"Dari sini lah, Sa. Kita harus mencari rumah keluarga Bu Sapto. Semalam orang yang aku datangi juga bilang kayak gitu."
"Sama, Mas. Mbah Karsiyem juga bilang begitu."
Delon mengernyitkan dahi.
"Siapa Mbah Karsiyem?"
"Dia juga korban tumbal, Mas. Entah kenapa dia menampakkan dirinya sama aku. Anaknya dulu juga korban tumbal Bu Sapto juga."
"Haaahhh? Serius?"
Raisa mengangguk. Lalu mengambil buku dari pangkuan Delon.
"Sekarang kita harus mulai dari mana, Mas?"
"Sepertinya kita harus kembali ke rumah Bu Sapto. Tapi bukan tanya sama Bu Aminah. Sama tetangga kiri kanannya aja kita tanya, Sa. Gimana?"
"Aku setuju, Mas."
Mobil pun mulai bergerak meninggalkan rumah Bu Martyo. Menuju jalan ke rumah almarhum Bu Sapto. Sekian menit berlalu. Mobil sudah berhenti di depan rumah Bu Sa
"Ba-bagaimana bisa? Buku itu aku pegang bisa terlempar begitu saja. Ini benar-benar aneh."Pandangan matanya tak lepas dari buku catatan itu. Sampai panggilan Momoy mengejutkannya."Mbak Raisa cari apaan?""Enggak! Aku enggak cari apa-apa kok.""Lah itu!" ujar Momoy dengan menunjuk ke arah lantai.Bergegas Raisa mengambil buku milik Bu Martyo. Lalu mendekapnya dan berjalan menuju kamar."Emang itu bukunya siap, Mbak?""Udahlah, ganti baju sana. Kok pengen tau aja!""Masa tanya gitu aja enggak boleh?""Boleh, Moy. Tapi, jangan semua pertanyaan kamu, Mbak juga harus jawab. Ingat kamu ini masih kecil!"Dengan wajah masam dan bibir yang cemberut. Momoy pergi meninggalkan kamar Raisa. Terdengar Raisa menghela napas panjang. Dia merasa bersalah bersikap sedikit ketus dengan adiknya.Langkah Raisa keluar kamar menuju kamar sang Bapak. Dia berdiri di ambang pintu. Melihat pada adiknya yang masih terlihat marah.
Terlihat Satriya menyesap rokok yang ada di sela jari. Lalu napasnya berhembus kasar. Seolah ada sesuatu yang berat."Anak kamu ini, sudah ditandai oleh mereka.""Ditandai bagaimana?" tanya Harso terbelalak."Ya, ditandai sama dukunnya."Seketika itu juga Harso menarik lengan Satriya."Apa maksud dengan dukun? Bukannya si Bu sapto ini kan sudah emninggal. Enggak ada yang pergi ke dukunnya lagi. Iya 'kan?""Itu kan menurut sampean Mas Harso. Tapi, kenyataannya ini enggak begitu. Ikatan perjanjian ini tidak akan batal biar pun orangnya ini meninggal. Perjanjian ini akan terus berjalan dan terus mencari tumbalnya sendiri. Bahkan bisa lebih ngawur lagi.""Ngawur katamu?"Satriya mengangguk. Sembari terus menyesap rokoknya. Dia pun ikut memerhatikan Harso yang kebingungan."Pesugihan ini enggak main-main, Mas. Sangat bahaya dan menakutkan. Sampean tahu, ini akan berlaku sampai turun menurun. Dan pihak keluarga ini tak akan mi
"Apa maksud pertanyaan kamu tadi, Mbak?" tanya Harso sedikit geram.Melihat perubahan dari raut wajah Harso. Dian mengerti kalau pertanyaan tadi sebuah kesalahan. Dia langsung berdiri berjalan mendekat."Maafkan saya, Pak!"Lalu Harso mengajak mereka semua untuk duduk."Bapak perkenalkan ini namanya, Mbak Dian. Dia yang akan jaga kalian dan semua urusan rumah juga. Mbak Dian ini juga yang akan mengerjakan semuanya.""Jadi Mbak Dian tidur di sini?" Momoy berpaling pada bapaknya."Iya, Moy. Nanti dia akan tidur di kamar belakang."Raisa hanya mengangguk sekali sembari tersenyum tipis. Dan melihat pada Dian yang juga tengah tersenyum padanya."Bapak dalam minggu depan pasti keluar kota lagi. Makanya sesuai janji Bapak, untuk mencarikan yang menemani kalian. Sekarang ada Mbak Dian ini.""Tapi, dia bukan Ibu baru 'kan Pak?" tanya Momoy tertunduk."Huuuussst! Jangan ngawur kamu. Mbak Dian ini sudah punya keluarga."
Sejenak Dian berdiri di depan pintu. Saat melihat meja makan. Dia berjalan mendekat. Lalu mengambil segelas air dingin di kulkas.Saat sedang meneguk air dingin.Tiba-tiba Dian berjingkat tinggi. Hampir saja gelas yang dibawanya terlempar."Si-siapa kamu?"Dian langsung menoleh ke belakang. Sosok bayangan hitam itu, terus melihat pada dirinya. Seketika Dian mulai merasa aura rumah ini berbeda. Tenggorokan yang tadinya basah oleh air dingin. Kini terasa tercekat.Rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajah. Semakin membuat Dian menarik napasnya dalam-dalam. Dia mundur perlahan seraya mengarahkan langkahnya menuju kamar."Ke-kenapa kamu memperlihatkan diri sama aku?" ucap Dian berbisik.Namun sosok itu hanya diam. Membuat Dian semakin terpaku mematung. Sesekali dia meraba tengkuknya yang terasa dingin. Membuat Dian bergidik merinding.Pandangan mata Dian mengarah pada kedua tangan sosok itu. Yang membawa bola mata masi
"Si-siapa dia? Malam-malam begini menelepon?"Mereka berdua saling beradu pandang. Dering telepon itu masih terus menerus berbunyi."Biar aku angkat, Pak."Dian mempercepat langkahnya. Sampai Dian mengangkat gagang telepon. Wanita itu mendengarkan sesaat. hening tanpa ada suara.Saat Dian ingin meletakkan gagang telepon. Dia mendengar suara yang gemerisik. Kembali dia mendengarkan gagang telepon."Ha-hallo ...!""Mana Raisa?""Raisa?""Mana Raisa?""I-ini siapa?"Kembali hening tanpa ada suara. Cukup lama Dian menunggu, tapi tetap tak ada suara dari seberang telepon."Hallo! Ini sama siapa?" ulang Dian.Sampai Harso berjalan mendekat. Raut wajahnya tampak gusar."Siapa Mbak Dian?""Enggak tau, Pak. Enggak di jawab.""Mana telponnya?"Dian memberikan teleponnya pada Harso. Dia mendekatkan gagang telepon di telinga. Mencoba mendengarkan semua latar dari seberang
Kriiing kriiing kriiiing!"Bu-bukannya tadi gagangnya Mbak Dian taruh di meja? Iya 'kan?""I-iya, Raisa. Enggak mungkin salah aku tadi. Tapi, kenapa teleponnya masih juga bunyi?"Raisa menggeleng. Keduanya hanya bisa saling berpandangan. Dengan raut wajah yang sangat tegang. Dan berharap dering telepon itu segera berhenti.Raisa dan Dian semakin membenamkan diri mereka ke dalam selimut. Berharap pagi segera menjelang. Sampai akhirnya suara sering telepon itu berhenti dengan sendirinya."Apa, hal ini sering terjadi?""Kadang sih, Mbak."Raisa masih bersembunyi di balik selimut."Menurut Mbak karena apa?"Wanita itu menghela napas panjang. Tak hanya sekali tapi berkali-kali. Dia pun tak langsung menjawab pertanyaan Raisa. Karena Dian tahu, ada satu hal yang pastinya berhubungan dengan dirinya."Bukannya kamu besok mau pergi?""Iya, Mbak.""Aku rasa ini ada kaitan dengan kepergian kamu, Raisa.""
Setelah kepergian Raisa. Ada rasa haru yang melesak dalam hati Harso. Saat Raisa sudah pergi. Ada ketakutan menyeruak. Berulang kali membuatnya menghela napas panjang.Sampai teguran Momoy mengejutkannya. Dia terus menggoyang telapak tangan Harso. Sembari mendongak ke arahnya."Bapak, kenapa kok melamun?"Lelaki itu menunduk dan mengusap rambut Momoy."Bapak cuman melihat mobilnya Pak Delon, Moy.""Udah enggak ada Pak mobilnya. Udah jauh!" seru bocah cilik itu."Kamu mandi sana. Nanti kesiangan masuk sekolahnya.""Iya, Pak!""Minta Mbak Dian siapkan baju kamu, Moy!"Bocah itu sudah berlari ke dalam rumah. Menghampiri Dian yang sudah masak di dapur."Moy, Bapak nanti malam pulangnya ya?""Kan ada Mbak Sa," sahutnya dengan merapikan pakaian."Sepertinya Mbak Raisa menginap. Kan ada Mbak Dian nanti."Bocah itu langsung cemberut."Enggak apa-apa, Moy. Nanti ditemani sama Mbak ya?"Te
Lelaki itu menyuruh mereka menunggu di luar. Dengan melepas kaca mata hitam. Dia masuk ke dalam rumah yang pintunya tak dikunci. Lalu keluar lagi, membawa sebuah tikar pandan berwarna coklat."Duduklah kalian di sini!"Raisa dan Delon pun duduk di atas tikar yang disiapkan. Begitu juga dengan lelaki tua. Raisa memandang sekitar tempat itu. Pandangan matanya berpendar memperhatikan sekitar rumah lelaki tua itu.Dia mendongak. Melihat pohon gayam yang besar dan rindang. Semilir angin seakan membuat dedaunannya gemerisik. Seolah ada seseorang yang sedang bermain ranting pohon."Siapa nama kamu?""Raisa, Pak.""Raisa," ulang sang lelaki tua.Matanya terpejam. Entah mengapa dia menepuk bahu Raisa tiba-tiba. Lalu meniup pelan kedua bahu gadis itu. Membuat Raisa dan Delon saling beprandangan dengan heran."Aku hilangkan bayangan hitam itu dulu! Biar tak mengikuti kalian.""Bayangan hitam?" ulang Delon kembali menatap Raisa.
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga