada Pak Anton. Benar-benar meny
POV Deni"Den, mana jatah bulanan buat ibu? Kamu udah gajian bulan ini kan? Hari ini kan tanggal satu?" tanya ibu saat aku menyempatkan pulang sore hari.Niatku pulang, ingin bertanya pada ibu, barangkali masih punya sedikit sisa uang untuk pegangan tangan karena amplop gaji sudah di tangan Sinta dan dikuasainya. Sementara ia belum memberiku uang untuk transportasi karena katanya belum sempat ketemu Om Anton dan membicarakan berapa nominal sisa gaji yang bisa diberikan padaku sebab aku harus mulai mencicil hutang pada Om-nya itu."Nanti ya, Bu. Uang gajiku masih dipegang Sinta, soalnya Deni kan harus membayar hutang mahar kemarin. Ini aja Deni malah mau pinjam uang dari ibu buat dipake menjelang Sinta ngasih uang ke Deni. Ibu masih ada tabungan nggak?" tanyaku dengan suara tak enak. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur basah. Pernikahan dengan Sinta sudah terlanjur terjadi. Tak mungkin dibatalkan hanya karena hal ini. Lagi pula aku sudah terlanjur teken perjanjian pinjam uang pad
POV DeniHari ini pernikahanku dengan Sinta akhirnya digelar. Gedung pernikahan yang disewa Pak Anton terlihat meriah meski tak semewah seperti yang ada dalam pikiranku. Ya, barangkali saja Pak Anton menurunkan budget pesta pernikahan kami ini. Selain karena efek pandemi Corona masih melanda tanah air sehingga orang-orang belum begitu nyaman mendatangi keramaian. Mungkin hal itu juga bertujuan supaya hutangku tak terlalu banyak dan membengkak. Baguslah, jadi aku tak perlu terjerat terlalu lama dalam kubangan hutang pada bos perusahaan itu.Sebenarnya aku sendiri menginginkan pernikahan kecil-kecilan saja. Selain demi menghemat biaya, tujuan pernikahanku dengan Sinta memang bukan semata-mata untuk menjadikannya istri atau membuatnya merasa senang dan tersanjung sebagai istriku, tetapi karena aku sendiri juga menginginkan kehidupan yang lebih baik bila menjadi suaminya.Itu sebabnya aku tak terlalu antusias saat keluarga besar Sinta menginginkan sebuah hajatan besar sementara aku just
POV Deni"Gimana, Sin? Udah ngomong belum sama Om Anton? Diizinkan nggak kamu menikah sama mas?" tanyaku tak sabar saat keesokan harinya sampai di kantor dan kembali bertemu dengan pujaan hati yang hari ini terlihat semakin cantik saja itu.Semalam aku sudah menanyakan berulang kali melalui pesan whatsapp, tetapi gadis itu menyatakan akan menjawabnya besok pagi di kantor sebab malam tadi masih harus bicara panjang lebar dengan Om-nya dan merenungkan segala sesuatunya.Jadilah pagi aku baru bisa kembali menanyakannya pada Sinta."Sabar dong, Mas. Kenapa sih kamu buru-buru banget pengen tahu? Emang udah benar-benar nggak sabar ya?" ujar Sinta balik bertanya, membuatku gemas dan refleks mencubit pangkal hidupnya yang bangir.Untung saja kantor masih sepi jadi aksiku tak sempat dilihat rekan kerja yang lain."Ish, Mas Deni usil banget sih, ah!" Sinta pura-pura merajuk sambil memegangi puncak hidungnya yang memerah. Aku hanya tertawa dan kali ini ganti mengacak gemas rambutnya."Makanya, j
POV Deni"Beneran mas kamu sudah cerai?" tanya Sinta dengan bola mata membulat.Aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaannya."Benar dong, Sin. Kenapa? Mau daftar jadi pendamping hidup mas yang baru ?" tanyaku sambil melempar pandangan penuh arti ke arahnya.Melihat tatapanku, Sinta menunduk dan tampak tersipu malu."Ah, Mas Deni bisa aja. Tapi omong-omong kenapa sih mas kalian bisa bercerai?" tanyanya.Aku pura-pura menghembuskan nafas berat."Dia itu sebagai istri nggak bisa patuh dan taat sama suami, Sin. Jadi ya terpaksa mas ceraikan lah," sahutku beralasan."Maksudnya? Kenapa mantan istri mas nggak bisa taat? Mas ngasih nafkah ke dia nggak? Mas nggak lalai dari tanggung jawab sebagai seorang suami bukan? Karena biasanya perempuan yang suka nggak mau patuh sama suami itu karena nggak dinafkahi dengan baik, Mas?" tanyanya beruntun dan terdengar serius, membuatku sedikit terganggu dan tak nyaman. Kok bisa sih dia tahu masalah rumah tanggaku dengan Zahra yang sebenarnya?Namun, s
POV DeniPagi-pagi sekali aku sudah melajukan roda dua menuju kediaman Pak Anton, direktur perusahaan di mana aku bekerja.Dari luar tampak bangunan rumah yang megah bak istana. Melihat bangunan itu aku sontak berdecak kagum. Hmm, Pak Anton memang kaya raya. Tak salah lagi, bila aku bisa mendekati Sinta dan menikahinya, tentu aku juga bisa ikut kecipratan sukses dan kaya seperti dirinya. Tak mungkin Pak Anton akan terus membiarkan diriku menjadi karyawan biasa di perusahaan yang dimilikinya. Tentu beliau akan mengangkatku menaiki posisi jabatan yang lebih tinggi dan lebih banyak menghasilkan uang.Tadi malam, bos perusahaan di mana aku bekerja itu juga sudah meneleponku dan memintaku bersedia mengantarkan keponakan cantiknya itu ke luar kota, itu artinya secara tidak langsung, Pak Anton menaruh kepercayaan padaku. Tentu saja ini awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sinta.Itu sebabnya, sehabis ini aku berencana akan secepatnya menceraikan Zahra supaya bisa
POV ZahraAku menatap gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku. Memantapkan hati, kulangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Dina yang berjalan lebih dulu di depanku."Ayo, Ra, kamu udah mantap mau daftarin permohonan gugatan ke pengadilan ini kan?" tanya gadis itu sambil membalikkan badannya dan menatapku.Aku mengangguk.Ya, pagi ini aku memutuskan untuk mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama kota ini. Tekadku sudah bulat, tak ada lagi maaf dan kesempatan untuk Mas Deni lagi.Semuanya sudah usai. Laki-laki itu tak pernah berubah, meski telah berkali-kali kuberikan kesempatan. Jadi inilah akhir kisah pernikahan kami, berpisah demi ketenangan hidup masing-masing.Masuk ruangan pengadilan, aku disambut petugas pendaftaran yang menyambut di pintu masuk."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas tersebut padaku."Iya, Pak. Saya mau mendaftarkan gugatan perceraian atas suami saya, Pak.""Oh ya? Sudah bawa persyaratan yang diperlukan?" Petugas itu menat
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d