"Memangnya kalian ini dari mana? Soalnya di atas situ enggak ada rumah warga lho!"
Deg!
"Maksud Bapak?" tanya Raisa terhenyak.
"Ya di sini udah enggak ada rumah lagi. Malah di atas hanya pohon-pohon."
Delon dan Raisa saling menoleh. Dengan pandangan yang heran.
"Memangnya kalian ini dari mana?"
Keduanya langsung menunjuk arah atas. Tanpa ada sepatah kata yang terucap.
"Atas?" ulang lelaki itu.
"Iya, Pak. Memangnya ada apa?"
Sang lelaki masih melihat ke arah pohon gayam.
"Ka-kalian menemui siapa?"
"Kami ketemu bapak-bapak tua waktu di rumah makan seberang jalan. Terus kami ikuti sampai ke sini Pak," sahut Delon.
"Bukan mengikuti Mas Delon. Tapi yang ada, diajak sama Bapak tua itu ke rumahnya."
"Ke rumahnya?" sahut sang lelaki asing.
"Iya, Pak," sahut mereka bersamaan.
Raut wajah sang lelaki asing itu, menunjukkan gelagat yang aneh. Dia langsung buru-buru merapikan rumput yang diba
Mereka berdua bisa melihat sekelebat bayangan di balik korden jendela."Assalamualaikum!" Raisa mengulang lagi salamnya.Namun seseorang yang melihat ke arah mereka dari balik jendela hanya terdiam. Dan membiarkan Raisa dan Delon berdiri terpaku dengan menatap ke arahnya."Kenapa dia tak keluar, Sa?""Aku juga enggak tau, Mas.""Baiknya kita langsung naik ke terasnya gimana?" Delon menoleh pada Raisa.Raisa manggut-manggut. Masuk akal apa yang dikatakan Delon. Mereka segera melepas sepatu yang dipakai.Tok tok tok!Seseorang yang bersembunyi di balik korden berlari ke dalam. Mmebuat Raisa dan Delon semakin heran. Mereka berdua terlihat kebingungan."Lah, kok malah lari?" Delon kembali menoleh pada Raisa. Yang mendekatkan wajahnya pada jendela. Hingga menempel hidung, bibir, dan kedua mata."Rumahnya sepi, Mas. Tapi kayaknya orang tadi mengintip dari dalam."Delon pun tertarik mengikuti Raisa. Dia ikut mengi
Delon mengangguk pelan. Lalu Raisa memperlambat langkahnya berjalan. Terus maju beberapa langkah. Hanya berjarak dua depa. Raisa berdiri menghadap wanita itu."Bu Hariyani?" Suara Raisa berbisik.Klek!Terdengar bunyi handle pintu yang ditarik. Tak lama, pintu terbuka lebar. Membuat Delon dan Raisa saling berpandangan. Jantung mereka berdetak kencang. Manakala Bu Hariyani berjalan keluar dengan langkah yang diseret.Tatap matanya nanar mengarah pada Raisa dan Delon. Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Sekian detik lamanya mereka bertiga saling terdiam.Hingga semilir angin di siang ini berhembus. Menyuguhkan aroma amis dan anyir pada Raisa dan Delon. Seperti aroma darah yang mengering lalu tersiram air.Mereka berdua telihat menutup hidung. Sembari terus menatap pada Bu Hariyani. Lalu wanita itu melambai pelan pada mereka berdua. Membuat Raisa tercengang. Menoleh pada Delon yang masih terperanjat dengan Bu Hariyani.Kedua
Tangannya mengusap-usap kedua telinga. Berharap suara-suara itu tak dia dengar lagi."Percuma!"Suara tegas dan lantang Bu Hariyani, membuat Raisa terhenyak."A-apa yang percuma, Bu?"Namun wanita itu terdiam tanpa mengindahkan pertanyaan Raisa."Kau pasti akan selalu mendengar suara-suara itu!" tegas Bu Hariyani."Kenapa Ibu kok bisa tahu?""Karena aku juga mendengarnya!"Raisa pun terhenyak. Dia menoleh pada Delon yang juga tengah memerhatikan dirinya. Bagi mereka berdua sikap Bu Hariyani ini mulai terlihat aneh.Kini wanita paruh baya itu, mulai menghentak-hentakkan kedua kakinya bergnatian ke lantai. Raisa yang melihat pun keheranan. Dalam pikirannya saat ini, pastilah Bu Hariyani sedang kesemutan.Tiba-tiba, tanpa mereka sangka. Gerkan kaki itu bertambah cepat. Diikuti kedua tangannya, yang mengibas did epan wajahnya Bu Hariyani sendiri."I-ibu, ini kenapa?" Raisa memberanikan diri untuk bertanya.
Karena ketakutan, membuat mereka tak melihat kehadiran seseorang. Sampai akhirnya Delon dan Raisa menabrak ....Bruuukkkk!"Aaaahhhh!" Raisa menjerit.Raisa dan Delon baru menyadari telah menabrak seseorang. Saat mendengar suara yang kesakitan. Mereka bertiga sudah bergulingan di lantai.Terdengar erangan yang lirih. Membuat Delon dan Raisa menyadari. Kalau telah menabrak lelaki paruh baya yang tengah duduk di lantai di hadapan mereka."Ba-bapak enggak apa-apa?" tanya Raisa masih terperanjat.Lelaki itu mendongak dan mengamati mereka dengan mata yang membulat lebar."Si-siapa kalian? Kok bisa masuk rumah orang tanpa permisi.""Maaf dulu, Pak. Tadi kami diterima sama Ibu Hariyani," sahut Delon, mencoba menenangkan lelaki itu."Kalian jangan kurang ajar! Istri-ku itu enggak bisa jalan sendiri. Dia itu cuman bisa berbaring di atas kasur," sentak lelaki itu.Sontak kalimat itu membuat mereka berdua terperanjat.
Raisa dan Delon langsung mengangguk."Beserta tumbal yang diminta?""Iya, Pak. Kita berdua tahu walau tak seluruhnya.""Lantas sekarang apa yang kalian ingin tahu dari istriku?""Apa istri Bapak tahu mengenai di mana Bu Sapto dulu mendapatkan perjanjian pesugihan itu?"Lelaki itu tercenung cukup lama. Seperti banyak kenangan dalam dirinya. Yang tersimpan dalam setiap ingatan.Dari manik mata yang bergerak-gerak. Raisa bisa membaca keresahan hati lelaki ini. Entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang."Apa kalian ingin mendengar ceritanya?""Kami akan mendengarkannya, Pak."Terdengar napas yang keras berhembus. Sepertinya dia bingung harus mulai dari mana kisah ini. Sejenak lelaki itu memejamkan mata, dengan punggung bersandar di kursi."Sebenarnya cerita ini sudah ada sebelum aku masuk dalam keluarga besar istriku. Tapi aku tak pernah percaya hal klenik seperti ini. Dan perlu kalian tahu, istri aku ini bukanlah a
Wanita asing itu tak menjawab. Dia malah beringsut mundur dan pergi meninggalkan rumah Mariman."Loh, Mas. Kok malah pergi?"ujar Marsinah terbelalak. Begitu juga Mariman. Mereka tercengang tanpa bisa berkata-kata lagi."Si-siapa wanita itu, Mas?""Aku juga enggak tahu, Mar.""Ta-tapi yang dia berikan ini apa?"Saat mereka berdua melihat apa yang berada dalam keranjang. Sungguh sangat terkejut. Mereka melihat dua batang emas murni dalam keranjang itu."Ini maksudnya apa, Pak?"Seketika Mariman terbelalak."Akhirnya permintaan aku dikabulkan, Bu.""Permintaan apa?" Marsinah menatap sang suami dengan keheranan."Wes kamu jangan banyak tanya. Besok pagi aku akan ke toko emas. Sekarang anak-anak di bawa ke rumah sakit dulu!""Bapak yakin?""Sangat yakin, Bu!"Sejak kejadian malam itu. Terjadi perubahan yang sangat mencolok dalam kehidupan Mariman dan Marsinah. Perekonomian mereka berubah dras
Spontan Mariman beranjak dari ranjang. Dia berdiri tegap mengarahkan pandangan pada kedua anaknya."Kalian jangan suka berbohong seperti ini. Bapak paling enggak suka!""Ini, enggak bohong Pak!" sentak Mariyati."Iya, Pak. Mariana juga pernah lihat sosok bayangan wanita itu!" tegas Marian dengan suara yang lebih lembut."Haaaahhh! Diam kalian semuanya!" teriak Mariman berang.Dia menuding satu persatu anak dan istrinya. Raut wajah Mariman terlihat memerah dan murka. Tampak dagunya sampai bergetar. Hingga suara dia pun ikut bergetar."Ka-lian bertiga apa ingin kembali hidup dalam kesengsaraan? Hidup penuh penderitaan? Mengemis dan selalu dihina setiap orang. Kita seperti sampah yang tak pernah dilirik sama sekali. Apa kalian ingin mengulang masa-masa itu?" Suara Mariman penuh penekanan.Mereka bertiga terdiam. Tak ada yang berani mengangkat kepala. Semuanya menunduk dengan pikiran yang kosong. Tak bisa berkata-kata."Kenapa seka
Saat bersamaan dengan teriakan itu. Marsinah seperti mendengar sebuah bisikan. Yang terdengar jelas di telinga."Ini semua perjanjian berdarah antara suami kamu dan aku. Jangan sekali-kali kau coba untuk merusaknya.""Aaaaaahhhh!" Sontak bisikan itu membuat Marsinah terhenyak.Detak jantungnya seakan berhenti. Bisikan itu membuat dirinya benar-benar ketakutan. Saat Marsinah berusaha menghindari sosok wanita dan anak-anaknya. Terlihat bayangan yang melintas."Mas Mariman?"Tapi, Marsinah mengurungkan niatnya untuk mengejar. Saat melihat di punggung sang suami, kedua anaknya saat masih kecil sedang bergelayut."Ke mana dia akan membawa anak-anak?"Saat kaki Marsinah hendak melangkah. Sebuah panggilan yang cukup nyaring terdengar. Dia menoleh. Kedua anak gadisnya, berlumuran darah dengan mata yang melotot ke arah Marsinah."Pergi kalian! Kau bukan Mariyati! Kamu juga bukan Mariana!"Di tengah kepanikan Marsinah. Dia merasak