Lelaki itu menyuruh mereka menunggu di luar. Dengan melepas kaca mata hitam. Dia masuk ke dalam rumah yang pintunya tak dikunci. Lalu keluar lagi, membawa sebuah tikar pandan berwarna coklat.
"Duduklah kalian di sini!"
Raisa dan Delon pun duduk di atas tikar yang disiapkan. Begitu juga dengan lelaki tua. Raisa memandang sekitar tempat itu. Pandangan matanya berpendar memperhatikan sekitar rumah lelaki tua itu.
Dia mendongak. Melihat pohon gayam yang besar dan rindang. Semilir angin seakan membuat dedaunannya gemerisik. Seolah ada seseorang yang sedang bermain ranting pohon.
"Siapa nama kamu?"
"Raisa, Pak."
"Raisa," ulang sang lelaki tua.
Matanya terpejam. Entah mengapa dia menepuk bahu Raisa tiba-tiba. Lalu meniup pelan kedua bahu gadis itu. Membuat Raisa dan Delon saling beprandangan dengan heran.
"Aku hilangkan bayangan hitam itu dulu! Biar tak mengikuti kalian."
"Bayangan hitam?" ulang Delon kembali menatap Raisa.
"Memangnya kalian ini dari mana? Soalnya di atas situ enggak ada rumah warga lho!"Deg!"Maksud Bapak?" tanya Raisa terhenyak."Ya di sini udah enggak ada rumah lagi. Malah di atas hanya pohon-pohon."Delon dan Raisa saling menoleh. Dengan pandangan yang heran."Memangnya kalian ini dari mana?"Keduanya langsung menunjuk arah atas. Tanpa ada sepatah kata yang terucap."Atas?" ulang lelaki itu."Iya, Pak. Memangnya ada apa?"Sang lelaki masih melihat ke arah pohon gayam."Ka-kalian menemui siapa?""Kami ketemu bapak-bapak tua waktu di rumah makan seberang jalan. Terus kami ikuti sampai ke sini Pak," sahut Delon."Bukan mengikuti Mas Delon. Tapi yang ada, diajak sama Bapak tua itu ke rumahnya.""Ke rumahnya?" sahut sang lelaki asing."Iya, Pak," sahut mereka bersamaan.Raut wajah sang lelaki asing itu, menunjukkan gelagat yang aneh. Dia langsung buru-buru merapikan rumput yang diba
Mereka berdua bisa melihat sekelebat bayangan di balik korden jendela."Assalamualaikum!" Raisa mengulang lagi salamnya.Namun seseorang yang melihat ke arah mereka dari balik jendela hanya terdiam. Dan membiarkan Raisa dan Delon berdiri terpaku dengan menatap ke arahnya."Kenapa dia tak keluar, Sa?""Aku juga enggak tau, Mas.""Baiknya kita langsung naik ke terasnya gimana?" Delon menoleh pada Raisa.Raisa manggut-manggut. Masuk akal apa yang dikatakan Delon. Mereka segera melepas sepatu yang dipakai.Tok tok tok!Seseorang yang bersembunyi di balik korden berlari ke dalam. Mmebuat Raisa dan Delon semakin heran. Mereka berdua terlihat kebingungan."Lah, kok malah lari?" Delon kembali menoleh pada Raisa. Yang mendekatkan wajahnya pada jendela. Hingga menempel hidung, bibir, dan kedua mata."Rumahnya sepi, Mas. Tapi kayaknya orang tadi mengintip dari dalam."Delon pun tertarik mengikuti Raisa. Dia ikut mengi
Delon mengangguk pelan. Lalu Raisa memperlambat langkahnya berjalan. Terus maju beberapa langkah. Hanya berjarak dua depa. Raisa berdiri menghadap wanita itu."Bu Hariyani?" Suara Raisa berbisik.Klek!Terdengar bunyi handle pintu yang ditarik. Tak lama, pintu terbuka lebar. Membuat Delon dan Raisa saling berpandangan. Jantung mereka berdetak kencang. Manakala Bu Hariyani berjalan keluar dengan langkah yang diseret.Tatap matanya nanar mengarah pada Raisa dan Delon. Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Sekian detik lamanya mereka bertiga saling terdiam.Hingga semilir angin di siang ini berhembus. Menyuguhkan aroma amis dan anyir pada Raisa dan Delon. Seperti aroma darah yang mengering lalu tersiram air.Mereka berdua telihat menutup hidung. Sembari terus menatap pada Bu Hariyani. Lalu wanita itu melambai pelan pada mereka berdua. Membuat Raisa tercengang. Menoleh pada Delon yang masih terperanjat dengan Bu Hariyani.Kedua
Tangannya mengusap-usap kedua telinga. Berharap suara-suara itu tak dia dengar lagi."Percuma!"Suara tegas dan lantang Bu Hariyani, membuat Raisa terhenyak."A-apa yang percuma, Bu?"Namun wanita itu terdiam tanpa mengindahkan pertanyaan Raisa."Kau pasti akan selalu mendengar suara-suara itu!" tegas Bu Hariyani."Kenapa Ibu kok bisa tahu?""Karena aku juga mendengarnya!"Raisa pun terhenyak. Dia menoleh pada Delon yang juga tengah memerhatikan dirinya. Bagi mereka berdua sikap Bu Hariyani ini mulai terlihat aneh.Kini wanita paruh baya itu, mulai menghentak-hentakkan kedua kakinya bergnatian ke lantai. Raisa yang melihat pun keheranan. Dalam pikirannya saat ini, pastilah Bu Hariyani sedang kesemutan.Tiba-tiba, tanpa mereka sangka. Gerkan kaki itu bertambah cepat. Diikuti kedua tangannya, yang mengibas did epan wajahnya Bu Hariyani sendiri."I-ibu, ini kenapa?" Raisa memberanikan diri untuk bertanya.
Karena ketakutan, membuat mereka tak melihat kehadiran seseorang. Sampai akhirnya Delon dan Raisa menabrak ....Bruuukkkk!"Aaaahhhh!" Raisa menjerit.Raisa dan Delon baru menyadari telah menabrak seseorang. Saat mendengar suara yang kesakitan. Mereka bertiga sudah bergulingan di lantai.Terdengar erangan yang lirih. Membuat Delon dan Raisa menyadari. Kalau telah menabrak lelaki paruh baya yang tengah duduk di lantai di hadapan mereka."Ba-bapak enggak apa-apa?" tanya Raisa masih terperanjat.Lelaki itu mendongak dan mengamati mereka dengan mata yang membulat lebar."Si-siapa kalian? Kok bisa masuk rumah orang tanpa permisi.""Maaf dulu, Pak. Tadi kami diterima sama Ibu Hariyani," sahut Delon, mencoba menenangkan lelaki itu."Kalian jangan kurang ajar! Istri-ku itu enggak bisa jalan sendiri. Dia itu cuman bisa berbaring di atas kasur," sentak lelaki itu.Sontak kalimat itu membuat mereka berdua terperanjat.
Raisa dan Delon langsung mengangguk."Beserta tumbal yang diminta?""Iya, Pak. Kita berdua tahu walau tak seluruhnya.""Lantas sekarang apa yang kalian ingin tahu dari istriku?""Apa istri Bapak tahu mengenai di mana Bu Sapto dulu mendapatkan perjanjian pesugihan itu?"Lelaki itu tercenung cukup lama. Seperti banyak kenangan dalam dirinya. Yang tersimpan dalam setiap ingatan.Dari manik mata yang bergerak-gerak. Raisa bisa membaca keresahan hati lelaki ini. Entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang."Apa kalian ingin mendengar ceritanya?""Kami akan mendengarkannya, Pak."Terdengar napas yang keras berhembus. Sepertinya dia bingung harus mulai dari mana kisah ini. Sejenak lelaki itu memejamkan mata, dengan punggung bersandar di kursi."Sebenarnya cerita ini sudah ada sebelum aku masuk dalam keluarga besar istriku. Tapi aku tak pernah percaya hal klenik seperti ini. Dan perlu kalian tahu, istri aku ini bukanlah a
Wanita asing itu tak menjawab. Dia malah beringsut mundur dan pergi meninggalkan rumah Mariman."Loh, Mas. Kok malah pergi?"ujar Marsinah terbelalak. Begitu juga Mariman. Mereka tercengang tanpa bisa berkata-kata lagi."Si-siapa wanita itu, Mas?""Aku juga enggak tahu, Mar.""Ta-tapi yang dia berikan ini apa?"Saat mereka berdua melihat apa yang berada dalam keranjang. Sungguh sangat terkejut. Mereka melihat dua batang emas murni dalam keranjang itu."Ini maksudnya apa, Pak?"Seketika Mariman terbelalak."Akhirnya permintaan aku dikabulkan, Bu.""Permintaan apa?" Marsinah menatap sang suami dengan keheranan."Wes kamu jangan banyak tanya. Besok pagi aku akan ke toko emas. Sekarang anak-anak di bawa ke rumah sakit dulu!""Bapak yakin?""Sangat yakin, Bu!"Sejak kejadian malam itu. Terjadi perubahan yang sangat mencolok dalam kehidupan Mariman dan Marsinah. Perekonomian mereka berubah dras
Spontan Mariman beranjak dari ranjang. Dia berdiri tegap mengarahkan pandangan pada kedua anaknya."Kalian jangan suka berbohong seperti ini. Bapak paling enggak suka!""Ini, enggak bohong Pak!" sentak Mariyati."Iya, Pak. Mariana juga pernah lihat sosok bayangan wanita itu!" tegas Marian dengan suara yang lebih lembut."Haaaahhh! Diam kalian semuanya!" teriak Mariman berang.Dia menuding satu persatu anak dan istrinya. Raut wajah Mariman terlihat memerah dan murka. Tampak dagunya sampai bergetar. Hingga suara dia pun ikut bergetar."Ka-lian bertiga apa ingin kembali hidup dalam kesengsaraan? Hidup penuh penderitaan? Mengemis dan selalu dihina setiap orang. Kita seperti sampah yang tak pernah dilirik sama sekali. Apa kalian ingin mengulang masa-masa itu?" Suara Mariman penuh penekanan.Mereka bertiga terdiam. Tak ada yang berani mengangkat kepala. Semuanya menunduk dengan pikiran yang kosong. Tak bisa berkata-kata."Kenapa seka
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga