"Sinta? Kamu kenapa?" tanya Maya sesaat sebelum tubuh Sinta ambruk ke atas lantai tempat mencuci pakaian."Nggak tahu, Mbak. Perutku sakit banget," sahut Sinta sembari bernafas terengah engah."Ya, udah tunggu sebentar ya. Aku telpon Tony dulu minta bawa kamu ke rumah sakit. Soalnya kamu pendarahan. Apa kamu hamil, Sin? Mbak takut kamu keguguran kalau beneran hamil?" sahut Maya dengan wajah panik.Mendengar pertanyaan Maya, Sinta hanya mengigit bibirnya. Sudah dua minggu ini memang ia terlambat haid. Mungkinkah sebenarnya ia sedang hamil dan sekarang mengalami keguguran akibat terlalu banyak bekerja?"Sinta, kamu kenapa?" Tony muncul beberapa saat setelah Maya menelepon lelaki itu agar segera pulang ke rumah.Tubuh Sinta sudah terkulai lemah tak berdaya, tetapi kesadarannya belum hilang sama sekali.Namun, mendengar pertanyaan suaminya, wanita itu tak mampu menjawab. Maka, Maya yang kemudian menjelaskan."Mungkin kecapekan, Ton. Dari tadi dia nyuci baju sendirian karena mbak sibuk ber
Tiba di rumah sakit, Azmi langsung meminta dokter mengambil tindakan. Apapun yang perlu dilakukan dokter untuk menyelamatkan Sinta, ia tak keberatan. Tubuh adiknya yang sudah lemah tidak berdaya langsung dibawa ke ruang UGD untuk dilakukan tindakan penyelamatan.Kurang lebih satu jam kemudian, dokter keluar dari pintu ruangan dan mengabarkan jika Sinta sudah siuman tetapi kondisinya masih sangat lemah. Pendarahan sudah berhenti hanya saja perlu dilakukan kuret untuk mengeluarkan janin yang masih tertinggal di dalam rahim adiknya. Dan Azmi langsung meminta dokter melakukan tindakan tersebut jika memang itu tindakan terbaik demi keselamatan jiwa adiknya yang sangat ia khawatirkan itu.Bu Rina dan Mila sendiri sudah datang tak lama setelah Azmi memberi kabar tentang kondisi Sinta yang sakit, tepatnya pendarahan karena keguguran.Dan mendapati kenyataan itu, mereka pun buru-buru ke rumah sakit. Bu Rina tampak sedih dan berkali-kali mengutuk perbuatan Tony dan ibunya yang tega membuat putr
Sepeninggal Sinta dibawa paksa oleh kakaknya ke rumah sakit, Bu Tony tampak mondar-mandir di ruang belakang.Dilihatnya cucian baju dari para pelanggan laundry yang baru dibuka miliknya masih menggunung di tempat pakaian kotor dan membuatnya pusing sendiri. Kalau begini bisa-bisa bisnis yang sedang ia rintis ini akan macet karena kekurangan tenaga.Maya sendirian saja tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaan itu. Sementara kalau harus menyewa jasa pekerja lain, sudah barang tentu keuntungan usaha harus dibagi dua untuk membayar upah mereka. Dan ini tentu saja tidak sejalan dengan rencananya semula.Niat awalnya semula merestui pernikahan Tony dan Sinta adalah demi bisa memanfaatkan tenaga menantunya itu secara gratis. Sayang, Sinta malah keguguran dan sekarang tinggal Maya sendirian di rumah ini. Itu tentu saja sangat tidak menguntungkan baginya.Sementara, setelah peristiwa tadi terjadi, mungkin keluarga Sinta tidak akan membiarkan lagi putrinya itu kembali ke rumah ini. Kecuali jika
Vino menatap tubuh adiknya yang tampak dipenuhi darah yang merembes dari luka di bagian kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya yang mengalami cidera.Tubuh itu tampak tak bergerak dan dipenuhi selang. Ada selang infus, darah juga selang oksigen untuk membantu jalan pernafasannya.Tubuhnya juga dipenuhi luka dan darah di sana sini akibat cidera berat usai mengalami kecelakaan beberapa saat lalu.Vino merasa kacau. Pada saat yang bersamaan, ibu dan adiknya tiba-tiba mengalami insiden yang tidak ia sangka-sangka dan ia harapkan seperti ini. Tentu saja ia merasa semakin panik.Tak jauh beda dari sang adik, ibunya saat ini pun tengah dirawat di ruang ICU karena serangan stroke yang mendadak menimpanya.Entah apa yang baru saja terjadi pada diri ibunya itu tapi menurut Maya, sang ibu barusan jatuh di tempat mencuci pakaian sebab tak hati hati saat membantunya mengoperasikan mesin cuci guna menyelesaikan pekerjaan mencuci pakaian kotor dari para pelanggan laundry miliknya."Mas, sabar ya.
"Den, istri itu wanita yang kebetulan tinggal di rumahmu, numpang hidup! Makanya nggak usah terlalu baik. Nggak usah gaji pake diserahkan semua sama si Zahra. Enak sekali dia, kerja nggak, tiap bulan gajian!" seru ibu sembari mengambil amplop gaji bulanan dari tanganku dan menghitungnya.Setelah mengambil sebagain besar uang itu dan menyisakan hanya lima lembar uang kertas berwarna merah di dalamnya, akhirnya amplop itu pun diserahkan kembali padaku."Ini buat istrimu!" ujar ibu sambil menjejalkan amplop itu ke tanganku.Aku hanya bengong, tapi tak urung kuambil juga uluran tangan dari ibu itu."Istri itu orang lain yang kebetulan mendampingi kamu, Den! Kalau cocok dipertahankan. Kalau sudah nggak cocok, ya dibuang aja, cari yang baru! Nggak usah ribet. Perempuan banyak, mending uangmu kasih ke ibu aja. Ibu ini ibu kamu. Orang yang merawat kamu dari kecil. Ada bekas istri tapi nggak akan ada yang namanya bekas ibu. Ngerti kamu?" sambung beliau lagi dengan nada sinis yang sama.Mendeng
Aku membuka tudung saji lalu menutup kembali dengan gerakan kasar.Hari sudah hampir pukul tujuh pagi tapi belum ada juga barang sebiji sarapan pun di meja makan. Apa sih maunya Zahra? Apa juga gunanya tinggal di rumah ini kalau ngurusin sarapan pagi suami saja nggak becus begini?"Ra, Zahra. Mana sarapan pagi? Kok jam segini kamu belum masak?" teriakku pada Zahra yang kulihat sedang asyik bermain ponsel di ruang tamu.Bah, istri macam apa yang pagi-pagi begini bukannya menyiapkan makan pagi suami malah sibuk berselancar di sosial media?"Maaf, Mas. Aku memang belum masak karena uang yang Mas kasih kurang buat belanja. Aku cuma bisa beli token listrik, beras dan bayar hutang bulan lalu. Mpok Meli nggak mau ngutangi lagi karena itu juga cuma bisa bayar setengah dari hutang semuanya. Makanya aku lagi melayani pembeli yang mau belanja online di olshop-ku, Mas. Nanti kalau sukses orderannya, baru aku mau belanja. Maaf ya, Mas," ucap Zahra sambil menundukkan kepalanya. Terlihat bersalah.
"Mas, kamu dari mana? Kok baru pulang?" tanya Zahra saat aku baru pulang dari rumah ibu.Tanpa menghiraukan pertanyaannya, aku langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, ganti baju lalu berbaring di kasur dan memejamkan mata.Benak ini memang sudah letih. Seharian aku di rumah ibu dan terus dicekoki dengan segala hal negatif soal Zahra membuatku sakit kepala."Mas, kok diem aja? Aku masak nila goreng kesukaan kamu, makan dulu yuk," ujar Zahra lagi sembari mendekati tempat tidur lalu menyentuh pelan bahuku tetapi aku hanya bergeming saja.Entah, berdekatan dengannya rasanya tak lagi seindah dulu, saat awal menikah dan berbulan madu.Saat semua masih baik-baik saja hingga Zahra mulai protes ketika tahu aku memberikan separuh gajiku untuk ibu, wanita yang telah melahirkanku ke dunia."Mas?""Kamu dapat uang dari mana? Katanya uang kemarin habis?" potongku dingin sambil membalikkan punggung, membelakanginya."Dari jualan olshop, Mas. Alhamdulillah hari ini dapat tiga puluh rib
"Mas, sarapan yuk. Aku bikin nasi goreng spesial kesukaan, Mas. Kebetulan masih ada sisa uang buat beli telor, jadi aku bikinin nasi goreng dengan telor mata sapi. Cicipin yuk, enak lho," ujar Zahra saat aku selesai mandi dan berganti pakaian dengan seragam kantor, hendak bekerja pagi ini.Tanpa reaksi apapun, setelah merapikan diri, aku berjalan menuju ruang makan dan duduk di sana.Di depanku telah terhidang sepiring nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas. Sepertinya baru selesai dimasak.Kucicipi dengan ujung sendok. Hmm, enak ternyata. Aku pun lalu memakan nasi goreng buatan Zahra itu dengan lahap meski masih saja memilih mendiamkan istriku itu, supaya Zahra tahu aku masih merasa marah padanya."Mas, untuk siang nanti aku boleh minta tambahan belanja nggak? Rencananya aku mau masak pepes ikan kesukaan Mas. Aku punya uang sepuluh ribu hasil keuntungan jualin barang orang tadi, kurang dua puluh ribu lagi, tambahin ya?" ujar Zahra tiba-tiba sambil menatapku.Aku yang hendak mem
POV DeniHari ini akhirnya aku mendapatkan juga promosi naik jabatan dari seorang staf menjadi kepala divisi. Entah aku harus senang atau tidak, karena aku sendiri masih ragu-ragu apakah posisi ini nantinya akan dapat membuatku hidup lebih baik atau tidak. Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha memupuk harapan terbaik, semoga suatu saat keapesan dan kesialanku ini akan segera berakhir.Pagi tadi promosi jabatanku telah dilaksanakan dan hari ini kedudukanku telah resmi menjadi seorang atasan di divisi yang aku pimpin.Ahmad yang tadinya merupakan rekan sejawatku, sekarang telah menjadi bawahanku begitu pun Sinta, sekarang menjadi stafku. Meski demikian, di rumah aku tetaplah suami yang harus patuh atas semua kendalinya. Sebab, bagaimanapun juga ialah pemegang kunci kendali atas hidupku sebab adanya perjanjian sialan mengenai hutang mahar yang mencekik leher itu.Ah, andai aku tahu menikahi ponakan direktur ternyata membuat hidupku jadi sengsara begini, mungkin lebih baik aku menduda
POV Deni"Bu, ini uang buat ibu. Maaf Deni baru bisa kasih segini karena ... karena Deni harus bayar hutang ke Pak Anton dulu, Bu. Maafkan Deni ya, Bu tapi Deni janji Deni akan usahakan untuk menambah uang ke ibu nanti. Deni mau banyakin lembur biar bisa ngasih uang ke ibu lagi ya, Bu," ujarku sambil menyerahkan uang pemberian Sinta pada ibu yang menerima dengan mata tidak percaya.Dua ratus ribu pastilah jumlah yang sangat sedikit buat ibu karena biasanya jatah bulanan beliau adalah empat juta rupiah."Kok bisa-bisanya sih, Den kamu cuma dikasih segini sama Sinta? Apa ibu bilang, nggak usah dekati perempuan itu lagi. Tapi kamu ngeyel, begini kan jadinya!" Ibu menghela nafas panjang sambil memanyunkan bibirnya. Tatapan kecewa tampak jelas dalam rona matanya.Aku pun ikut menghembuskan nafas. Dadaku terasa sakit dan sesak. Sialan, Sinta, gara-gara rayuannya untuk menggelar pesta mewah dan uang mahar yang tidak sedikit, sekarang aku harus terjerat hutang pada Pak Anton. Benar-benar meny
POV Deni"Den, mana jatah bulanan buat ibu? Kamu udah gajian bulan ini kan? Hari ini kan tanggal satu?" tanya ibu saat aku menyempatkan pulang sore hari.Niatku pulang, ingin bertanya pada ibu, barangkali masih punya sedikit sisa uang untuk pegangan tangan karena amplop gaji sudah di tangan Sinta dan dikuasainya. Sementara ia belum memberiku uang untuk transportasi karena katanya belum sempat ketemu Om Anton dan membicarakan berapa nominal sisa gaji yang bisa diberikan padaku sebab aku harus mulai mencicil hutang pada Om-nya itu."Nanti ya, Bu. Uang gajiku masih dipegang Sinta, soalnya Deni kan harus membayar hutang mahar kemarin. Ini aja Deni malah mau pinjam uang dari ibu buat dipake menjelang Sinta ngasih uang ke Deni. Ibu masih ada tabungan nggak?" tanyaku dengan suara tak enak. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur basah. Pernikahan dengan Sinta sudah terlanjur terjadi. Tak mungkin dibatalkan hanya karena hal ini. Lagi pula aku sudah terlanjur teken perjanjian pinjam uang pad
POV DeniHari ini pernikahanku dengan Sinta akhirnya digelar. Gedung pernikahan yang disewa Pak Anton terlihat meriah meski tak semewah seperti yang ada dalam pikiranku. Ya, barangkali saja Pak Anton menurunkan budget pesta pernikahan kami ini. Selain karena efek pandemi Corona masih melanda tanah air sehingga orang-orang belum begitu nyaman mendatangi keramaian. Mungkin hal itu juga bertujuan supaya hutangku tak terlalu banyak dan membengkak. Baguslah, jadi aku tak perlu terjerat terlalu lama dalam kubangan hutang pada bos perusahaan itu.Sebenarnya aku sendiri menginginkan pernikahan kecil-kecilan saja. Selain demi menghemat biaya, tujuan pernikahanku dengan Sinta memang bukan semata-mata untuk menjadikannya istri atau membuatnya merasa senang dan tersanjung sebagai istriku, tetapi karena aku sendiri juga menginginkan kehidupan yang lebih baik bila menjadi suaminya.Itu sebabnya aku tak terlalu antusias saat keluarga besar Sinta menginginkan sebuah hajatan besar sementara aku just
POV Deni"Gimana, Sin? Udah ngomong belum sama Om Anton? Diizinkan nggak kamu menikah sama mas?" tanyaku tak sabar saat keesokan harinya sampai di kantor dan kembali bertemu dengan pujaan hati yang hari ini terlihat semakin cantik saja itu.Semalam aku sudah menanyakan berulang kali melalui pesan whatsapp, tetapi gadis itu menyatakan akan menjawabnya besok pagi di kantor sebab malam tadi masih harus bicara panjang lebar dengan Om-nya dan merenungkan segala sesuatunya.Jadilah pagi aku baru bisa kembali menanyakannya pada Sinta."Sabar dong, Mas. Kenapa sih kamu buru-buru banget pengen tahu? Emang udah benar-benar nggak sabar ya?" ujar Sinta balik bertanya, membuatku gemas dan refleks mencubit pangkal hidupnya yang bangir.Untung saja kantor masih sepi jadi aksiku tak sempat dilihat rekan kerja yang lain."Ish, Mas Deni usil banget sih, ah!" Sinta pura-pura merajuk sambil memegangi puncak hidungnya yang memerah. Aku hanya tertawa dan kali ini ganti mengacak gemas rambutnya."Makanya, j
POV Deni"Beneran mas kamu sudah cerai?" tanya Sinta dengan bola mata membulat.Aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaannya."Benar dong, Sin. Kenapa? Mau daftar jadi pendamping hidup mas yang baru ?" tanyaku sambil melempar pandangan penuh arti ke arahnya.Melihat tatapanku, Sinta menunduk dan tampak tersipu malu."Ah, Mas Deni bisa aja. Tapi omong-omong kenapa sih mas kalian bisa bercerai?" tanyanya.Aku pura-pura menghembuskan nafas berat."Dia itu sebagai istri nggak bisa patuh dan taat sama suami, Sin. Jadi ya terpaksa mas ceraikan lah," sahutku beralasan."Maksudnya? Kenapa mantan istri mas nggak bisa taat? Mas ngasih nafkah ke dia nggak? Mas nggak lalai dari tanggung jawab sebagai seorang suami bukan? Karena biasanya perempuan yang suka nggak mau patuh sama suami itu karena nggak dinafkahi dengan baik, Mas?" tanyanya beruntun dan terdengar serius, membuatku sedikit terganggu dan tak nyaman. Kok bisa sih dia tahu masalah rumah tanggaku dengan Zahra yang sebenarnya?Namun, s
POV DeniPagi-pagi sekali aku sudah melajukan roda dua menuju kediaman Pak Anton, direktur perusahaan di mana aku bekerja.Dari luar tampak bangunan rumah yang megah bak istana. Melihat bangunan itu aku sontak berdecak kagum. Hmm, Pak Anton memang kaya raya. Tak salah lagi, bila aku bisa mendekati Sinta dan menikahinya, tentu aku juga bisa ikut kecipratan sukses dan kaya seperti dirinya. Tak mungkin Pak Anton akan terus membiarkan diriku menjadi karyawan biasa di perusahaan yang dimilikinya. Tentu beliau akan mengangkatku menaiki posisi jabatan yang lebih tinggi dan lebih banyak menghasilkan uang.Tadi malam, bos perusahaan di mana aku bekerja itu juga sudah meneleponku dan memintaku bersedia mengantarkan keponakan cantiknya itu ke luar kota, itu artinya secara tidak langsung, Pak Anton menaruh kepercayaan padaku. Tentu saja ini awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sinta.Itu sebabnya, sehabis ini aku berencana akan secepatnya menceraikan Zahra supaya bisa
POV ZahraAku menatap gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku. Memantapkan hati, kulangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Dina yang berjalan lebih dulu di depanku."Ayo, Ra, kamu udah mantap mau daftarin permohonan gugatan ke pengadilan ini kan?" tanya gadis itu sambil membalikkan badannya dan menatapku.Aku mengangguk.Ya, pagi ini aku memutuskan untuk mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama kota ini. Tekadku sudah bulat, tak ada lagi maaf dan kesempatan untuk Mas Deni lagi.Semuanya sudah usai. Laki-laki itu tak pernah berubah, meski telah berkali-kali kuberikan kesempatan. Jadi inilah akhir kisah pernikahan kami, berpisah demi ketenangan hidup masing-masing.Masuk ruangan pengadilan, aku disambut petugas pendaftaran yang menyambut di pintu masuk."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas tersebut padaku."Iya, Pak. Saya mau mendaftarkan gugatan perceraian atas suami saya, Pak.""Oh ya? Sudah bawa persyaratan yang diperlukan?" Petugas itu menat
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d