Ode masih terdiam, mereka berdua belum beranjak dan masih teringat Aryo.
“Aku sangat nggak setuju, kasihan sih. Padahal waktu itu mereka sudah berusaha mati-matian untuk bertunangan, bahkan menikah walaupun kita nggak dikasih tahu. Dan sekarang dia mau cerai,” jelas Ode.
“Iya aku juga mikir gitu. Malah jadi sia-sia usaha kita selama ini,” sahut Dido.
“Nanti kita pikirin, kita coba cari cara gimana supaya bisa bantu tapi nggak terkesan ikut campur. Ya udah, sekarang balik kantin dulu,” jelas Ode.
Mendengar kata kantin, seketika Dido seperti tersadar sesuatu. Ia baru ingat karena tadi teralihkan masalah Aryo.
“Oh iyo rek, sampai lali aku,” jelas Dido dan ia justru bergegas pergi duluan meninggalkan Ode yang terkejut.
Ketika sampai di kantin, Dido mencoba melihat sekitar, tapi sudah memperhatikan beberapa kali ke area kantin, ia tidak menemukan apa yang dicarinya.
Ode yang berhasil
Bunyi deru kipas angin di kamar Ode terdengar sesekali seperti suara lengkingan. Kipas angin tua yang masih berfungsi dan cukup untuk membuat kamar menjadi sedikit nyaman.Ode baru ingin membuka buku-bukunya di atas meja kamar kosnya. Ia ingin kembali melanjutkan pengerjaan proposal skripsi dan beberapa tugas kuliah yang cukup menumpuk karena waktunya dalam pekan yang sama.Ketika sedang membaca sejenak sebuah buku ilmu komunikasi, Ode berhenti dan mengambil pena untuk menulis sesuatu.“Ini penting nih, bisa jadi sumber kerangka pemikiran, harus dikutip,” ucap Ode bicara sejenak. Ia langsung menulis di buku agendanya untuk jadi kumpulan bahan materi proposal skripsi, bahkan untuk bahan skripsi jika nanti telah disetujui.Tangan Ode mulai bergerak lincah menulis. Tulisannya terlihat rapi dan ia sendiri gemar menulis. Ada banyak hal yang jadi indikasi ketika ia asik menulis, salah satunya adalah tulisannya rapi seperti tulisan indah. Tetapi jika
Suasana kelas yang semula tenang, seketika ramai riuh karena kelas baru saja usai. Mahasiswa bergegas keluar ruangan, sebagian juga masih ada di dalam berbincang sejenak, sebagian lain menghampiri dosen. Sementara itu Ode dan Dido berjalan keluar kelas. Dido yang tampak ceria dan semangat langsung menghampiri Ode“Gimana, sudah ada kan puisinya? Aku mau kasih dia sekarang aja, sebentar lagi kelasnya bubar,” pinta Dido sambil merangkul bahu Ode dan berjalan santai.Mendengar perkataan Dido, mendadak Ode merasa terkejut. Ia baru ingat dengan permintaan Dido yang ingin dibuatkan puisi. Rencananya Ode ingin buatkan puisi itu jelang tidur karena ia sejak siang kemarin masih mengerjakan tugasnya. Tapi ternyata semalam karena kelelahan, ia ketiduran dan belum membuat puisi, bahkan lupa jika Dido tidak menagihnya saat ini.“Aduh, maaf Do,” ucap Ode sembari menepuk jidatnya.Dido yang semula bersemangat dan ceria, mendadak berhenti dan meli
Setiap niat kebaikan yang muncul dalam diri tidak selalu harus dilakukan jika tanpa persiapan dan situasi yang tepat. Keinginan semula untuk membantu menyelesaikan persoalan orang lain justru ternyata bukannya membawa kebaikan, melainkan membawa keburukan. Hal itu terjadi pada Ode dan Dido. Niat mereka untuk menolong dan membantu membujuk Aryo agar berdamai dengan Dona, ternyata tidak membawa hasil apa-apa. Bahkan sepertinya mereka ikut terbawa arus konflik antara Aryo dan Dona untuk mendukung perceraiannya.“Akhirnya sampai juga,” ucap Ode ketika turun dari motor vespa Dido.“Iyo, tadi lumayan macetnya,” sahut Dido sembari membuka helm yang dipakainya. Motor juga telah ia parkir di halaman dekat garasi. Mereka berdua langsung masuk ke dalam rumah setelah disilakan si mbok yang membuka pagar saat mereka datang tadi.Siang ini, Ode dan Dido telah sampai di rumah Aryo. Keduanya duduk di ruang tamu meskipun susasana di ruang tamu rumah Aryo
Aryo terlihat masih tetap emosi dan telah menyampaikan maksudnya yang meminta bantuan kedua sahabat dekatnya agar jadi saksi dan mendukung keputusan bercerai. Tapi Ode berusaha tenang dan tidak ingin menunjukkan rasa terkejut, termasuk juga ketidaksetujuannya terhadap apa yang diinginkan Aryo. Sedangkan Dido, hampir saja ingin menyahut protes jika tidak mendapatkan tanda diam dari Ode dengan kakinya diinjak saat akan bicara.Untung saja di saat dalam kondisi psikologis membingungkan tersebut, sempat hadir sebuah ide di benak Ode.“Iya nanti kita coba bantu Yo. Intinya aku dan Dido ingin yang terbaik, bagi kalian berdua,” sahut Ode diplomatis.Aryo hanya mengangguk dan merasa kedua temannya mendukung.“Oya, tugas kelompok kan satu sudah beres nih. Nanti saat mata kuliahnya minggu depan kamu datang Yo, karena dosen nanyain, jangan absen nggak hadir, nanti malah tambah berat nilaimu nanti untuk lulus mata kuliah ini,” jelas Ode
Malam ini Ode membongkar kembali buku-buku yang ada dalam lemari meja belajarnya. Semua bukunya jadi berantakan tidak beraturan. Satu persatu ia meneliti setiap buku hanya untuk mencari sesuatu, yaitu buku tentang kisah asmara.Pekerjaan mencari buku ia lakukan setelah sebelumnya terjadi perdebatan yang panjang antara Ode dan Dido. Diskusi mereka berdua siang tadi setelah pulang dari rumah Aryo memang terbilang alot. Mereka berusaha mencari tahu cara apa yang bisa membantu agar upaya untuk menghentikan Aryo dari sidang perceraiannya bisa berhasil. Antara Ode dan Dido terjadi perbedaan pendapat tentang hal apa yang seharusnya mereka lakukan secara praktis tapi menyentuh pusat kesadaran Aryo dan Dona.Hasil perdebatan akhirnya ditemukan. Ode sepakat juga dengan ide Dido yang ingin agar semua tulisan konsep surat-surat cinta yang pernah dibuatkan Ode untuk Aryo sebagai surat cintanya pada Dona, kembali akan mereka serahkan pada Aryo. Niat dan harapan Ode dan Dido sederhan
Dido mendekati Ode dan melihat sejenak buku yang mereka cari, tapi Ode langsung menutup buku.“Ayo Do, cepat bantu atur kembali buku-buku yang berantakan itu.” Tanpa banyak protes, Dido menurut saja perintah Ode untuk merapikan buku-buku itu meskipun Ode tidak membantunya. Tenaga Dido seperti sedang penuh, karena telah dialiri rasa gembira setelah mendapat foto sang artis idola. Sedangkan Ode langsung beranjak menuju tepi tempat tidur dan duduk bersandar sambil membaca kembali isi dari puisi-puisi yang ada di buku yang baru saja ditemukan. Ode sudah ingat dan yakin salah satu puisi yang memang sedang ia cari terdapat di halaman depannya.“Semoga usaha kita membantu Aryo bisa berhasil Do. Nanti kalau dia baca puisi ini mudah-mudahan bisa mengubah perasaan Aryo. Supaya kembali sayang sama Dona,” jelas Ode serius. Ia mulai memperhatikan kembali puisinya, seakan ingin bernostalgia lagi dengan semua kenangan yang pernah ia lalui bersama sahabat dekat
Di pendopo kampus, Ode duduk gelisah menuggu dosen pembimbing skripsinya.“Mana ya, kok belum selesai juga kelasnya?” pikir Ode sembari mengawasi tangga turun dari lantai atas tempat kelas perkuliahan.Kali ini Ode benar-benar menanti dengan serius dan tidak ingin gagal seperti tiga minggu sebelumnya, yang selalu saja tidak berhasil bertemu. Jika bukan Ode yang terlambat menemui ketika dosen telah selesai memberikan materi kuliah, kadang Ode yang tidak datang ke kampus. Adapun bahan materi skripsinya hanya ia titipkan pada pihak akademik, disertai dengan tugas makalah untuk diambil sang dosen ketika datang ke kampus.Akhirnya Ode baru menyadari dan merasakan langsung salah satu faktor yang membuat skripsi lama adalah karena sulitnya bertemu dengan dosen pembimbing untuk memeriksa bab per bab dari skripsi yang dibuat. Belum lagi ditambah dengan waktu untuk merevisi yang kadang tidak hanya sekali.Bukan hanya itu, kesulitan lain yang dialami Ode
Dido masih berharap mendapat balasan bersalaman. Ia juga menunggu jawaban gadis berbaju montir. Dari pakaiannya sudah jelas, tapi Dido masih ingin memastikan, sekaligus untuk membuka obrolan.Bukannya membalas salaman dan mengenalkan nama, sang montir terkesan cuek. Ia hanya menunjukan tangannya yang kotor dan tidak menghiraukan uluran tangan Dido.”Motornya kenapa?” tanya sang gadis montir cantik datar, dingin, tanpa senyum.”Waow, aku ndak nyangka bakal ketemu montir wuayu. Sudah lama jadi montir? Masih single? ” tanya Dido tanpa malu.”Eh, mas, mau datang servis motor atau mau jadi petugas biro jodoh?” tegas montir cantik itu mulai sedikit kesal.Dido terkejut karena mendengar suara tegas montir cantik. Akhirnya ia sadar dan mulai menjelaskan kondisi motornya. Sementara itu, dari dalam garasi bengkel, tampak seorang bapak ikut bicara.”Ra, aku sekalian makan ya, keburu l
Dirapikannya kembali baju kemeja putih dan dasinya, mengusap keringat yang masih ada, kemudian Ode melangkah masuk ke dalam untuk kembali menemui tiga orang dosen yang telah selesai berunding memutuskan apakah Ode lulus atau tidak.Setelah dipersilakan duduk, ketiga dosen melihat Ode dengan bermacam ekspresi. Ada yang semula senyum, tapi setelah itu wajahnya menjadi datar. Begitu juga dengan dosen ketiga yang jadi penguji utama. Ia tidak ada senyum sama sekali. Terakhir, Ode melirik dosen pembimbingnya, tapi ia sedang melihat kembali skripsi Ode di mejanya. Ia juga tanpa senyum sedikitpun.Pikiran Ode semakin kalut setelah melihat tanda ekspresi wajah dosen. Ode dihinggapi kecemasan kemungkinan tidak lulus ujian.Tapi Ode mencoba tenang dan menunggu apa yang akan mereka sampaikan.”Baiklah saudara Laode, kami telah berunding setelah melakukan pengujian skripsi Anda. Kami berharap, apapun hasilnya nanti, Anda harus tetap memenuhi janji almameter Anda
Adanya telepon darurat telah membuat Ode mengebut dan menuntaskan pengerjaan skripsinya. Siang malam ia banyak habiskan waktu mengerjakan dan melupakan sejenak urusan persahabatannya. Kegiatannya lebih banyak di kamar, perpustakaan kampus, bertemu dosen di tempat janjian demi jemput bola menyusul dan mengetahui perbaikan. Semua itu dilakukan dengan serius hingga akhirnya membuahkan hasilPagi ini, Ode telah berada diujung perjuangan skripsinya. Sejak sepuluh menit yang lalu, Ode telah duduk di kursi depan ruang sidang seorang diri. Meskipun ruangan ini dilengkapi dengan AC, tapi ternyata hal tersebut tidak menghalangi keringat dinginnya keluar membasahi keningnya.Dadanya berdetak cukup kencang dan ia tidak tenang karena pikirannya terus terbawa pada kejadian yang baru saja selesai dia alami lima menit yang lalu. Ya, di depan kursi tempat dia duduk ini, ada sebuah ruangan yang menjadi tempat diadakannya ujian skripsi. Tempat yang telah membuat Ode gugup, cemas, bimbang
Dengan wajah sendu, akhirnya kakak Dido bicara juga untuk menjawab pertanyaan tentang Dido.“Dido sakit. Belum tahu sakit apa, sampai sekarang belum sembuh. Katanya dadanya sakit,” jelas kakaknya sambil menahan sedihnya. Bahkan kali ini ibu Dido juga mulai tidak kuasa menahan air matanyaLalu mulailah kakak Dido melanjutkan ceritanya, dari awal mula sakitnya hingga sekarang, dengan begitu serius dan terharu. Meskipun ia tahu bahwa ibunya tidak sanggup menahan rasa sedih ketika mendengar apa yang menimpa Dido, anak yang jadi harapan keluarga, tapi dia tetap berusaha menceritakannya.Dengan serius mereka semua mendengarkan ceritanya dari awal. Dona juga terbawa perasaan hatinya karena sedih ketika mengetahui apa yang terjadi pada Dido.“Tadinya kesehatan Dido bisa membaik, tapi ndak ngerti kenapa, seminggu belakangan kambuh lagi. Dadanya bahkan semakin terasa sakit dari sebelumnya. Pikirannya juga kadang ndak ibu mengerti. Kata dokter di p
Ekspresi kemarahan kakak Dido semakin tinggi, ia seperti tidak dapat menahan diri lagi dan tanpa banyak basa basi, ia langsung luapkan kemarahan itu.“Ooooh, jadi ini tho yang namanya Aryo?! Kamu yang suruh preman untuk mengeroyok Dido. Untuk apa kamu ke sini?!” tanya kakak Dido dengan nada tegas dan ekspresi marah.Semua terkejut, apalagi Dona. Suara kakak Dido yang tadinya masih terdengar ramah dan halus, seketika berubah menjadi keras. Kakak Dido melihat Aryo dengan tatapan serius. Ia sama sekali tidak menyangka jika tamu yang datang siang ini adalah orang yang dianggapnya telah menjadi biang keladi dari sakit yang diderita adiknya.Dona yang kebetulan duduk di dekat Aryo memandang Aryo dan kakak Dido bergantian.“Apa maksudnya nih?” pikir Dona heran sembari melihat Aryo dan kakak Dido bergantian. Ia masih bingung belum paham apa yang terjadi. Bagi Dona, tuduhan itu tidak bisa diterimanya. In
Aryo tetap ngotot dan terus melangkah. Teman-teman yang datang menjenguk semua semakin penasaran. Ode tidak menyangka dengan apa yang ingin dilakukan Aryo.Di sisi lain, Ode bersyukur karena akhirnya rasa kekeluargaan dalam persahabatan mereka sepertinya kembali terjalin. Meskipun Ode tahu keputusan Aryo konyol dan pasti akan dilarang dokter, tapi ada sebuah harapan dalam dirinya bahwa semoga saja Dido bisa ditolong dan dibawa ke rumah sakit karena ada donatur.Sementara itu, beberapa adik kelas yang baru saja datang untuk menjenguk Aryo juga tampak terkejut. Mereka tidak menyangka jika pasien yang akan dijenguknya telah berdiri layaknya orang sehat.“Eeaaalaaahh.. Uweis waras ta rek?” celetuk salah seorang adik kelas OdeMereka yang baru saja datang ini adalah gadis-gadis kampus yang dulu pernah memuja Aryo. Tapi kini sebagian dari mereka tidak datang sendirian lagi karena ada belahan jiwa yang telah mengisi hatinya. Kecuali satu ora
Siang ini, Ode dan beberapa teman dekat yang satu angkatan dengan Aryo, datang menjenguk Aryo ke rumah sakit. Kondisinya kali ini lebih baik dari kemarin, meskipun sudah bisa bangun, duduk, bahkan berdiri, tapi tetap saja tangannya masih sakit untuk digerakkan. Bahkan digantung dengan alat bantu yang diikat di bahu dan leher. Sedangkan Dona, ia hanya mengalami luka lecet di siku dan diperban saja.Setelah berhasil mengumpulkan uang sumbangan sukarela, akhirnya Ode dan teman-temannya datang dengan membawa amplop dan sekantong buah-buahan.”Aryo, ini dari teman-teman semua. Mungkin cuma sekedarnya, tapi semoga bisa membantu. Cepat sembuh ya,” kata Santy, teman yang satu angkatan juga dengan Aryo. Karena Aryo tidak bisa menerima, maka Dona yang selalu setia menemaninya, menerima pemberian tersebut.”Makasih ya, sudah merepotkan,” kata Dona dengan riang.”Nggak repot kok, ini semua keinginan dari teman-teman. Pokoknya nggak ada y
Sejak kejadian sakitnya ibu Aryo yang sempat mendadak masuk UGD dan seminggu dirawat inap di rumah sakit, lalu dirawat hampir sebulan di rumahnya, persoalan sidang cerai Aryo dan Dona di Pengadilan Agama kembali dilanjutkan. Sakit yang sempat membuat ibunya masuk UGD cukup membuat Aryo berpikir lebih jauh.Pendirian dan keegoisannya dalam diri Aryo dan Dona sepertinya berubah akibat peristiwa jatuh sakitnya ibu Aryo. Apalagi nasehat-nasehat yang mereka dengar sejak sakit kerasnya ibu Aryo terus saja mengalir tanpa henti. Pihak keluarga masing-masing dari mereka seperti ingin menyadarkan Aryo dan Dona dari mimpi keduanya. Seakan ingin menyadarkan kembali arti dan tujuan kebersamaan mereka dalam ikatan rumah tangga.Pagi ini Aryo dan Dona kembali datang ke kantor Pengadilan Agama Surabaya. Tujuan Aryo dan Dona ternyata tidak seperti persidangan sebelumnya yang ingin melakukan perceraian.“Kami minta waktu untuk konsultasi dengan yang mulia majelis Hakim,&rdq
Ode terkejut mendengar perkataan kakak Dido yang tampak marah. Tanpa menunggu penjelasan, ia langsung lanjut meluapkan emosinya yang terpendam sejak lama.”Kamu ngerti ndak, adikku sekarang jadi sakit keras gara-gara di keroyok sama preman suruhanmu! Untuk apa kamu ke sini?!” tanyanya dengan emosi tinggi.Mendengar tuduhan itu, Ode kaget dan jadi salah tingkah. Sebenarnya Ode ingin menyanggah, tapi dia yakin telah terjadi salah paham. Ode juga mengerti bahwa kemarahan tersebut adalah luapan emosi yang terpendam. Ode jadi ingat dengan kasus pengeroyokan.“Bukan mbak, bukan saya,” jelas Ode agak panik.Suasana sempat berubah tegang. Bahkan ibu Dido yang tadinya sedang ada di dalam, tiba-tiba muncul karena mendengar ada keributan. Ia pun heran melihat keadaan yang terjadi di ruang tamu rumah sederhananya.Tapi untungnya, dalam keadaan yang sedang tegang tersebut, paman Dido langsung menyela.”Tunggu, nduk,
Sudah hampir dua minggu berlalu sejak kepulangan Dido ke Lamongan, tapi Ode belum mendapat kabar tentangnya. Ode sempat was-was dan bertanya-tanya tentang apakah yang sedang terjadi dengan Dido. Teman-teman di kampusnya juga tidak ada yang tahu pasti.“Kok Dido belum balik lagi ke kampus ya?” pikir Ode di dalam kamarnya. Ia sudah menunggu beberapa hari tapi Dido belum juga kembali. Biasanya hanya satu atau dua hari libur pulang ke kampung, sekarang sudah hampir seminggu lebih tapi belum juga kembali. Tidak ada juga kabar tentangnya, teman-teman di kampus Ode juga tidak tahu.Akibat gelisah dan kebetulan sedang lowong, akhirnya Ode memutuskan untuk datang ke rumah Dido di Lamongan.“Lebih baik aku main ke rumahnya, sekalian silaturahim dan liburan,” pikir Ode.Kebetulan juga ia sudah pernah diajak Dido ke rumah orang tuanya di Lamongan, pada saat liburan semester empat.Meskipun Ode ragu dan agak tidak yakin jika ia masih men