"Terus, lelaki tadi ternyata siapa Mas?" tanya Raisa.
"Mungkin penghuni sekitaran gunung ini."
Jawaban Hamaz membuat mereka berdua saling berpandangan. Kalimat ambigu yang membuat Raisa dan Delon semakin penasaran.
"Penghuni?" ulang Raisa.
"Iya. Mungkin kalian ingat tulisan Bu Marsinah, tentang dia diperingatkan seorang pria?"
Mereka berdua manggut-manggut.
"Bisa jadi dia orang itu."
"Laki-laki tadi, Mas Hamaz? dan, Mas Delon percaya?" ulang Delon mempertegas.
"Dia bilang, kalau puluhan tahun lalu pernah memperingatkan seorang wanita. Bisa saja itu Bu Marsinah 'kan?"
"Dia bilang begitu?" lanjut Raisa terperanjat. Sungguh gadis itu tak menyangka.
"Iya, Mbak Raisa. Karena dari awal dia memang sudah terlihat aneh. Ke saya pun dia menjelaskan ingin mencari jiwa adiknya yang berada di dalam hutan sana. Yang mungkin terperangkap dalam tubuh monyet-monyet yang berkeliaran di sekitar gunung itu."
"Mas Hamaz percaya
Sengaja Delon menunggu mereka di dalam mobil. Saat berada di dalam toilet. Raisa mencium aroma melati yang sangat menyengat. Setelah selesai menunaikan hajat. Dia berjalan keluar dan menuju sebuah cermin besar. Sejenak dia memperbaiki letak jilbab yang dipakai.Tanpa dia sadari. Dari arah belakang muncul sebuah bayangan hitam. Namun Raisa masih saja belum menyadarinya. Kelamaan bayangan hitam yang muncul itu, berubah menjadi sosok wanita. Berambut panjang dengan wajah yang tak terlihat.Raisa masih sibuk dengan peniti di jilbabnya. Dia masih menunduk membenarkan letak bross di dada. Lalu terlihat hidung Raisa kembang kempis, seperti sedang mencium bau sesuatu."Bau melati ini kok enggak ilang-ilang sih?"Setelah selesai, Raisa kembali mematut dirinya di cermin."Ini kok jadi buram sih kacanya?"Raisa mengusap perlahan dengan tangan yang mengepal. Saat cermin itu mulai terlihat jelas dan bening. Tiba-tiba, sebuah tangan dari dalam cermin sepe
Spontan Raisa menjerit kesenangan. Hampir saja dia melompat kegirangan. Yang langsung dicegah Delon."Jangan norak!""Ta-tapi, Mas Delon?""Jangan norak aku bilang!""Iya, iya!"Satu jam berlalu ....Terlihat Raisa sibuk dengan ponsel barunya. Bergegas dia berjalan menuju kamar Delon.Tok tok tok!"Mas Delon ...!"Tok tok tok!"Apa, Sa?""Minta nomer Bapak yang baru, Mas. Aku enggak hapal.""Iya, aku kirim ke kamu sekarang!""Makasih, Mas."Raisa pun berlari kecil menuju kamarnya. Lalu mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Sembari menelepeon seseorang."Aku mau telpon Bapak sekarang."Terdengar nada panggil keluar."Assalamualaikum, Pak!""Waalaikumsalam. Raisa kah ini?""Iya, Bapaaak. Ini Raisa. HP aku baru ini Pak.""HP baru?""Mas Delon yang belikan Pak.""Yang bener kamu ini?""
Tiba-tiba, saat mereka sedang asyik bicara. Terdengar suara teriakan sangat keras. Seperti suara Bu Marto. "Tolooong ... tolooong! Raisa, toloong!" "Haaahhh! Bu Marto?!" desis Raisa. "Sebentar, Mbak Raisa!" Tut tut tut! Sambungan telepon pun mati, tiba-tiba. "Mbak Dian! Mbak Diaaan ...!" teriak Raisa nyaring. Namun teleponnya sudah ditutup. Raisa pun semakin resah dan cemas. Dia takut terjadi apa-apa dengan Bu Marto. Degup jantungnya berdetak tak karuan. Kepalanya berdenyut keras. Terasa sangat sakit, sampai Raisa memegang erat dengan kedua tangannya. Hingga ponselnya terlepas dan jatuh ke lantai. "Aaaarghhh! Sakiiit ... kepalaku sakit sekali." Seketika Raisa merasa ada sesuatu yang aneh. Ruangan tempat dia berpijak serasa berputar hebat. Sampai tubuhnya terhuyung dengan kuat. Dan hampir saja membuat dia jatu7h tersungkur. Sesaat dia memejamkan matanya, agar tak
"Raisa, dia akan mati!" Terdengar suara yang aneh dan melengking tinggi. Diiringi tawa yang nyaring. Seolah tengah mentertawakan Raisa yang tak bisa berkutik. "Ja-jangan ... aku mohon!" Suara Raisa seakan tercekat. Seketika tenggorokannya terasa kering. Sampai untuk bicara saja dia kesulitan. Raisa sangat yakin ini pasti perbuatan sosok itu. Kini arah pandangan Bu Marto terus padanya. Yang membuat para tetangga keheranan. Tampak Bu Marto sedang menatap dengan pandangan yang kosong ka satu titik. Terlihat Dian sangat panik. Dia berusaha menutup pandangan Bu Marto. Lalu merengkuh tubuhnya untuk segera berbaring. Akan tetapi, hanya sedetik kemudian. Bu Marto kembali menegakkan tubuhnya. Dia duduk dengan tatapan kosong, masih mengarah pada satu titik yang sama. Telunjuknya terus menuding ke arah Raisa berdiri. Tanpa ada seorang pun yang tahu. Jika malam ini jiwa Raisa pun hadir. Entah bagaimana caranya? "Ra-
Dengan sekali gerakan. Bu Marto berhasil menyingkirkan tangan yang menghalau dan memegang dirinya. Dia mengarahkan kedua tangannya. Lalu mencekik lehernya sendiri."Jangaaan! Tolong, jangan lakukan itu!" teriak Raisa histeris. Tubuhnya seketika lemas. Dia tak tahu harus berbuat apa untuk menolong Bu Marto.Suara riuh dan hingar bingar dalam kamar itu. Terdengar keras, hingga semakin banyak warga yang berdatangan. Mereka mendekap tubuh Bu Marto. Bahkan mengikat kedua tangannya, agar tak mencekik lehernya snediri.Namun, mereka bagai terhenyak. Saat melihat tubuh Bu Marto yang terhempas ke lantai. Dengan kedua lutut yang menopang berat tubuhnya."Kau ... lihat Raisa!" ucap Bu Marto dengan sorot mata nyalang pada Raisa. Yang terpaku melihat padanya.Tiba-tiba, mereka yang berada dalam kamar itu. Melihat tetesan darah dari leher wanita paruh baya itu. Seperti ada luka yang berputar mengelilingi seluruh lehernya. Membuat mereka semakin terperangah.
Raisa tak bisa berpikir. Dia hanya bisa terduduk lemas. Seakan dia tahu apa yang nanti akan menimpa Bu Marto. "Aku akan segera pulang, Mbak Dian!" "Ada satu hal lagi, Mbak." "Apa itu?" "Bekas gigitan Bu Marto, jempolnya hilang. Kita cari enggak ketemu sama sekali, Mbak. Sampai sekarang aku merinding. Semuanya sangat seram." "Hilang ... jempolnya juga hilang?" Suara Raisa hampir berteriak. "I-iya, Mbak. Kita semua yang ada di sini syok berat, Mbak." Raisa pun bisa mendengar suara Dian yang terisak. "Tenang, Mbak Dian. Tolong berikan kabar terus tentang Bu Sapto ya. Pasti Bu Marto akan baik-baik aja, Mbak." "Mbak Raisa yakin?" Sejenak Raisa terdiam. Dia pun tak yakin dengan apa yang mesti dikatakan. Raisa merasa malam ini terasa berat dalam hatinya. "Mbak Raisa ...!" Suara Dian membuat dia gelagapan. "Ehhh, i-iya Mbak. Kita harus mikir yang posit
Dia menyingkap korden jendela. Dan bisa melihat tubuh Raisa yang sudah terbujur di lantai. Beberapa santiri laki-laki berlarian ke arah Delon."Ada apa Mas?""Raisa pingsan. Gimana cara buka pintunya?"Para santri itu pun terlihat kebingungan.Tiba-tiba ..."Buka paksa!" Hamaz sudah berdiri di belakang mereka.Sontak suara itu membuat Delon menoleh ke belakang. "Mas Hamaz!" Suara Delkon seakan tertahan."Kita buka paksa, Mas Delon!"Beberapa orang santri, berlari mencari alat untuk mencongkel kunci pintu kamar Raisa. Hanya dalam waktu sekian menit ke depan. Pintu pun terbuka lebar."Panggil Mbak Auliya sekarang!" tegas Hamaz.Salah seorang santri langsung berlari. Tak lama terlihat Auliya berlari menuju ke arah mereka."Ada apa ini?" Dia sangat terkejut saat melihat Raisa yang tergeletak di lantai. Setelah beberapa santri mengangkat tubuhnya dan meletakkan di kasur. Mereka pergi meninggalkan kamar Rai
Raisa menghela napas panjang. Sembari tertunduk. Menatap keramik yang berwarna kecoklatan. "Kamar itu, dikelilingi oleh banyak monyet. Aku berusaha untuk mengusir mereka. Tapi sia-sia. Lalu, mereka semakin banyak berdatangan. Hampir memenuhi kamar Bu Marto. Dia semakin histeris sambil nuding ke arahku." "Lalu ...?" tanya Delon tak sabar. "Bu Marto seperti orang yang kerasukan. Sampai dia menggigit jempol tangannya sendiri. Sampai pu-tus," ucap Raisa lemas. "Haaa ...? Sampai putus?" ulang Auliya. Raisa hanya mengangguk. "Makanya aku jadi enggak tenang. Sangat jelas sekali tadi pocong itu wajahnya Bu Marto." "Coba kamu telepon orang rumah, Sa. Tanyakan kabar Bu Marto lagi," ujar Delon. "Ba-baik, Mas." Raisa pun mengambil ponselnya. Lalu menelepon Dian. Deringan pertama tak diangkat. Begitu seterusnya. Raisa pun menggeleng ke arah mereka berempat. "Besok setelah Shubuh kita langsung ke Surabaya! Tapi mampir