"Haaahhh? Ja-jadi, aku emang dijadikan tumbal sama Naning? Dan, dia menikah sama Bapak? Tapi, kapan?"
Yumna semakin terperanjat saat membaca surat itu. Buru-buru dia memasukkan ke dalam tas kecilnya.
"Aku harus segera pergi dari rumah ini!"
Sebelum dia pergi. Yumna sempat menuliskan surat. Untuk Mariyati.
*
Mariyati, kalau kamu membaca surat ini. Berarti aku sudah pergi jauh. Aku mencari seseorang yang bisa melenyapkan tumbal yang ditujukan buat aku, Mar.
Jaga diri kalian baik-baik. Sampai kapan pun aku sangat menyayangi kalian.
_Yumna_
*
Kemudian, wanita itu melipat kertas dan meletakkan di atas bantal. Sengaja Yumna membawa surat dari Mariana. sebagai kenang-kenangan untuknya. Di dalam tas masih tersisa sedikit uang, bekas perjalanan kemarin.
Yumna pun nekat untuk pergi. Tanpa menunggu Mariyati datang. Namun entah mengapa perasaannya begitu berat pada Mariana, dari pada Mariyati. Dia sendiri tak tahu a
"Mana bisa? seharusnya dengan kematian Mariana, pesugihan itu sudah berhenti. Karena anak-anaknya tidak mau melanjutkan semuanya.""Tapi, Mbok Yumna. Kenyataan yang ada, pesugihan itu masih memburu tumbal. Membunuh orang-orang yang lewat depan rumah itu. Dan sekarang, Raisa," jelas Hamaz."Ke-kenapa dengan dia?" tanya Mbok Yumna terkejut.Mbok Yumna sangat terkejut dengan penjelasan dari Hamaz.“Apa Mbok Yumna enggak pernah dengar, setelah kematian Bu Sapto. Kematian itu masih saja terus muncul. Termasuk para pemandi jenazah Bu Sapto. Dan, Raisa!”“Dia? Pemandi jenazah Bu Sapto?”“Iya, Mbok. Dan sudah tiga orang pemandi yang sudah meninggal. Serta seorang tetangga yang sangat dekat sama Raisa. Semua kematian mereka berhubungan dengan Bu Sapto ini, Mbok.”Mendengar semua itu. Yumna semakin terperanjat. Dia mengira semua sudah usai karena sudah tak ada lagi penerus ilmu pesugihan itu. Maka ilmu it
"Hayoo, masuk akal enggak itu. Yang melihat ini enggak satu dua orang. Banyak orang.Hanya saja dengan meninggalnya Mariman, beberapa warga merasa lega. Karena sudah tak ada warga desa mereka yang melakukan pesugihan. Namun, mereka salah besar!""Ternyata Mariana melanjutkan jalannya pesugihan itu lagi, Mbok?" sahut Hamaz."Iya, dengan syarat baru untuk tumbalnya. Kalau Bapak, dia menumbalkan dirinya sendiri dan orang yang yang menentang dirinya. Termasuk Ibu, biarpun sebenarnya bukan murni dari Bapak," ucapnya seraya tertunduk."Pasti dari makhluk itu!" tegas Raisa."Kamu benar, Nak.""Ja-jadi, termasuk mengambil sebagian anggota badan korban?" tanya Delon melotot.Yumna menggeleng."Aku tidak tahu kalau soal itu. Sepertinya kalian yang lebih tahu.""Kami pun sebenarnya tidak tahu, Mbok Yumna. Hanya menebak saja. Karena di rumah itu penuh dengan toples yang berisi bagian badan korban. Ada Mata, kuku, rambut, kulit pipi,
Mobil yang dikemudi oleh Delon melaju kencang melewati jalan tol. Meninggalkan semua kisah kenangan masa lalu bersama Mbok Yumna. Tampak Raisa masih terngiang semua ceritanya itu."Masih ada yang ganjil?"Tiba-tiba Raisa menyeletuk. Membuat Hamaz menoleh ke arahnya."Maksud Mbak Raisa?""Aku masih pensaran, Mas. Apa yang sebenarnya terjadi, saat Mariyati pergi meninggalkan rumah? Yang kata Mbok Yumna sekitar satu bulan itu.""Ohhh, benarnya juga kamu Raisa. Aku sebenarnya juga bertanya-tanya itu. Tapi, lupa saat mau tanya," sahut Delon."Kurasa Mbok Yum, juga enggak tau apa yang telah terjadi semasa itu. Cuman, ini pasti saling berhubungan dengan saudara kembarnya, Mariana," lanjut Hamaz.Sesaat ketiganya terdiam."Kenapa kamu kepikiran hal ini, Sa?""Menurut aku pasti terjadi hal luar biasa pada Mariyati. Yang aneh lagi, kenapa Mariyati akhirnya kembali? Padahal Mbok Yum sudah menyutuh dia pergi.""Bener, M
"Aku enggak gila. Cuman aku tahu, kematian Ibu ada hubungannya sama kamu! Bolak balik sebelum Ibu meninggal; selalu sebutin nama kamu terus. Ini kan aneh. Coba bilang, kamu apakan Ibu aku?!" Kali ini, suara Didit terdengar sedikit lebih keras. Mmebuat beberapa tetangga menoleh ke arah mereka.Raisa tak bisa menjawab. Dia hanya terdiam tanpa ada niat untuk mengelak. Atas apa yang dikatakan lelaki seumuran dirinya itu."Kamu cuman diam, Sa. Enggak bisa jawab, karena semua yang aku bilang tadi benar, haaaa?""Kamu jangan asal nuduh kek gini, Dit! Kamu enggak tahu cerita yang sebenarnya!"Raisa yang mulai gerah. Mulai mengelak. Namun, tampaknya Didit masih saja memberondong Raisa dengan banyak tuduhan."Coba kau jawab dengan benar. Apa kematian Ibu ada hubungan dengan kamu?" Raisa masih bergeming. Belum ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya."Kenapa kamu diam, Sa? Aku tahu semuanya. Ini ada hubungan dengan kuku orang yang meninggal di desa
Saat langkah kaki mereka melintasi rumah Bu Marto. Pandangan Raisa tertuju pada teras rumah yang terlihat gelap. Membuat gadis itu berhenti."Kok berhenti Mbak?" tenya Momoy mendongak ke arahnya."Kenapa lampunya dimatikan? Bukannya habis ini tahlilan?""Lampu?" tanya Dian bersamaan dnegan MOmoy."Iya, lampu teras dan rumah Bu Marto."Keduanya keheranan dengan Raisa. Di saat yang bersamaan. Raisa melihat sekelebat bayangan melintas."Bu ... Marto kah itu?""Apa?!" Momoy dan Dian menoleh pada Raisa yang bergumam menyebut nama mendiang Bu Marto."Itu, coba lihat!"Raisa menunjuk ke arah rumah Bu Marto."Enggak ada siapa-siapa, Mbak. Jangan bikin Momoy takut lah Mbak.""Lagian rumahnya Bu Marto terang sekali, kok Mbak Raisa.""Haaahhh? Serius kah?"Mereka berdua mengangguk. Raisa mengucek kedua matanya berulang-ulang. Dan ternyata apa yang mereka katakan benar."Iya, mungkin aku terl
Bergegas Raisa mengambil ponsel yang berada dalam tas ranselnya.,"Baru ya Mbak?""Iya. Dibelikan Mas Delon.""Kok enak. Aku kok enggak dibelikan?""Hussst!"Raisa menelepon Delon yang ternyata sudah berada di rumah."Baru masuk rumah aku, Sa. Ada apa?""Ehhh, barusan ada yang telepon rumah. Cari Mariyati.""Apa? Mariyati?""Iya, Mas. Kenapa aku merasa dia masih hidup?""Dan, menurut kamu tinggal di mana dia?""Kita harus cari keberadaan Ibu Aminah, Mas.""Boleh juga. Besok kita datang lagi ke rumah Bu Sapto. Cuman agak siangan aja. Aku ada urusan di kantor bentar.""Iya, aku ngikut aja, Mas.""Oke."Raisa meletakkan ponsel di atas meja makan."Kalau Bu Sapto itu Mariana. Saat kejadian itu, berarti Pak Mariman menjemput ke rumah si Naning ini. Terus memaksa Mariana untuk menikahi lelaki yang dia juga enggak kenal."
Kedua matanya melotot sembari menunjuk ke arah meja. Raisa pun ikut terkejut dan tersentak.Keduanya mundur beberpa langkah."Mbak ... Mbak! I-itu, apa?"Raisa terpaku dalam diam. Kedua bola matanya melotot dan terperangah."Se-seperti ... sebuah kepala, Moy?"Momoy yang diajak bicara tak memberikan jawaban. Dia hanya melongo dengan mata yang mendelik."I-itu apa Mbak? Kok ada telinga sama rambut. Terus matanya kok merem?"Raisa tak mampu menjawab. Dia pun hanya bisa tercengang, melihat pemandangan mengerikan yang ada di atas meja makan mereka. Dari arah luar terdengar suara Dian yang memanggil mereka."Momoy! Mbak Raisaaa!"Dian merasa aneh. Saat tak ada yang menyahuti dirinya."Kalian di mana sih? Nih aku bawakan makanan." Setengah berteriak, Dian mencari mereka berdua. Mulai dari kamar, sampai akhirnya melihat mereka. Yang tengah berdiri menghadap meja makan."Ehhh, kok pada diam begini sih?
"Apa Mbak enggak dengar suara barusan?""Su-suara apa?"Kali ini, Dian benar-benar merasakan ketegangan. Dan mulai merasa ada yang aneh dalam bungkusan yang dia bawa. Seperti ada yang bergerak lambat.Pandangan matanya beralih pada bungkusan dalam tas kantong plastik hitam. Lalu, Dian sedikit mengangkatnya cukup tinggi sejajar dengan kedua matanya. Raisa pun ikut melihat apa yang dilakukan Dian.Pergerakan dalam kantong plastik itu semakin bergerak cepat. Seperi ada yang menendang atau meninju. Membuat Dian makin tercekat. Hingga dia tak bisa berpikir lagi apa yang harus dilakukan. Tetap menggenggam atau melepaskannya."Mbak Raisa! Ini, kenapa gerak terus?""Buang, Mbak! Lempar yang jauh!"Sebelum Dian melempar. Terdengar suara monyet dari atas pohon tak jauh dari mereka. Seketika Raisa mendongak, mencari asal suara itu."Mbak Dian ... lihat itu!"Mereka berdua melihat beberapa monyet sudah bergelantungan di rantin