Raisa masih terngiang dengan permintaan wanita itu. Dia menyuruh Raisa untuk membaca buku Bu Martyo. Sampai Delon sedarai tak berani untuk bertanya. Saat melihat Raisa yang termenung dengan memegang buku itu.
"Kamu masih tak ingin membacanya juga?"
"A-pa Mas Delon ingin melihatnya?"
"Sini, sebelum kita carai rumah keluarga Bu Sapto."
Tak ragu Raisa memberikan buku itu pada Delon. Dia langsung mengamati dengan seksama setiap coretan dalam lembarnya.
"Ini, seperti catatan yang dia alami, Sa. Aku bacakan ya?"
"Iya, Mas."
Hari pertama
Entah kenapa? Malam ini sangat berbeda. Tak seperti biasanya kalau aku memandikan jenazah. Kali ini, jenazah Bu Sapto terus menghantui. Dia mencari kukunya yang hilang. Aku benar-benar ketakutan. Ini sangat aneh.
Hari kedua
Malam ini, aku benar-benar tak bisa tidur. Mataku selalu melihat sekelbat bayangan hitam. Yang selalu mempermainka
"Bener, Mas. Sebuah teka teki yang sulit. Mesti harus dipecahkan. Untuk mencari sumber permasalahan yang sebenarnya. Iya 'kan, Mas?""Dari sini lah, Sa. Kita harus mencari rumah keluarga Bu Sapto. Semalam orang yang aku datangi juga bilang kayak gitu.""Sama, Mas. Mbah Karsiyem juga bilang begitu."Delon mengernyitkan dahi."Siapa Mbah Karsiyem?""Dia juga korban tumbal, Mas. Entah kenapa dia menampakkan dirinya sama aku. Anaknya dulu juga korban tumbal Bu Sapto juga.""Haaahhh? Serius?"Raisa mengangguk. Lalu mengambil buku dari pangkuan Delon."Sekarang kita harus mulai dari mana, Mas?""Sepertinya kita harus kembali ke rumah Bu Sapto. Tapi bukan tanya sama Bu Aminah. Sama tetangga kiri kanannya aja kita tanya, Sa. Gimana?""Aku setuju, Mas."Mobil pun mulai bergerak meninggalkan rumah Bu Martyo. Menuju jalan ke rumah almarhum Bu Sapto. Sekian menit berlalu. Mobil sudah berhenti di depan rumah Bu Sa
"Ba-bagaimana bisa? Buku itu aku pegang bisa terlempar begitu saja. Ini benar-benar aneh."Pandangan matanya tak lepas dari buku catatan itu. Sampai panggilan Momoy mengejutkannya."Mbak Raisa cari apaan?""Enggak! Aku enggak cari apa-apa kok.""Lah itu!" ujar Momoy dengan menunjuk ke arah lantai.Bergegas Raisa mengambil buku milik Bu Martyo. Lalu mendekapnya dan berjalan menuju kamar."Emang itu bukunya siap, Mbak?""Udahlah, ganti baju sana. Kok pengen tau aja!""Masa tanya gitu aja enggak boleh?""Boleh, Moy. Tapi, jangan semua pertanyaan kamu, Mbak juga harus jawab. Ingat kamu ini masih kecil!"Dengan wajah masam dan bibir yang cemberut. Momoy pergi meninggalkan kamar Raisa. Terdengar Raisa menghela napas panjang. Dia merasa bersalah bersikap sedikit ketus dengan adiknya.Langkah Raisa keluar kamar menuju kamar sang Bapak. Dia berdiri di ambang pintu. Melihat pada adiknya yang masih terlihat marah.
Terlihat Satriya menyesap rokok yang ada di sela jari. Lalu napasnya berhembus kasar. Seolah ada sesuatu yang berat."Anak kamu ini, sudah ditandai oleh mereka.""Ditandai bagaimana?" tanya Harso terbelalak."Ya, ditandai sama dukunnya."Seketika itu juga Harso menarik lengan Satriya."Apa maksud dengan dukun? Bukannya si Bu sapto ini kan sudah emninggal. Enggak ada yang pergi ke dukunnya lagi. Iya 'kan?""Itu kan menurut sampean Mas Harso. Tapi, kenyataannya ini enggak begitu. Ikatan perjanjian ini tidak akan batal biar pun orangnya ini meninggal. Perjanjian ini akan terus berjalan dan terus mencari tumbalnya sendiri. Bahkan bisa lebih ngawur lagi.""Ngawur katamu?"Satriya mengangguk. Sembari terus menyesap rokoknya. Dia pun ikut memerhatikan Harso yang kebingungan."Pesugihan ini enggak main-main, Mas. Sangat bahaya dan menakutkan. Sampean tahu, ini akan berlaku sampai turun menurun. Dan pihak keluarga ini tak akan mi
"Apa maksud pertanyaan kamu tadi, Mbak?" tanya Harso sedikit geram.Melihat perubahan dari raut wajah Harso. Dian mengerti kalau pertanyaan tadi sebuah kesalahan. Dia langsung berdiri berjalan mendekat."Maafkan saya, Pak!"Lalu Harso mengajak mereka semua untuk duduk."Bapak perkenalkan ini namanya, Mbak Dian. Dia yang akan jaga kalian dan semua urusan rumah juga. Mbak Dian ini juga yang akan mengerjakan semuanya.""Jadi Mbak Dian tidur di sini?" Momoy berpaling pada bapaknya."Iya, Moy. Nanti dia akan tidur di kamar belakang."Raisa hanya mengangguk sekali sembari tersenyum tipis. Dan melihat pada Dian yang juga tengah tersenyum padanya."Bapak dalam minggu depan pasti keluar kota lagi. Makanya sesuai janji Bapak, untuk mencarikan yang menemani kalian. Sekarang ada Mbak Dian ini.""Tapi, dia bukan Ibu baru 'kan Pak?" tanya Momoy tertunduk."Huuuussst! Jangan ngawur kamu. Mbak Dian ini sudah punya keluarga."
Sejenak Dian berdiri di depan pintu. Saat melihat meja makan. Dia berjalan mendekat. Lalu mengambil segelas air dingin di kulkas.Saat sedang meneguk air dingin.Tiba-tiba Dian berjingkat tinggi. Hampir saja gelas yang dibawanya terlempar."Si-siapa kamu?"Dian langsung menoleh ke belakang. Sosok bayangan hitam itu, terus melihat pada dirinya. Seketika Dian mulai merasa aura rumah ini berbeda. Tenggorokan yang tadinya basah oleh air dingin. Kini terasa tercekat.Rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajah. Semakin membuat Dian menarik napasnya dalam-dalam. Dia mundur perlahan seraya mengarahkan langkahnya menuju kamar."Ke-kenapa kamu memperlihatkan diri sama aku?" ucap Dian berbisik.Namun sosok itu hanya diam. Membuat Dian semakin terpaku mematung. Sesekali dia meraba tengkuknya yang terasa dingin. Membuat Dian bergidik merinding.Pandangan mata Dian mengarah pada kedua tangan sosok itu. Yang membawa bola mata masi
"Si-siapa dia? Malam-malam begini menelepon?"Mereka berdua saling beradu pandang. Dering telepon itu masih terus menerus berbunyi."Biar aku angkat, Pak."Dian mempercepat langkahnya. Sampai Dian mengangkat gagang telepon. Wanita itu mendengarkan sesaat. hening tanpa ada suara.Saat Dian ingin meletakkan gagang telepon. Dia mendengar suara yang gemerisik. Kembali dia mendengarkan gagang telepon."Ha-hallo ...!""Mana Raisa?""Raisa?""Mana Raisa?""I-ini siapa?"Kembali hening tanpa ada suara. Cukup lama Dian menunggu, tapi tetap tak ada suara dari seberang telepon."Hallo! Ini sama siapa?" ulang Dian.Sampai Harso berjalan mendekat. Raut wajahnya tampak gusar."Siapa Mbak Dian?""Enggak tau, Pak. Enggak di jawab.""Mana telponnya?"Dian memberikan teleponnya pada Harso. Dia mendekatkan gagang telepon di telinga. Mencoba mendengarkan semua latar dari seberang
Kriiing kriiing kriiiing!"Bu-bukannya tadi gagangnya Mbak Dian taruh di meja? Iya 'kan?""I-iya, Raisa. Enggak mungkin salah aku tadi. Tapi, kenapa teleponnya masih juga bunyi?"Raisa menggeleng. Keduanya hanya bisa saling berpandangan. Dengan raut wajah yang sangat tegang. Dan berharap dering telepon itu segera berhenti.Raisa dan Dian semakin membenamkan diri mereka ke dalam selimut. Berharap pagi segera menjelang. Sampai akhirnya suara sering telepon itu berhenti dengan sendirinya."Apa, hal ini sering terjadi?""Kadang sih, Mbak."Raisa masih bersembunyi di balik selimut."Menurut Mbak karena apa?"Wanita itu menghela napas panjang. Tak hanya sekali tapi berkali-kali. Dia pun tak langsung menjawab pertanyaan Raisa. Karena Dian tahu, ada satu hal yang pastinya berhubungan dengan dirinya."Bukannya kamu besok mau pergi?""Iya, Mbak.""Aku rasa ini ada kaitan dengan kepergian kamu, Raisa.""
Setelah kepergian Raisa. Ada rasa haru yang melesak dalam hati Harso. Saat Raisa sudah pergi. Ada ketakutan menyeruak. Berulang kali membuatnya menghela napas panjang.Sampai teguran Momoy mengejutkannya. Dia terus menggoyang telapak tangan Harso. Sembari mendongak ke arahnya."Bapak, kenapa kok melamun?"Lelaki itu menunduk dan mengusap rambut Momoy."Bapak cuman melihat mobilnya Pak Delon, Moy.""Udah enggak ada Pak mobilnya. Udah jauh!" seru bocah cilik itu."Kamu mandi sana. Nanti kesiangan masuk sekolahnya.""Iya, Pak!""Minta Mbak Dian siapkan baju kamu, Moy!"Bocah itu sudah berlari ke dalam rumah. Menghampiri Dian yang sudah masak di dapur."Moy, Bapak nanti malam pulangnya ya?""Kan ada Mbak Sa," sahutnya dengan merapikan pakaian."Sepertinya Mbak Raisa menginap. Kan ada Mbak Dian nanti."Bocah itu langsung cemberut."Enggak apa-apa, Moy. Nanti ditemani sama Mbak ya?"Te