"Apa maksud pertanyaan kamu tadi, Mbak?" tanya Harso sedikit geram.
Melihat perubahan dari raut wajah Harso. Dian mengerti kalau pertanyaan tadi sebuah kesalahan. Dia langsung berdiri berjalan mendekat.
"Maafkan saya, Pak!"
Lalu Harso mengajak mereka semua untuk duduk.
"Bapak perkenalkan ini namanya, Mbak Dian. Dia yang akan jaga kalian dan semua urusan rumah juga. Mbak Dian ini juga yang akan mengerjakan semuanya."
"Jadi Mbak Dian tidur di sini?" Momoy berpaling pada bapaknya.
"Iya, Moy. Nanti dia akan tidur di kamar belakang."
Raisa hanya mengangguk sekali sembari tersenyum tipis. Dan melihat pada Dian yang juga tengah tersenyum padanya.
"Bapak dalam minggu depan pasti keluar kota lagi. Makanya sesuai janji Bapak, untuk mencarikan yang menemani kalian. Sekarang ada Mbak Dian ini."
"Tapi, dia bukan Ibu baru 'kan Pak?" tanya Momoy tertunduk.
"Huuuussst! Jangan ngawur kamu. Mbak Dian ini sudah punya keluarga."
Sejenak Dian berdiri di depan pintu. Saat melihat meja makan. Dia berjalan mendekat. Lalu mengambil segelas air dingin di kulkas.Saat sedang meneguk air dingin.Tiba-tiba Dian berjingkat tinggi. Hampir saja gelas yang dibawanya terlempar."Si-siapa kamu?"Dian langsung menoleh ke belakang. Sosok bayangan hitam itu, terus melihat pada dirinya. Seketika Dian mulai merasa aura rumah ini berbeda. Tenggorokan yang tadinya basah oleh air dingin. Kini terasa tercekat.Rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajah. Semakin membuat Dian menarik napasnya dalam-dalam. Dia mundur perlahan seraya mengarahkan langkahnya menuju kamar."Ke-kenapa kamu memperlihatkan diri sama aku?" ucap Dian berbisik.Namun sosok itu hanya diam. Membuat Dian semakin terpaku mematung. Sesekali dia meraba tengkuknya yang terasa dingin. Membuat Dian bergidik merinding.Pandangan mata Dian mengarah pada kedua tangan sosok itu. Yang membawa bola mata masi
"Si-siapa dia? Malam-malam begini menelepon?"Mereka berdua saling beradu pandang. Dering telepon itu masih terus menerus berbunyi."Biar aku angkat, Pak."Dian mempercepat langkahnya. Sampai Dian mengangkat gagang telepon. Wanita itu mendengarkan sesaat. hening tanpa ada suara.Saat Dian ingin meletakkan gagang telepon. Dia mendengar suara yang gemerisik. Kembali dia mendengarkan gagang telepon."Ha-hallo ...!""Mana Raisa?""Raisa?""Mana Raisa?""I-ini siapa?"Kembali hening tanpa ada suara. Cukup lama Dian menunggu, tapi tetap tak ada suara dari seberang telepon."Hallo! Ini sama siapa?" ulang Dian.Sampai Harso berjalan mendekat. Raut wajahnya tampak gusar."Siapa Mbak Dian?""Enggak tau, Pak. Enggak di jawab.""Mana telponnya?"Dian memberikan teleponnya pada Harso. Dia mendekatkan gagang telepon di telinga. Mencoba mendengarkan semua latar dari seberang
Kriiing kriiing kriiiing!"Bu-bukannya tadi gagangnya Mbak Dian taruh di meja? Iya 'kan?""I-iya, Raisa. Enggak mungkin salah aku tadi. Tapi, kenapa teleponnya masih juga bunyi?"Raisa menggeleng. Keduanya hanya bisa saling berpandangan. Dengan raut wajah yang sangat tegang. Dan berharap dering telepon itu segera berhenti.Raisa dan Dian semakin membenamkan diri mereka ke dalam selimut. Berharap pagi segera menjelang. Sampai akhirnya suara sering telepon itu berhenti dengan sendirinya."Apa, hal ini sering terjadi?""Kadang sih, Mbak."Raisa masih bersembunyi di balik selimut."Menurut Mbak karena apa?"Wanita itu menghela napas panjang. Tak hanya sekali tapi berkali-kali. Dia pun tak langsung menjawab pertanyaan Raisa. Karena Dian tahu, ada satu hal yang pastinya berhubungan dengan dirinya."Bukannya kamu besok mau pergi?""Iya, Mbak.""Aku rasa ini ada kaitan dengan kepergian kamu, Raisa.""
Setelah kepergian Raisa. Ada rasa haru yang melesak dalam hati Harso. Saat Raisa sudah pergi. Ada ketakutan menyeruak. Berulang kali membuatnya menghela napas panjang.Sampai teguran Momoy mengejutkannya. Dia terus menggoyang telapak tangan Harso. Sembari mendongak ke arahnya."Bapak, kenapa kok melamun?"Lelaki itu menunduk dan mengusap rambut Momoy."Bapak cuman melihat mobilnya Pak Delon, Moy.""Udah enggak ada Pak mobilnya. Udah jauh!" seru bocah cilik itu."Kamu mandi sana. Nanti kesiangan masuk sekolahnya.""Iya, Pak!""Minta Mbak Dian siapkan baju kamu, Moy!"Bocah itu sudah berlari ke dalam rumah. Menghampiri Dian yang sudah masak di dapur."Moy, Bapak nanti malam pulangnya ya?""Kan ada Mbak Sa," sahutnya dengan merapikan pakaian."Sepertinya Mbak Raisa menginap. Kan ada Mbak Dian nanti."Bocah itu langsung cemberut."Enggak apa-apa, Moy. Nanti ditemani sama Mbak ya?"Te
Lelaki itu menyuruh mereka menunggu di luar. Dengan melepas kaca mata hitam. Dia masuk ke dalam rumah yang pintunya tak dikunci. Lalu keluar lagi, membawa sebuah tikar pandan berwarna coklat."Duduklah kalian di sini!"Raisa dan Delon pun duduk di atas tikar yang disiapkan. Begitu juga dengan lelaki tua. Raisa memandang sekitar tempat itu. Pandangan matanya berpendar memperhatikan sekitar rumah lelaki tua itu.Dia mendongak. Melihat pohon gayam yang besar dan rindang. Semilir angin seakan membuat dedaunannya gemerisik. Seolah ada seseorang yang sedang bermain ranting pohon."Siapa nama kamu?""Raisa, Pak.""Raisa," ulang sang lelaki tua.Matanya terpejam. Entah mengapa dia menepuk bahu Raisa tiba-tiba. Lalu meniup pelan kedua bahu gadis itu. Membuat Raisa dan Delon saling beprandangan dengan heran."Aku hilangkan bayangan hitam itu dulu! Biar tak mengikuti kalian.""Bayangan hitam?" ulang Delon kembali menatap Raisa.
"Memangnya kalian ini dari mana? Soalnya di atas situ enggak ada rumah warga lho!"Deg!"Maksud Bapak?" tanya Raisa terhenyak."Ya di sini udah enggak ada rumah lagi. Malah di atas hanya pohon-pohon."Delon dan Raisa saling menoleh. Dengan pandangan yang heran."Memangnya kalian ini dari mana?"Keduanya langsung menunjuk arah atas. Tanpa ada sepatah kata yang terucap."Atas?" ulang lelaki itu."Iya, Pak. Memangnya ada apa?"Sang lelaki masih melihat ke arah pohon gayam."Ka-kalian menemui siapa?""Kami ketemu bapak-bapak tua waktu di rumah makan seberang jalan. Terus kami ikuti sampai ke sini Pak," sahut Delon."Bukan mengikuti Mas Delon. Tapi yang ada, diajak sama Bapak tua itu ke rumahnya.""Ke rumahnya?" sahut sang lelaki asing."Iya, Pak," sahut mereka bersamaan.Raut wajah sang lelaki asing itu, menunjukkan gelagat yang aneh. Dia langsung buru-buru merapikan rumput yang diba
Mereka berdua bisa melihat sekelebat bayangan di balik korden jendela."Assalamualaikum!" Raisa mengulang lagi salamnya.Namun seseorang yang melihat ke arah mereka dari balik jendela hanya terdiam. Dan membiarkan Raisa dan Delon berdiri terpaku dengan menatap ke arahnya."Kenapa dia tak keluar, Sa?""Aku juga enggak tau, Mas.""Baiknya kita langsung naik ke terasnya gimana?" Delon menoleh pada Raisa.Raisa manggut-manggut. Masuk akal apa yang dikatakan Delon. Mereka segera melepas sepatu yang dipakai.Tok tok tok!Seseorang yang bersembunyi di balik korden berlari ke dalam. Mmebuat Raisa dan Delon semakin heran. Mereka berdua terlihat kebingungan."Lah, kok malah lari?" Delon kembali menoleh pada Raisa. Yang mendekatkan wajahnya pada jendela. Hingga menempel hidung, bibir, dan kedua mata."Rumahnya sepi, Mas. Tapi kayaknya orang tadi mengintip dari dalam."Delon pun tertarik mengikuti Raisa. Dia ikut mengi
Delon mengangguk pelan. Lalu Raisa memperlambat langkahnya berjalan. Terus maju beberapa langkah. Hanya berjarak dua depa. Raisa berdiri menghadap wanita itu."Bu Hariyani?" Suara Raisa berbisik.Klek!Terdengar bunyi handle pintu yang ditarik. Tak lama, pintu terbuka lebar. Membuat Delon dan Raisa saling berpandangan. Jantung mereka berdetak kencang. Manakala Bu Hariyani berjalan keluar dengan langkah yang diseret.Tatap matanya nanar mengarah pada Raisa dan Delon. Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Sekian detik lamanya mereka bertiga saling terdiam.Hingga semilir angin di siang ini berhembus. Menyuguhkan aroma amis dan anyir pada Raisa dan Delon. Seperti aroma darah yang mengering lalu tersiram air.Mereka berdua telihat menutup hidung. Sembari terus menatap pada Bu Hariyani. Lalu wanita itu melambai pelan pada mereka berdua. Membuat Raisa tercengang. Menoleh pada Delon yang masih terperanjat dengan Bu Hariyani.Kedua