"Andai yang kedua itu memang benar. Mariman benar-benar telah sinting. Hati dan mata batinnya telah terbutakan."
"Pastinya, Mas. Satu hal lagi. Apa yang telah dilihat Bu Marsinah?"
"Di dalam kamar belakang itu ya?"
"Iya, Mas. Aku penasaran dengan apa yang dilihat Bu Marsinah. Sampai dia tak mau menceritakan pada anaknya."
"Mungkin sesuatau yang memalukan? Hina atau semacam itu lah."
"Pikiran aku sama kayak Mas Delon."
"Ayo kita segera ke hotel aja!"
Raisa mengangguk. Lalu mengikuti langkah Delon yang mendahuluinya. Keduanya kini sudah berada di dalam mobil. Untuk segera menuju ke hotel.
Tak membutuhkan waktu yang lama. Akhirnya mereka menemukan hotel. Setelah memesan dua kamar yang saling berhadapan. Segera Raisa masuk kamar dan bergegas menuju kamar mandi.
"Mending aku mandi ahhh."
Tubuhnya yang terasa letih. Dia guyur menggunakan air shower. Tampak Raisa melepas kepenatan pikiran dan hati. Raisa
Namun ada hal yang aneh. sosok Wanita itu terlihat mengerikan. Dia menggigit sosok lelaki itu sedikit demi sedikit. Hingga mereka berdua tengah berdarah."Me-mereka melakukannya?" Suara Raisa terbata.Dengan mata kepala dia melihat. Keduanya bagai insan yang tengah dimabuk asmara. Sang lelaki seperti melayani semua keinginan sosok wanita yang tampak mengerikan.Wanita itu terlihat seperti bukan manusia. Bibirnya penuh darah. Tak hanya itu saja. Sebagian wajah yang tersembunyi, terlihat rusak. Daging yang mengelupas. Bau anyir dan amis yang menyeruak. Sampai membuat Raisa menutup hidung.Saat Raisa terus memperhatikan mereka. Sosok wanita itu, ikut juga memperhatikan dirinya. Wajahnya menyembul dari balik tubuh sang lelaki.Kedua matanya membulat. Semakin lama semakin lebar. Lalu mata itu berubah menjadi hitam. Benar-benar hitam. Tak ada warna lain. Ada tetes yang mengalir dari kedua sudut mata dan bibir sosok wanita itu."Da-darah kah
"Allahu Akbar ... Allahu Akbar!" Tak henti Raisa terus melafadzkan kebesaran Tuhan. Dia berharap ada pertolongan. Lambat laun, tubuhnya mulai terasa lemas. Dan, kedua matanya mulai bisa bergerak perlahan. Raisa pun mencoba untuk membuka mata. Mengerjap secara perlahan. Hingga beberapa kali. Sampai dia yakin, kalau saat ini sedang berada di dalam kamar hotel. "Haaahhh, aku sudah kembali ya Allah. Alhamdulillah!" Tak berapa lama. Bunyi bel kamar kembali terdengar. Membuat Raisa terkesiap. Dia masih terdiam sesaat dengan memegang kepala yang masih berdenyut. Setelah sekian detik berlalu. Raisa akhirnya turun dari kasur. Lalu berjalan pelan menuju pintu. Tangannya masih terasa lemah saat menarik handle. Pintu pun terbuka perlahan. Muncul seraut wajah Delon yang tengah keheranan melihat padanya. "Kamu oke, Sa?" Raisa kembali berjalan dan duduk di pinggiran kasur. "Aku lagi enggak oke, Mas."
"Aku juga enggak tahu. Cuman, waktu aku mimpi tadi. Sosok wanita itu meremat kaki aku. Tapi, bukannya kalau mimpi ini enggak nyata 'kan?" Keduanya saling berpandangan. Dengan rasa heran. "Iya kan Mas?" ulang Raisa. "Iya, sih. Lalu, ancaman dia itu bagaimana?" "Kalau menurut aku, itu memang benar sebuah ancaman Mas Delon. Tapi, kita tak tahu bagaimana? Sebaiknya kita pelajari koper coklat itu dulu." "Baiklah, Sa." "Lagian aku baru teringat. Kalau lelaki tua itu melarang kita pergi ke gunung itu malam-malam." "Benar juga Mas. Ayo kita lihat isi tas itu!" "Kita ke kamar aku aja, Raisa." Keduanya pergi meninggalkan kamar Raisa. Menuju kamar Delon yang hanya beberapa langkah. "Untung tadi Mas Delon ngebel kamarku. Kalau enggak, mungkin aku masih dalam ancaman sosok wanita seram itu." "Aku juga enggak tau kenapa, seperti ingin ke kamarmu Sa." "Syukurlah Mas Delon. Mungkin Allah memang menolong
Delon kembali memperhatikan dengan seksama. Betapa terkejutnya mereka berdua. Bayangan hitam itu tiba-tiba hilang."Ka-kamu lihat sendiri 'kan Sa?""I-iya, Mas. Kok bisa bayangan hitam tadi, enggak ada lagi? Apa aku yang salah lihat, Mas?""Enggak, Sa! Kamu enggak salah lihat. Soalnya tadi aku juga lihat yang sama. Nih, pas di tengah wanita ini 'kan?""Iya, Mas."Delon dan Raisa mulai memilah kertas-kertas usang yang tak penting. Mereka sisihkan. Biar mudah untuk mencarai petunjuk."Mas, ini ada buku. Coba Mas Delon pinggirin dulu!"Tak lama, Raisa kembali menemukan sebuah foto. Kertasnya sudah menguning dan mulai memudar. Akan tetapi gambarnya masih terlihat jelas.Terlihat dua orang gadis sekitar usia dua belas tahun. Dalam foto itu, keduanya berdiri dan bergandengan tangan. Rambut panjang mereka, dikepang dua. Tak ada senyum di wajah mereka. Terlihat kaku dan dingin."Mereka seperti tanpa ekspresi sama sekali, M
Segera Raisa bangkit dan hendak berlari. Namun dia tertegun saat melihat ada seseorang yang sedang sholat. Namun saat dia terus mengamati. Raisa merasakan ada yang salah. Mukena itu hanya terpakai yang bagian atas saja. Sajadah yang terbentang pun terbalik. Harusnya kalau berada di kamar hotel ini, menghadap ke arah barat. Tapi .... "Ke-kenapa dia menghadap utara?" bisik Raisa lirih. Langkah kakinya seakan tertahan. Dia tak bisa bergerak sama sekali. Sosok yang memakai mukena itau tak bergerak sama sekali. Suasana kamar ini sunyi dan hening. "Si-siapa sosok ini?" Saat Raisa masih bergelut dengan perasaan takut. Tiba-tiba pintu kamar kembali di ketuk pelan. Tak hanya itu, bel kamar pun berbunyi. "Pasti Mas Delon." Saat Raisa memperhatikan kembali sosok yang berada dalam mukena hitamnya. Seketika sosok itu telah menghilang. "Haaaahhh!" Raisa menutup mulutnya yang terperangah. "Di mana dia tad
Seketika itu, suara tawa dan wajah Raisa yang sedari tadi mendongak ke arah Delon menghilang. Yang ada suara -suara Raisa yang sedang membaca doa-doa sholat.Jantung yang tadi hampir berhenti berdetak. Kini berangsur kembali berdetak normal. Delon sampai mengembuskan napas panjang. Setidaknya dia terlihat lega.Namun, saat Raisa sedang bersujud. Delon kembali mendengar suara kasur yang berderit kencang. Seperti ada yang sedang melompat di atasnya.Dia memberanikan diri untuk melihat. Saat menoleh ke belakang. Mengarah pada kasurnya.Delon terperangah. "Si-siapa ... kalian ini?" Dia melihat dua orang gadis yang saling berlompatan."Bu-bukannya kalian ini gadis yang ada di foto?" bisik Delon.Selesai Delon berucap. Kedua sosok gadis itu menghentikan gerakan tubuhnya di atas kasur. Mereka berdua menoleh ke arah Delon yang masih terperanjat.Lirikan mata mereka berdua yang tajam, membuat Delon bergidik. Seketika bulu kuduknya berdiri, mer
Salah seorang keamanan langung membuka pintu kamar mandi. Mereka terperangah saat melihat Raisa yang duduk dilantai. Sudah berlumuran darah.Melihat keadaan Raisa. Delon langsung berlari menghampirinya."Apa yang terjadi? Bukan kah tadi kamu berlari ke kamarku? Dan kamu juga sholat. Iya 'kan?"Raisa hanya menggeleng. Dan terus menggeleng. Seolah apa yang baru saja dia alami diluar nalarnya. Tangannya menunjuk ke arah cermin. Spontan Delon bergerak masuk ke dalam.Dia sudah berdiri di depan cermin. Pandangan matanya tertuju pada sebuah tulisan yang terbuat dari tetesan darah segar."Pergi atau kalian akan mati!"Delon pun menoleh pada Raisa."Ka-kamu yang menulisnya?"Raisa terus menggeleng."Ta-tapi, tangan kamu berdarah. Cermin ini juga pecah. Pasti kamu kan yang menulis ini? Pesan ini sama dengan bisikan anak itu!" tegas Delon. Seolah menyalahkan Raisa."Bukan aku, Mas!" sentak Raisa ge
Sesaat Delon terdiam sejenak."Sebenarnya ini semua berhubungan dengan seorang wanita, Pak. Yang sudah meninggal. Hanya saja kematiannya sampai sekarang terus menghantui kami.""Dan penulis di cermin ini. Salah satu dari mereka?" tanya lelaki asing itu."Apa Bapak bisa melihatnya?"Lelaki itu menggeleng."Aku hanya bisa melihat tulisan diarah di cermin itu. Aku rasa ini berkaitan dengan pesugihan di gunung K ....""Bagaimana Bapak bisa tahu?"Lelaki itu tak langusng menjawab pertanyaan Delon. Pandangan matanya terus mengarah pada selurih isi kamar."Apa kalian membawa sesuatu yuang berhubungan dengan wnaita yang kata kalian sudah meninggal itu?""I-iya, Pak. Kami memang membawanya.""Hemmm, ada yang tak menyukai hal ini. Sosok makhluk hitam itu memang berasal dari gunung K ....""Apa bisa kontak dengan para makhluk itu?""Yang bisa, itu teman kamu!" Seraya menunjuk ke arah Raisa."Raisa?" ulan
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga