Dido mendekati Ode dan melihat sejenak buku yang mereka cari, tapi Ode langsung menutup buku.
“Ayo Do, cepat bantu atur kembali buku-buku yang berantakan itu.” Tanpa banyak protes, Dido menurut saja perintah Ode untuk merapikan buku-buku itu meskipun Ode tidak membantunya. Tenaga Dido seperti sedang penuh, karena telah dialiri rasa gembira setelah mendapat foto sang artis idola. Sedangkan Ode langsung beranjak menuju tepi tempat tidur dan duduk bersandar sambil membaca kembali isi dari puisi-puisi yang ada di buku yang baru saja ditemukan. Ode sudah ingat dan yakin salah satu puisi yang memang sedang ia cari terdapat di halaman depannya.
“Semoga usaha kita membantu Aryo bisa berhasil Do. Nanti kalau dia baca puisi ini mudah-mudahan bisa mengubah perasaan Aryo. Supaya kembali sayang sama Dona,” jelas Ode serius. Ia mulai memperhatikan kembali puisinya, seakan ingin bernostalgia lagi dengan semua kenangan yang pernah ia lalui bersama sahabat dekat
Di pendopo kampus, Ode duduk gelisah menuggu dosen pembimbing skripsinya.“Mana ya, kok belum selesai juga kelasnya?” pikir Ode sembari mengawasi tangga turun dari lantai atas tempat kelas perkuliahan.Kali ini Ode benar-benar menanti dengan serius dan tidak ingin gagal seperti tiga minggu sebelumnya, yang selalu saja tidak berhasil bertemu. Jika bukan Ode yang terlambat menemui ketika dosen telah selesai memberikan materi kuliah, kadang Ode yang tidak datang ke kampus. Adapun bahan materi skripsinya hanya ia titipkan pada pihak akademik, disertai dengan tugas makalah untuk diambil sang dosen ketika datang ke kampus.Akhirnya Ode baru menyadari dan merasakan langsung salah satu faktor yang membuat skripsi lama adalah karena sulitnya bertemu dengan dosen pembimbing untuk memeriksa bab per bab dari skripsi yang dibuat. Belum lagi ditambah dengan waktu untuk merevisi yang kadang tidak hanya sekali.Bukan hanya itu, kesulitan lain yang dialami Ode
Dido masih berharap mendapat balasan bersalaman. Ia juga menunggu jawaban gadis berbaju montir. Dari pakaiannya sudah jelas, tapi Dido masih ingin memastikan, sekaligus untuk membuka obrolan.Bukannya membalas salaman dan mengenalkan nama, sang montir terkesan cuek. Ia hanya menunjukan tangannya yang kotor dan tidak menghiraukan uluran tangan Dido.”Motornya kenapa?” tanya sang gadis montir cantik datar, dingin, tanpa senyum.”Waow, aku ndak nyangka bakal ketemu montir wuayu. Sudah lama jadi montir? Masih single? ” tanya Dido tanpa malu.”Eh, mas, mau datang servis motor atau mau jadi petugas biro jodoh?” tegas montir cantik itu mulai sedikit kesal.Dido terkejut karena mendengar suara tegas montir cantik. Akhirnya ia sadar dan mulai menjelaskan kondisi motornya. Sementara itu, dari dalam garasi bengkel, tampak seorang bapak ikut bicara.”Ra, aku sekalian makan ya, keburu l
Apa yang dialami Aryo dan Dona sebenarnya bukan hal yang baru diketahui Ode. Seiring waktu, persoalan tentang pertengkaran dalam rumah tangga mereka juga telah mulai muncul di media massa beberapa kali. Bahkan hampir empat bulan berlalu, pemberitaan kasus Aryo dan Dona masih saja muncul di media massa.Aryo sebagai anak seorang pebisnis terkenal, dan Dona puteri seorang pejabat penting, rupanya menjadi daya tarik pemberitaan wartawan pada koran rubrik gosip. Kemelut rumah tangga mereka yang bocor kini mulai menjadi berita yang menarik bagi para pegiat infotainment.Hal lain yang memang sangat mendukung Ode dan Dido dalam mendapatkan informasi tentang kabar Aryo dan Dona adalah karena sebagian dari para kakak kelas mereka adalah orang yang juga turut meliput perkembangan berita tersebut.”De, kamu sudah dengar kabar terbaru Aryo? Mereka tetap ingin bercerai ya?” tanya Santy ketika Ode pernah bertemu dengannya di perpustakaan. Ia adalah
Ode dan Dido belum juga beranjak dari tempatnya. Mereka masih memikirkan apa yang baru saja dilihatnya dan penasaran.“Iya juga. Tapi mungkin saja mereka ada kegiatan meeting di sini. Kan biasanya gitu, eksekutif muda sering ada kegiatan di luar kantor,” sahut Ode coba berprasangka positifDido mengangguk dan mereka tampak berpikir.“Jangan-jangan ini sebenarnya yang jadi sumber masalah rumah tangga Aryo dan Dona,” jelas Ode dan sempat merasa bahwa dugaan Dona pada Aryo benar.“Nah itu, aku juga mikirnya begitu,” lanjut Dido membenarkan tapi sambil sesekali masih melihat foto close up wajah gadis yang dipotretnya tadi. Ia masih terkesima dengan kecantikannya.“Apa kita telepon aja Aryo ya langsung tanyain?” usul Ode.“Eh jangan, justru nanti malah ketahuan. Bagusan gini, kita diam-diam mengamati. Kayak detektif, kayak paparazi. Ini foto biar aja aku simpan, siapa tahu nanti berguna.
Pagi yang cerah seharusnya dijalani dengan ceria. Tapi kali ini terasa berbeda bagi Ode dan Dido karena kembali mengalami ketegangan seperti yang pernah mereka rasakan saat berada di rumah Aryo.Dua hari sebelumnya, Ode dan Dido sudah mendapat surat panggilan dari Kantor Pengadilan Agama Surabaya, untuk diminta sebagai saksi dari pihak Aryo atas permintaan Aryo.“Aku sebenarnya nggak mau nih kalau begini,” keluh Ode.Ode dan Dido bingung, dilema. Mereka tidak tahu bagaimana nanti jadinya jika memberi kesaksian. Padahal mereka sendiri sudah cukup dipusingkan dengan tugas-tugas kuliah yang sering terabaikan dan selalu dalam ancaman tidak lulus.“Biarin saja De. Ikuti saja maunya. Aku juga sudah capek dan malas. Tugas kuliah kita sendiri malah jadi nggak keurus. Emangnya cuma dia saja yang kita urus?” protes Dido sesaat sebelum mereka memberi kesaksian di pengadilan agama. Ia sudah bosan dan muak karena upaya mereka untuk membantu per
Dalam sekejap, Aryo langsung maju menghampiri Ode dan Dido dengan agak berlari. Ia menerjang bagaikan banteng mengamuk, Amarahnya tidak terbendung lagi, bahkan ia seakan lupa keduanya adalah sahabat dekatnya. Ia benar-benar emosi, kecewa dan tidak terima atas sikap Ode. Harapannya yang semula semua berjalan lancar sesuai keinginannya pupus. Kesaksian tadi menjadi hambatan yang bahkan bisa jadi membuat perceraiannya gagal, atau minimal jadi tertunda.”Kamu itu teman apa bukan sih?!” hardik Aryo memaki dengan amarah yang membuncah, sebagaimana kebiasaannya jika sedang marah. Ia langsung menubruk Ode, menarik kerah bajunya dengan kasar, sedangkan Ode hanya diam dan memandangnya dengan lekat, wajah datar dan berusaha tidak terpancing emosi atau meladeni kemarahan Aryo.”Ternyata kamu nggak bantu aku! Jan##k!” tegasnya mengumpat, emosi dan wajah membara. Ia menatap Ode dengan tatapan tajam, matanya agak memerah.Ode melihat Dido dan bebe
Perjalanan pulang dari pengadilan semakin terasa tidak nyaman bagi Ode. Selain karena sedang terjebak kemacetan, juga karena ia masih terbayang dengan kejadian di kantor pengadilan. Peristiwa tersebut menjadi beban pikirannya, terutama retaknya persahabatan mereka. Kadang juga perasaan bersalah muncul karena tidak berhasil membantu Aryo.Meski menahan sakit di dagu, Ode masih bisa tetap duduk tenang di atas motor vespa, sedangkan Dido tidak peduli pada Ode. Ia hanya serius memperhatikan jalan di depannya, mengendarai vespanya dengan lebih cepat dari biasanya.“Do, kamu masih marah ya?” tanya Ode pada Dido, tapi suaranya yang tidak begitu kencang dan juga suara knalpot vespa yang tengah melaju seakan telah membuat suara Ode meredup.Sebenarnya Dido sempat samar mendengar dan tahu jika Ode ingin mengajaknya bicara, tapi ia seperti cuek dan tidak menanggapi. Ia tidak mau meladeni berbincang seperti biasanya, melainkan hanya fokus mengendarai vespa kesay
Aksi serangan mendadak dan pengeroyokan masih terus terjadi di tepi jalan, di bawah rimbunnya pohon. Empat orang preman seolah melampiaskan segala emsoinya dengan menyerang Ode dan Dido yang tidak berdaya. Serbuan dan serangan bertubi-tubi dari para preman memang sangat cepat dan hanya dalam waktu sekitar satu menit Ode dan Dido telah terkapar dihajar habis-habisan. Suasana jalan juga sedang sepi, kebetulan belum ada kendaraan yang kembali melintas dan membantu.Tapi untungnya dalam kepanikan dan rintihan tersebut, tiba-tiba Ode mendengar suara motor dan derit ban yang di rem mendadak, meski telah lewat belasan meter, tidak jauh dari tempat Ode dan Dido dikeroyok. Pengendara itu sebelumnya tidak melihat karena tertutup mobil, untung saja ia sempat menoleh dan ketika melihat ada pemukulan di balik mobil yang menghalangi ia langsung berhenti.“Woooiiii!” teriak seorang pengendara motor. Suaranya cukup keras dan badannya postur besar, kekar. Ia turun dari moto
Dirapikannya kembali baju kemeja putih dan dasinya, mengusap keringat yang masih ada, kemudian Ode melangkah masuk ke dalam untuk kembali menemui tiga orang dosen yang telah selesai berunding memutuskan apakah Ode lulus atau tidak.Setelah dipersilakan duduk, ketiga dosen melihat Ode dengan bermacam ekspresi. Ada yang semula senyum, tapi setelah itu wajahnya menjadi datar. Begitu juga dengan dosen ketiga yang jadi penguji utama. Ia tidak ada senyum sama sekali. Terakhir, Ode melirik dosen pembimbingnya, tapi ia sedang melihat kembali skripsi Ode di mejanya. Ia juga tanpa senyum sedikitpun.Pikiran Ode semakin kalut setelah melihat tanda ekspresi wajah dosen. Ode dihinggapi kecemasan kemungkinan tidak lulus ujian.Tapi Ode mencoba tenang dan menunggu apa yang akan mereka sampaikan.”Baiklah saudara Laode, kami telah berunding setelah melakukan pengujian skripsi Anda. Kami berharap, apapun hasilnya nanti, Anda harus tetap memenuhi janji almameter Anda
Adanya telepon darurat telah membuat Ode mengebut dan menuntaskan pengerjaan skripsinya. Siang malam ia banyak habiskan waktu mengerjakan dan melupakan sejenak urusan persahabatannya. Kegiatannya lebih banyak di kamar, perpustakaan kampus, bertemu dosen di tempat janjian demi jemput bola menyusul dan mengetahui perbaikan. Semua itu dilakukan dengan serius hingga akhirnya membuahkan hasilPagi ini, Ode telah berada diujung perjuangan skripsinya. Sejak sepuluh menit yang lalu, Ode telah duduk di kursi depan ruang sidang seorang diri. Meskipun ruangan ini dilengkapi dengan AC, tapi ternyata hal tersebut tidak menghalangi keringat dinginnya keluar membasahi keningnya.Dadanya berdetak cukup kencang dan ia tidak tenang karena pikirannya terus terbawa pada kejadian yang baru saja selesai dia alami lima menit yang lalu. Ya, di depan kursi tempat dia duduk ini, ada sebuah ruangan yang menjadi tempat diadakannya ujian skripsi. Tempat yang telah membuat Ode gugup, cemas, bimbang
Dengan wajah sendu, akhirnya kakak Dido bicara juga untuk menjawab pertanyaan tentang Dido.“Dido sakit. Belum tahu sakit apa, sampai sekarang belum sembuh. Katanya dadanya sakit,” jelas kakaknya sambil menahan sedihnya. Bahkan kali ini ibu Dido juga mulai tidak kuasa menahan air matanyaLalu mulailah kakak Dido melanjutkan ceritanya, dari awal mula sakitnya hingga sekarang, dengan begitu serius dan terharu. Meskipun ia tahu bahwa ibunya tidak sanggup menahan rasa sedih ketika mendengar apa yang menimpa Dido, anak yang jadi harapan keluarga, tapi dia tetap berusaha menceritakannya.Dengan serius mereka semua mendengarkan ceritanya dari awal. Dona juga terbawa perasaan hatinya karena sedih ketika mengetahui apa yang terjadi pada Dido.“Tadinya kesehatan Dido bisa membaik, tapi ndak ngerti kenapa, seminggu belakangan kambuh lagi. Dadanya bahkan semakin terasa sakit dari sebelumnya. Pikirannya juga kadang ndak ibu mengerti. Kata dokter di p
Ekspresi kemarahan kakak Dido semakin tinggi, ia seperti tidak dapat menahan diri lagi dan tanpa banyak basa basi, ia langsung luapkan kemarahan itu.“Ooooh, jadi ini tho yang namanya Aryo?! Kamu yang suruh preman untuk mengeroyok Dido. Untuk apa kamu ke sini?!” tanya kakak Dido dengan nada tegas dan ekspresi marah.Semua terkejut, apalagi Dona. Suara kakak Dido yang tadinya masih terdengar ramah dan halus, seketika berubah menjadi keras. Kakak Dido melihat Aryo dengan tatapan serius. Ia sama sekali tidak menyangka jika tamu yang datang siang ini adalah orang yang dianggapnya telah menjadi biang keladi dari sakit yang diderita adiknya.Dona yang kebetulan duduk di dekat Aryo memandang Aryo dan kakak Dido bergantian.“Apa maksudnya nih?” pikir Dona heran sembari melihat Aryo dan kakak Dido bergantian. Ia masih bingung belum paham apa yang terjadi. Bagi Dona, tuduhan itu tidak bisa diterimanya. In
Aryo tetap ngotot dan terus melangkah. Teman-teman yang datang menjenguk semua semakin penasaran. Ode tidak menyangka dengan apa yang ingin dilakukan Aryo.Di sisi lain, Ode bersyukur karena akhirnya rasa kekeluargaan dalam persahabatan mereka sepertinya kembali terjalin. Meskipun Ode tahu keputusan Aryo konyol dan pasti akan dilarang dokter, tapi ada sebuah harapan dalam dirinya bahwa semoga saja Dido bisa ditolong dan dibawa ke rumah sakit karena ada donatur.Sementara itu, beberapa adik kelas yang baru saja datang untuk menjenguk Aryo juga tampak terkejut. Mereka tidak menyangka jika pasien yang akan dijenguknya telah berdiri layaknya orang sehat.“Eeaaalaaahh.. Uweis waras ta rek?” celetuk salah seorang adik kelas OdeMereka yang baru saja datang ini adalah gadis-gadis kampus yang dulu pernah memuja Aryo. Tapi kini sebagian dari mereka tidak datang sendirian lagi karena ada belahan jiwa yang telah mengisi hatinya. Kecuali satu ora
Siang ini, Ode dan beberapa teman dekat yang satu angkatan dengan Aryo, datang menjenguk Aryo ke rumah sakit. Kondisinya kali ini lebih baik dari kemarin, meskipun sudah bisa bangun, duduk, bahkan berdiri, tapi tetap saja tangannya masih sakit untuk digerakkan. Bahkan digantung dengan alat bantu yang diikat di bahu dan leher. Sedangkan Dona, ia hanya mengalami luka lecet di siku dan diperban saja.Setelah berhasil mengumpulkan uang sumbangan sukarela, akhirnya Ode dan teman-temannya datang dengan membawa amplop dan sekantong buah-buahan.”Aryo, ini dari teman-teman semua. Mungkin cuma sekedarnya, tapi semoga bisa membantu. Cepat sembuh ya,” kata Santy, teman yang satu angkatan juga dengan Aryo. Karena Aryo tidak bisa menerima, maka Dona yang selalu setia menemaninya, menerima pemberian tersebut.”Makasih ya, sudah merepotkan,” kata Dona dengan riang.”Nggak repot kok, ini semua keinginan dari teman-teman. Pokoknya nggak ada y
Sejak kejadian sakitnya ibu Aryo yang sempat mendadak masuk UGD dan seminggu dirawat inap di rumah sakit, lalu dirawat hampir sebulan di rumahnya, persoalan sidang cerai Aryo dan Dona di Pengadilan Agama kembali dilanjutkan. Sakit yang sempat membuat ibunya masuk UGD cukup membuat Aryo berpikir lebih jauh.Pendirian dan keegoisannya dalam diri Aryo dan Dona sepertinya berubah akibat peristiwa jatuh sakitnya ibu Aryo. Apalagi nasehat-nasehat yang mereka dengar sejak sakit kerasnya ibu Aryo terus saja mengalir tanpa henti. Pihak keluarga masing-masing dari mereka seperti ingin menyadarkan Aryo dan Dona dari mimpi keduanya. Seakan ingin menyadarkan kembali arti dan tujuan kebersamaan mereka dalam ikatan rumah tangga.Pagi ini Aryo dan Dona kembali datang ke kantor Pengadilan Agama Surabaya. Tujuan Aryo dan Dona ternyata tidak seperti persidangan sebelumnya yang ingin melakukan perceraian.“Kami minta waktu untuk konsultasi dengan yang mulia majelis Hakim,&rdq
Ode terkejut mendengar perkataan kakak Dido yang tampak marah. Tanpa menunggu penjelasan, ia langsung lanjut meluapkan emosinya yang terpendam sejak lama.”Kamu ngerti ndak, adikku sekarang jadi sakit keras gara-gara di keroyok sama preman suruhanmu! Untuk apa kamu ke sini?!” tanyanya dengan emosi tinggi.Mendengar tuduhan itu, Ode kaget dan jadi salah tingkah. Sebenarnya Ode ingin menyanggah, tapi dia yakin telah terjadi salah paham. Ode juga mengerti bahwa kemarahan tersebut adalah luapan emosi yang terpendam. Ode jadi ingat dengan kasus pengeroyokan.“Bukan mbak, bukan saya,” jelas Ode agak panik.Suasana sempat berubah tegang. Bahkan ibu Dido yang tadinya sedang ada di dalam, tiba-tiba muncul karena mendengar ada keributan. Ia pun heran melihat keadaan yang terjadi di ruang tamu rumah sederhananya.Tapi untungnya, dalam keadaan yang sedang tegang tersebut, paman Dido langsung menyela.”Tunggu, nduk,
Sudah hampir dua minggu berlalu sejak kepulangan Dido ke Lamongan, tapi Ode belum mendapat kabar tentangnya. Ode sempat was-was dan bertanya-tanya tentang apakah yang sedang terjadi dengan Dido. Teman-teman di kampusnya juga tidak ada yang tahu pasti.“Kok Dido belum balik lagi ke kampus ya?” pikir Ode di dalam kamarnya. Ia sudah menunggu beberapa hari tapi Dido belum juga kembali. Biasanya hanya satu atau dua hari libur pulang ke kampung, sekarang sudah hampir seminggu lebih tapi belum juga kembali. Tidak ada juga kabar tentangnya, teman-teman di kampus Ode juga tidak tahu.Akibat gelisah dan kebetulan sedang lowong, akhirnya Ode memutuskan untuk datang ke rumah Dido di Lamongan.“Lebih baik aku main ke rumahnya, sekalian silaturahim dan liburan,” pikir Ode.Kebetulan juga ia sudah pernah diajak Dido ke rumah orang tuanya di Lamongan, pada saat liburan semester empat.Meskipun Ode ragu dan agak tidak yakin jika ia masih men