POV. BaraAku menunggunya dengan gelisah. Duduk di sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang. Entah sudah berapa lama, aku menunggunya. Tidak ada jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Tidak ada ponsel yang kubawa di dalam saku celanaku. Karena memang aku tidak memiliki kedua benda itu.Suasana yang mendung, membuatku tidak bisa melihat, sudah sampai mana, arah pergerakan sang raja tata surya. Entah ini sudah jam berapa. Apa mungkin, gadisku itu, lupa, bahwa hari ini adalah hari keberangkatanku? Tapi bukankah seminggu yang lalu, aku sudah berbicara? Atau mungkin, dia belum pulang sekolah?"Jam berapa, Mas?"Aku mencoba bertanya kepada seseorang yang lewat."Setengah dua," jawabnya sambil menengok aksesoris yang melingkar di tangannya. Kemudian dia berlalu pergi.Jam setengah dua. Itu artinya, aku sudah menunggunya selama satu jam. Tadi aku ke sini, tepat setelah shalat dhuhur. Dan sekarang, aku hanya punya waktu satu jam saja, yang masih tersisa. Jam empat sore, a
POV. Bara"Kamu yakin, mau meninggalkan aku, pergi sejauh itu?" Terdengar suara seraknya, yang seolah tercekat di kerongkongan."Maaf, hanya itu jalan satu-satunya. Bukankah sejak enam bulan yang lalu, aku sudah bilang sama kamu? Dan kamu sudah bilang iya?" jawabku."Aku bilang iya, karena aku tidak tahu. Jika ternyata rasanya akan sesakit ini ...."Kini bahkan tangisan Luna sudah pecah, bercampur dengan suara derasnya air hujan, juga suara petir yang menggelegar. Tubuhnya terlihat terguncang ke depan dan ke belakang. Aku sama sekali tidak bisa menenangkannya. Aku tidak berani untuk mengusap punggungnya. Apalagi berniat tuk memeluknya. Itu bukan gaya pacaran kami."Bukankah masih ada jalan lain? Kamu bisa mencari pekerjaan di sini. Tidak perlu pergi sejauh itu," ucap Luna di sela-sela isak tangisnya.Aku menghela nafas panjang. Rambut panjangnya terbawa angin, hingga menutupi sebagian wajahku. Kupejamkan mataku. Tercium aroma shampo yang wangi, bercampur aroma khas air hujan.Kupejam
POV. BaraAku pun mendongak ke atas. Jangan sampai, air mataku juga luruh, di hadapan kekasihku. Aku laki-laki. Seperti apa pun yang terjadi, aku tidak boleh menangis."Pergilah sekarang juga, jangan pernah menengok ke belakang," ucapnya, sambil memejamkan matanya.Aku pun segera berlari dengan cepat. Menuju bus yang sudah hampir melaju.Satu kakiku sudah naik ke atas. Kutolehkan pandanganku, kepada gadis pujaanku yang tengah berdiri terpaku. Aku memutuskan untuk tetap berdiri di pintu. Menghadap ke belakang, agar terus bisa melihatnya.Hingga bus berjalan, kami masih saling berpandangan. Kulihat tubuhnya semakin mengecil, kemudian tidak terlihat lagi, seiring dengan laju bus yang berjalan kian menjauh.Selamat tinggal ....Semoga lima tahun lagi, kita bisa bertemu kembali.*****Sesampainya di kantor Depnaker, aku segera mengikuti arahan yang ada. Kami semua, para calon TKI, dipindahkan ke tempat penampungan.Paginya, kami langsung diterbangkan ke negri yang menjadi tempat tujuan kam
POV. BaraSungguh di luar dugaan. Aku yang selama lima tahun membanting tulang di negeri orang, namun ternyata justru kenyataan yang begitu menyakitkan, yang menyambutku pulang.Gadis pujaanku duduk di pelaminan dengan lain orang.Segera kustarter sepeda motorku. Pergi dari tempat ini, sebelum tangisku tak bisa kubendung lagi.Pergi ke makam ayah dan ibuku. Sendirian. Tanpa Luna, seperti rencanaku sebelumnya.Sesampainya di pusara Ayah dan ibuku, aku segera mengirim doa-doa untuk mereka. Setelah doa-doa itu selesai kubacakan, aku pun bercerita tentang banyak hal.Aku bercerita kepada mereka. Tentang aku yang tidak pernah mengunjungi mereka, karena harus merantau ke tempat yang sangat jauh. Aku bercerita kepada mereka, tentang aku yang baru saja pulang. Aku bercerita kepada mereka, tentang aku yang sudah berhasil membangun rumah.Hingga akhirnya aku bercerita kepada mereka, tentang Luna. Tentang Luna yang ternyata sudah menjadi milik orang lain. Tentang Luna yang ternyata menikah, tepa
POV. BaraEnam bulan aku menekuni usahaku, untuk mencoba mengembangkan pasar, hingga ke luar pulau.Aku sudah memiliki beberapa karyawan. Memiliki beberapa mobil box, yang kusus untuk mengantar barang.Meskipun hatiku masih luka, karena pernikahan Luna, namun Ibu dan Bapak selalu menyemangatiku. Hingga aku bisa tegar, menjalankan usahaku.Aku pun jarang berada di rumah. Aku lebih sering ikut karyawanku pergi ke luar pulau. Selain karena ingin melihat-lihat peluang usaha, aku juga sebenarnya ingin mengalihkan rasa sakit hatiku.Satu tahun sudah, aku di negeri ini. Namun penggantinya Luna, belum juga kutemui. Jangankan ingin mencari penggantinya. Bahkan hingga kini, nama Luna, hingga kini masih menjadi ratu di hatiku, tanpa sedikit pun aku bisa melupakannya.Luna yang begitu mempesona. Luna yang dulu begitu menerimaku apa adanya. Meskipun dia dikejar oleh beberapa anak orang kaya, namun dia justru lebih memilihku, anak yatim-piatu yang tidak memiliki apa-apa.Bahkan aku selalu merasa. B
POV. BaraAku sudah tidak mampu meneruskan ucapanku. Tenggorokan ini terasa begitu sakit. Luka ini kembali terbuka.Ibu hanya ternganga. Dia kemudian mengambil figura foto yang ada di tanganku. Menatapnya dengan begitu lama."Kok Ibu tidak mengenalinya, ya? Apa mungkin karena foto ini, sudah terlalu lama, sehingga wajah Non Luna, sudah menjadi terlihat berbeda? Karena, foto ini, tidak memakai kerudung. Sementara, sekarang dia lebih sering memakai kerudung," gumam Ibu.Kutinggalkan Ibu yang masih berdiri terpaku, sambil menatap foto itu. Aku masuk ke kamarku. Kamar di lantai dua, yang kebetulan bersebelahan dengan rumah Luna.Semenjak saat itu, aku lebih sering tidak berada di rumah. Aku tidak kuat, melihat kemesraan mereka.Apalagi jika malam hari. Kadang aku mendengar suara-suara aneh mereka. Karena mungkin saja, memang kamar kami bersebelahan. Saat seperti itu, aku hanya bisa meluapkan emosiku dengan pergi ke belakang rumah, memukuli samsak tinju yang tergantung itu.Dan jika malamn
Pov. LunaDalam hatiku, sebenarnya aku merasa sangat berdosa, karena telah melalaikan kewajibanku sebagai seorang istri. Kusadari, bahwa sebenarnya, gelisah yang melanda kekasih halalku itu, karena dia sedang merasa begitu menginginkan aku.Namun ternyata hati ini memang masih juga belum bisa berdamai dengan kenyataan yang ada. Bayangan suamiku yang pernah berg*mul dengan perempuan itu, begitu mengganggu alam pikiranku.Setiap saat, setiap waktu. Hanya hal ini yang ada dalam pikiranku. Menjelang tidur, aku membayangkan itu. Bangun dari tidur pun, hal itu sudah langsung terbayang di mataku. Bahkan ketika mataku sedang terpejam. Tak urung, hanya hal itu, yang mengganggu pikiranku.Kubayangkan. Bagaimana dia memeluk perempuan itu. Bagaimana dia menci*m perempuan itu. Bagaimana dia menc*mbu perempuan itu. Bagaimana dia mel*pas baju perempuan itu. Bagaimana suamiku menyentuh seluruh tub*h perempuan itu. Bagaimana suamiku menikm*ti perempuan itu.Kubayangkan bagaimana perempuan itu menyambu
POV. Luna"Terus, dia menanyakan tentang keuangan butik juga?" tanyaku.Jujur saja, aku merasa heran dengan suamiku. Tidak biasanya, dia ikut campur urusan butik. Biasanya dia selalu bersikap acuh tak acuh, dan tidak mau tahu."Laporan keuangan, juga ditanyakan. Dan saya jawab apa adanya. Terus beliau berpesan. Selama Bu Luna tidak datang, beliau meminta, supaya saya bekerja dengan sungguh-sungguh, dan jujur, jangan sampai mengecewakan Ibu. Begitu saja sih, Bu. Kadang juga Pak Aksa, menyempatkan diri datang ke butik, membawakan makanan untuk anak-anak. Tapi hanya masuk sebentar, menaruh makanan, terus pergi lagi," ucap Risa dengan begitu polos."Kalau saya lihat, Pak Aksa sekarang, cenderung lebih ramah. Kalau dulu kan, orangnya jutek. Saya sering takut, kalau pas di sini, terus ada Pak Aksa," ucap Risa lagi.Mendengar cerita Risa, aku pun berfikir. Berarti selama ini, selama aku vakum dari butik, diam-diam, suamiku berusaha ikut menjaga usahaku, agar tidak tumbang. Sementara aku just