"Hemmm ... mati ya? Kenapa sampai tak ada cara lain?" Hamaz terus mencecar lelaki itu dengan segala pertanyaan.
Lelaki itu tertunduk dan diam.
"Karena sampai sekarang pun aku sedang mencari cara agar bisa terlepas dari pesugihan yang menjerat ini. Bukan aku, tapi adikku yang melakukannya. Aku juga sama dengan kalian, mencari tahu hingga ke tempat ini. Tapi, semua terlihat sia-sia."
"Lalu, kenapa Bapak ke sini lagi?"
"Aku ingin bertemu jiwa adikku yang dibawa sosok penghuni gunung ini. Entah siapa mereka atau yang mana, aku juga enggak tahu.'
Hamaz mengajak Delon dan Raisa untuk segera meninggalkan lereng gunung K ini. Mereka melewati hutan pinus yang sangat gelap. Tak jauh dari tempat mereka berjalan. Terlihat bangunan tertinggi dari kraton yang ada di lereng bunung K.
"Tunggu! Mas ... tunggu!" teriak lelaki asing itu terus mengejar.
"Ada apa lagi Pak?" Hamaz sengaja berhenti. Sembari mengayunkan tangannya untuk menyuruh Delon serta R
"Terus, lelaki tadi ternyata siapa Mas?" tanya Raisa."Mungkin penghuni sekitaran gunung ini."Jawaban Hamaz membuat mereka berdua saling berpandangan. Kalimat ambigu yang membuat Raisa dan Delon semakin penasaran."Penghuni?" ulang Raisa."Iya. Mungkin kalian ingat tulisan Bu Marsinah, tentang dia diperingatkan seorang pria?"Mereka berdua manggut-manggut."Bisa jadi dia orang itu.""Laki-laki tadi, Mas Hamaz? dan, Mas Delon percaya?" ulang Delon mempertegas."Dia bilang, kalau puluhan tahun lalu pernah memperingatkan seorang wanita. Bisa saja itu Bu Marsinah 'kan?""Dia bilang begitu?" lanjut Raisa terperanjat. Sungguh gadis itu tak menyangka."Iya, Mbak Raisa. Karena dari awal dia memang sudah terlihat aneh. Ke saya pun dia menjelaskan ingin mencari jiwa adiknya yang berada di dalam hutan sana. Yang mungkin terperangkap dalam tubuh monyet-monyet yang berkeliaran di sekitar gunung itu.""Mas Hamaz percaya
Sengaja Delon menunggu mereka di dalam mobil. Saat berada di dalam toilet. Raisa mencium aroma melati yang sangat menyengat. Setelah selesai menunaikan hajat. Dia berjalan keluar dan menuju sebuah cermin besar. Sejenak dia memperbaiki letak jilbab yang dipakai.Tanpa dia sadari. Dari arah belakang muncul sebuah bayangan hitam. Namun Raisa masih saja belum menyadarinya. Kelamaan bayangan hitam yang muncul itu, berubah menjadi sosok wanita. Berambut panjang dengan wajah yang tak terlihat.Raisa masih sibuk dengan peniti di jilbabnya. Dia masih menunduk membenarkan letak bross di dada. Lalu terlihat hidung Raisa kembang kempis, seperti sedang mencium bau sesuatu."Bau melati ini kok enggak ilang-ilang sih?"Setelah selesai, Raisa kembali mematut dirinya di cermin."Ini kok jadi buram sih kacanya?"Raisa mengusap perlahan dengan tangan yang mengepal. Saat cermin itu mulai terlihat jelas dan bening. Tiba-tiba, sebuah tangan dari dalam cermin sepe
Spontan Raisa menjerit kesenangan. Hampir saja dia melompat kegirangan. Yang langsung dicegah Delon."Jangan norak!""Ta-tapi, Mas Delon?""Jangan norak aku bilang!""Iya, iya!"Satu jam berlalu ....Terlihat Raisa sibuk dengan ponsel barunya. Bergegas dia berjalan menuju kamar Delon.Tok tok tok!"Mas Delon ...!"Tok tok tok!"Apa, Sa?""Minta nomer Bapak yang baru, Mas. Aku enggak hapal.""Iya, aku kirim ke kamu sekarang!""Makasih, Mas."Raisa pun berlari kecil menuju kamarnya. Lalu mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Sembari menelepeon seseorang."Aku mau telpon Bapak sekarang."Terdengar nada panggil keluar."Assalamualaikum, Pak!""Waalaikumsalam. Raisa kah ini?""Iya, Bapaaak. Ini Raisa. HP aku baru ini Pak.""HP baru?""Mas Delon yang belikan Pak.""Yang bener kamu ini?""
Tiba-tiba, saat mereka sedang asyik bicara. Terdengar suara teriakan sangat keras. Seperti suara Bu Marto. "Tolooong ... tolooong! Raisa, toloong!" "Haaahhh! Bu Marto?!" desis Raisa. "Sebentar, Mbak Raisa!" Tut tut tut! Sambungan telepon pun mati, tiba-tiba. "Mbak Dian! Mbak Diaaan ...!" teriak Raisa nyaring. Namun teleponnya sudah ditutup. Raisa pun semakin resah dan cemas. Dia takut terjadi apa-apa dengan Bu Marto. Degup jantungnya berdetak tak karuan. Kepalanya berdenyut keras. Terasa sangat sakit, sampai Raisa memegang erat dengan kedua tangannya. Hingga ponselnya terlepas dan jatuh ke lantai. "Aaaarghhh! Sakiiit ... kepalaku sakit sekali." Seketika Raisa merasa ada sesuatu yang aneh. Ruangan tempat dia berpijak serasa berputar hebat. Sampai tubuhnya terhuyung dengan kuat. Dan hampir saja membuat dia jatu7h tersungkur. Sesaat dia memejamkan matanya, agar tak
"Raisa, dia akan mati!" Terdengar suara yang aneh dan melengking tinggi. Diiringi tawa yang nyaring. Seolah tengah mentertawakan Raisa yang tak bisa berkutik. "Ja-jangan ... aku mohon!" Suara Raisa seakan tercekat. Seketika tenggorokannya terasa kering. Sampai untuk bicara saja dia kesulitan. Raisa sangat yakin ini pasti perbuatan sosok itu. Kini arah pandangan Bu Marto terus padanya. Yang membuat para tetangga keheranan. Tampak Bu Marto sedang menatap dengan pandangan yang kosong ka satu titik. Terlihat Dian sangat panik. Dia berusaha menutup pandangan Bu Marto. Lalu merengkuh tubuhnya untuk segera berbaring. Akan tetapi, hanya sedetik kemudian. Bu Marto kembali menegakkan tubuhnya. Dia duduk dengan tatapan kosong, masih mengarah pada satu titik yang sama. Telunjuknya terus menuding ke arah Raisa berdiri. Tanpa ada seorang pun yang tahu. Jika malam ini jiwa Raisa pun hadir. Entah bagaimana caranya? "Ra-
Dengan sekali gerakan. Bu Marto berhasil menyingkirkan tangan yang menghalau dan memegang dirinya. Dia mengarahkan kedua tangannya. Lalu mencekik lehernya sendiri."Jangaaan! Tolong, jangan lakukan itu!" teriak Raisa histeris. Tubuhnya seketika lemas. Dia tak tahu harus berbuat apa untuk menolong Bu Marto.Suara riuh dan hingar bingar dalam kamar itu. Terdengar keras, hingga semakin banyak warga yang berdatangan. Mereka mendekap tubuh Bu Marto. Bahkan mengikat kedua tangannya, agar tak mencekik lehernya snediri.Namun, mereka bagai terhenyak. Saat melihat tubuh Bu Marto yang terhempas ke lantai. Dengan kedua lutut yang menopang berat tubuhnya."Kau ... lihat Raisa!" ucap Bu Marto dengan sorot mata nyalang pada Raisa. Yang terpaku melihat padanya.Tiba-tiba, mereka yang berada dalam kamar itu. Melihat tetesan darah dari leher wanita paruh baya itu. Seperti ada luka yang berputar mengelilingi seluruh lehernya. Membuat mereka semakin terperangah.
Raisa tak bisa berpikir. Dia hanya bisa terduduk lemas. Seakan dia tahu apa yang nanti akan menimpa Bu Marto. "Aku akan segera pulang, Mbak Dian!" "Ada satu hal lagi, Mbak." "Apa itu?" "Bekas gigitan Bu Marto, jempolnya hilang. Kita cari enggak ketemu sama sekali, Mbak. Sampai sekarang aku merinding. Semuanya sangat seram." "Hilang ... jempolnya juga hilang?" Suara Raisa hampir berteriak. "I-iya, Mbak. Kita semua yang ada di sini syok berat, Mbak." Raisa pun bisa mendengar suara Dian yang terisak. "Tenang, Mbak Dian. Tolong berikan kabar terus tentang Bu Sapto ya. Pasti Bu Marto akan baik-baik aja, Mbak." "Mbak Raisa yakin?" Sejenak Raisa terdiam. Dia pun tak yakin dengan apa yang mesti dikatakan. Raisa merasa malam ini terasa berat dalam hatinya. "Mbak Raisa ...!" Suara Dian membuat dia gelagapan. "Ehhh, i-iya Mbak. Kita harus mikir yang posit
Dia menyingkap korden jendela. Dan bisa melihat tubuh Raisa yang sudah terbujur di lantai. Beberapa santiri laki-laki berlarian ke arah Delon."Ada apa Mas?""Raisa pingsan. Gimana cara buka pintunya?"Para santri itu pun terlihat kebingungan.Tiba-tiba ..."Buka paksa!" Hamaz sudah berdiri di belakang mereka.Sontak suara itu membuat Delon menoleh ke belakang. "Mas Hamaz!" Suara Delkon seakan tertahan."Kita buka paksa, Mas Delon!"Beberapa orang santri, berlari mencari alat untuk mencongkel kunci pintu kamar Raisa. Hanya dalam waktu sekian menit ke depan. Pintu pun terbuka lebar."Panggil Mbak Auliya sekarang!" tegas Hamaz.Salah seorang santri langsung berlari. Tak lama terlihat Auliya berlari menuju ke arah mereka."Ada apa ini?" Dia sangat terkejut saat melihat Raisa yang tergeletak di lantai. Setelah beberapa santri mengangkat tubuhnya dan meletakkan di kasur. Mereka pergi meninggalkan kamar Rai
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga