Spontan Mariman beranjak dari ranjang. Dia berdiri tegap mengarahkan pandangan pada kedua anaknya.
"Kalian jangan suka berbohong seperti ini. Bapak paling enggak suka!"
"Ini, enggak bohong Pak!" sentak Mariyati.
"Iya, Pak. Mariana juga pernah lihat sosok bayangan wanita itu!" tegas Marian dengan suara yang lebih lembut.
"Haaaahhh! Diam kalian semuanya!" teriak Mariman berang.
Dia menuding satu persatu anak dan istrinya. Raut wajah Mariman terlihat memerah dan murka. Tampak dagunya sampai bergetar. Hingga suara dia pun ikut bergetar.
"Ka-lian bertiga apa ingin kembali hidup dalam kesengsaraan? Hidup penuh penderitaan? Mengemis dan selalu dihina setiap orang. Kita seperti sampah yang tak pernah dilirik sama sekali. Apa kalian ingin mengulang masa-masa itu?" Suara Mariman penuh penekanan.
Mereka bertiga terdiam. Tak ada yang berani mengangkat kepala. Semuanya menunduk dengan pikiran yang kosong. Tak bisa berkata-kata.
"Kenapa seka
Saat bersamaan dengan teriakan itu. Marsinah seperti mendengar sebuah bisikan. Yang terdengar jelas di telinga."Ini semua perjanjian berdarah antara suami kamu dan aku. Jangan sekali-kali kau coba untuk merusaknya.""Aaaaaahhhh!" Sontak bisikan itu membuat Marsinah terhenyak.Detak jantungnya seakan berhenti. Bisikan itu membuat dirinya benar-benar ketakutan. Saat Marsinah berusaha menghindari sosok wanita dan anak-anaknya. Terlihat bayangan yang melintas."Mas Mariman?"Tapi, Marsinah mengurungkan niatnya untuk mengejar. Saat melihat di punggung sang suami, kedua anaknya saat masih kecil sedang bergelayut."Ke mana dia akan membawa anak-anak?"Saat kaki Marsinah hendak melangkah. Sebuah panggilan yang cukup nyaring terdengar. Dia menoleh. Kedua anak gadisnya, berlumuran darah dengan mata yang melotot ke arah Marsinah."Pergi kalian! Kau bukan Mariyati! Kamu juga bukan Mariana!"Di tengah kepanikan Marsinah. Dia merasak
Tubuhnya berusaha beringsut mundur. Menjauh dari sosok sang anak. Yang terbaring di lantai. Marsinah berusaha merangkak. Walau hanya dengan menggeser bokongnya.Sampai tubuh Marsinah membentur sesuatu. Saat dia berbalik,"Mariana?"Anak gadisnya sudah duduk dengan menjawab penuh anggukan. Lalu Mariana mencekik lehernya sendiri. Membuat Marsinah tercengang."Jangan ... jangan!" Marsinah terus berteriak histeris.Terdengar derap langkah yang mendekati tubuh Marsinah."Bu! Ibu, kenapa?"Marsinah terbelalak saat melihat kedua putrinya sudah berjongkok di sebelahnya."Kalian, enggak apa-apa?"Mariyati menoleh pada Mariana. Lalu keduanya menggeleng."Memangnya ada apa, Bu?""Entah, Ibu seperti bermimpi. Ibu melihat kalian sewaktu masih kecil. Penuh darah di wajah kalian. Dan, Ibu juga melihat kalian di gendong Bapak.""Sepertinya Ibu mimpi. Ayo, Ibu bangun. Nanti masuk angin kalau tidur di sini," bisik maria
Hatinya tengah bergelut. Dengan apa yang baru saja dia lihat. Dari kedua sudut mata, menetes air yang terus membasahi wajah. Segera Marsinah mengusap kasar."Bapak kalian ... bapak kalian telah salah jalan!""Maksud Ibu apa?""Bapak kalian telah keblinger.""Keblinger yang bagaimana, Bu?"Marsinah tak sanggup untuk menjelaskan pada dua anaknya."Belum saatnya kalian tahu hal ini."Mariyati dan Mariana terpaku melihat sang ibu yang terlihat kebingungan. Seperti seseorang yang sedang dalam kondisi tertekan. Raut wajah Marsinah pun terlihat sangat tegang."Sampai kapan, Bu? Kita berdua juga ingin tahu. Ada apa sebenarnya""Jika waktunya tiba. Ibu akan ceritakan semua. Tapi bukan sekarang."Mariyati dan Mariana hanya bisa pasrah saat sang Ibu berkata demikian. Mereka ingin mendesaknya tapi percuma. Sang ibu tetap bungkam.Terdengar suara ayam yang berkokok di siang hari. Tak seperti biasanya. Membuat Rais
Tangan Hariyani terangkat perlahan. Sembari menunjuk ke arah atas lemari. Pandangan mereka bertiga tertuju pada sebuah koper tua."Koper ...?" ujar Raisa."Itu dulu peninggalan dari rumah tua."Delon dan Raisa mengalihkan pandangan pada Karyono."Rumah tua itu, maksudnya rumah Bu Sapto.""Ohhh ....""Sebaiknya kita ambil saja koper itu. Walau pun itu milik istriku. Aku tak pernah berani membukanya. Kalau dia tak suruh.""Biar saya saja yang ambil, Pak."Raisa langsung menarik kursi. Untuk Delon memanjat dan mudah mengambil koper tua itu.Saat tangan Delon meraih. Debu bertebaran. Membuat Raisa menutup hidungnya. Begitu juga Delon.Tangannya pun menggapai handle koper. Lalu menarik perlahan. Tiba-tiba Delon menghentikan gerakan tangannya. Lalu menoleh pada Raisa."Ada apa, Mas?"Delon menggeleng. Kembali dia menarik koper itu.Cessss!Seperti ada telapak tangan yang sangat dingin menyentuh
"Andai yang kedua itu memang benar. Mariman benar-benar telah sinting. Hati dan mata batinnya telah terbutakan." "Pastinya, Mas. Satu hal lagi. Apa yang telah dilihat Bu Marsinah?" "Di dalam kamar belakang itu ya?" "Iya, Mas. Aku penasaran dengan apa yang dilihat Bu Marsinah. Sampai dia tak mau menceritakan pada anaknya." "Mungkin sesuatau yang memalukan? Hina atau semacam itu lah." "Pikiran aku sama kayak Mas Delon." "Ayo kita segera ke hotel aja!" Raisa mengangguk. Lalu mengikuti langkah Delon yang mendahuluinya. Keduanya kini sudah berada di dalam mobil. Untuk segera menuju ke hotel. Tak membutuhkan waktu yang lama. Akhirnya mereka menemukan hotel. Setelah memesan dua kamar yang saling berhadapan. Segera Raisa masuk kamar dan bergegas menuju kamar mandi. "Mending aku mandi ahhh." Tubuhnya yang terasa letih. Dia guyur menggunakan air shower. Tampak Raisa melepas kepenatan pikiran dan hati. Raisa
Namun ada hal yang aneh. sosok Wanita itu terlihat mengerikan. Dia menggigit sosok lelaki itu sedikit demi sedikit. Hingga mereka berdua tengah berdarah."Me-mereka melakukannya?" Suara Raisa terbata.Dengan mata kepala dia melihat. Keduanya bagai insan yang tengah dimabuk asmara. Sang lelaki seperti melayani semua keinginan sosok wanita yang tampak mengerikan.Wanita itu terlihat seperti bukan manusia. Bibirnya penuh darah. Tak hanya itu saja. Sebagian wajah yang tersembunyi, terlihat rusak. Daging yang mengelupas. Bau anyir dan amis yang menyeruak. Sampai membuat Raisa menutup hidung.Saat Raisa terus memperhatikan mereka. Sosok wanita itu, ikut juga memperhatikan dirinya. Wajahnya menyembul dari balik tubuh sang lelaki.Kedua matanya membulat. Semakin lama semakin lebar. Lalu mata itu berubah menjadi hitam. Benar-benar hitam. Tak ada warna lain. Ada tetes yang mengalir dari kedua sudut mata dan bibir sosok wanita itu."Da-darah kah
"Allahu Akbar ... Allahu Akbar!" Tak henti Raisa terus melafadzkan kebesaran Tuhan. Dia berharap ada pertolongan. Lambat laun, tubuhnya mulai terasa lemas. Dan, kedua matanya mulai bisa bergerak perlahan. Raisa pun mencoba untuk membuka mata. Mengerjap secara perlahan. Hingga beberapa kali. Sampai dia yakin, kalau saat ini sedang berada di dalam kamar hotel. "Haaahhh, aku sudah kembali ya Allah. Alhamdulillah!" Tak berapa lama. Bunyi bel kamar kembali terdengar. Membuat Raisa terkesiap. Dia masih terdiam sesaat dengan memegang kepala yang masih berdenyut. Setelah sekian detik berlalu. Raisa akhirnya turun dari kasur. Lalu berjalan pelan menuju pintu. Tangannya masih terasa lemah saat menarik handle. Pintu pun terbuka perlahan. Muncul seraut wajah Delon yang tengah keheranan melihat padanya. "Kamu oke, Sa?" Raisa kembali berjalan dan duduk di pinggiran kasur. "Aku lagi enggak oke, Mas."
"Aku juga enggak tahu. Cuman, waktu aku mimpi tadi. Sosok wanita itu meremat kaki aku. Tapi, bukannya kalau mimpi ini enggak nyata 'kan?" Keduanya saling berpandangan. Dengan rasa heran. "Iya kan Mas?" ulang Raisa. "Iya, sih. Lalu, ancaman dia itu bagaimana?" "Kalau menurut aku, itu memang benar sebuah ancaman Mas Delon. Tapi, kita tak tahu bagaimana? Sebaiknya kita pelajari koper coklat itu dulu." "Baiklah, Sa." "Lagian aku baru teringat. Kalau lelaki tua itu melarang kita pergi ke gunung itu malam-malam." "Benar juga Mas. Ayo kita lihat isi tas itu!" "Kita ke kamar aku aja, Raisa." Keduanya pergi meninggalkan kamar Raisa. Menuju kamar Delon yang hanya beberapa langkah. "Untung tadi Mas Delon ngebel kamarku. Kalau enggak, mungkin aku masih dalam ancaman sosok wanita seram itu." "Aku juga enggak tau kenapa, seperti ingin ke kamarmu Sa." "Syukurlah Mas Delon. Mungkin Allah memang menolong
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga