Raisa tak bisa berpikir. Dia hanya bisa terduduk lemas. Seakan dia tahu apa yang nanti akan menimpa Bu Marto.
"Aku akan segera pulang, Mbak Dian!"
"Ada satu hal lagi, Mbak."
"Apa itu?"
"Bekas gigitan Bu Marto, jempolnya hilang. Kita cari enggak ketemu sama sekali, Mbak. Sampai sekarang aku merinding. Semuanya sangat seram."
"Hilang ... jempolnya juga hilang?" Suara Raisa hampir berteriak.
"I-iya, Mbak. Kita semua yang ada di sini syok berat, Mbak." Raisa pun bisa mendengar suara Dian yang terisak.
"Tenang, Mbak Dian. Tolong berikan kabar terus tentang Bu Sapto ya. Pasti Bu Marto akan baik-baik aja, Mbak."
"Mbak Raisa yakin?"
Sejenak Raisa terdiam. Dia pun tak yakin dengan apa yang mesti dikatakan. Raisa merasa malam ini terasa berat dalam hatinya.
"Mbak Raisa ...!"
Suara Dian membuat dia gelagapan.
"Ehhh, i-iya Mbak. Kita harus mikir yang posit
Dia menyingkap korden jendela. Dan bisa melihat tubuh Raisa yang sudah terbujur di lantai. Beberapa santiri laki-laki berlarian ke arah Delon."Ada apa Mas?""Raisa pingsan. Gimana cara buka pintunya?"Para santri itu pun terlihat kebingungan.Tiba-tiba ..."Buka paksa!" Hamaz sudah berdiri di belakang mereka.Sontak suara itu membuat Delon menoleh ke belakang. "Mas Hamaz!" Suara Delkon seakan tertahan."Kita buka paksa, Mas Delon!"Beberapa orang santri, berlari mencari alat untuk mencongkel kunci pintu kamar Raisa. Hanya dalam waktu sekian menit ke depan. Pintu pun terbuka lebar."Panggil Mbak Auliya sekarang!" tegas Hamaz.Salah seorang santri langsung berlari. Tak lama terlihat Auliya berlari menuju ke arah mereka."Ada apa ini?" Dia sangat terkejut saat melihat Raisa yang tergeletak di lantai. Setelah beberapa santri mengangkat tubuhnya dan meletakkan di kasur. Mereka pergi meninggalkan kamar Rai
Raisa menghela napas panjang. Sembari tertunduk. Menatap keramik yang berwarna kecoklatan. "Kamar itu, dikelilingi oleh banyak monyet. Aku berusaha untuk mengusir mereka. Tapi sia-sia. Lalu, mereka semakin banyak berdatangan. Hampir memenuhi kamar Bu Marto. Dia semakin histeris sambil nuding ke arahku." "Lalu ...?" tanya Delon tak sabar. "Bu Marto seperti orang yang kerasukan. Sampai dia menggigit jempol tangannya sendiri. Sampai pu-tus," ucap Raisa lemas. "Haaa ...? Sampai putus?" ulang Auliya. Raisa hanya mengangguk. "Makanya aku jadi enggak tenang. Sangat jelas sekali tadi pocong itu wajahnya Bu Marto." "Coba kamu telepon orang rumah, Sa. Tanyakan kabar Bu Marto lagi," ujar Delon. "Ba-baik, Mas." Raisa pun mengambil ponselnya. Lalu menelepon Dian. Deringan pertama tak diangkat. Begitu seterusnya. Raisa pun menggeleng ke arah mereka berempat. "Besok setelah Shubuh kita langsung ke Surabaya! Tapi mampir
Raisa diikuti Delon dan Hamaz, segera memasuki kamar. Suara Bu Marto semakin terdengar kian kencang. Saat Raisa muncul. Seketika Bu Marto terdiam dan terpaku. Melihat ke arah gadis itu. Lalu menunjuk dengan mata yang melotot pada Raisa. "Kamu ... akhirnya datang juga." Suara Bu Marto terdengar serak dan parau. Raisa pun tahu kalau itu bukan lagi Bu Marto. 'Aku tahu kau mengancam aku. Untuk menghentikan semua ini. Aku tahu itu, siapa pun kamu yang berada di belakang semua ini. Aku pasti bisa menemukanmu dan menghancurkan semua kejahatan yang telah kamu lakukan!' bisik Raisa dalam hati.; "Berarti kau ingin 'kan wanita ini matiiii ....!" Tiba-tiba, Bu Marto dengan mata yang melotot. Mulai meracau lagi. Bahkan dia mencoba untuk beranjak dari tempat tidur. Yang membuat para perawat dan dokter kalang kabut oleh tindakannya. "Raisaaa ... kau menentang aku. Kau berani menentang akuuu!" Hamaz pun mendekatinya. Setelah mendapatkan ijin d
Raisa menghela napas berat. Dia sampai terduduk di sebuah kursi dengan pandangan yang terus mengarah pada Bu Marto. Yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. "Raisaaa ... Raisa!" Bergegas gadis itu menghampiri. Lalu membungkukkan tubuhnya dengan mendekatkan telinga ke bibir Bu Marto. "Kamu ... harus hati-hati, Raisa. Dia--" Bu Marto menarik napas dalam-dalam. Lalu melanjutkan lagi kalimatanya, "Dia, sangat jahat. Dan, akan membunuh siapa saja yang menghalanginya." "Apa Ibu tau siapa yang mengendalikan makhluk itu sekarang?" Wanita itu menggeleng lemah. "Aku benar-benar enggak tahu, Raisa. Pesan aku kau harus hati-hati!" Raisa pun terlihat sangat tegang. Dia terus mengangguk dengan tangan yang membelai rambut Bu Marto. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, Raisa." "Iya, Bu Marto." Mereka melihat kedua matanya mengerjap hingga beberapa kali. Dengn mulut yang megap-megap. Raisa langsung menoleh pad
Terdengar suara pintu kamar yang berderit keras. Membuat Raisa menoleh. Rahangnya mengeras dengan bibir yang berkerut-kerut. Manik mata Raisa sampai berkaca-kaca. "Raisa, kamu kenapa?" Delon menepuk bahu gadis itu. "Bu ... Bu Marto!" ucap Raisa lirih sembari menunjuk ke arah pintu kamar. Membuat Delon, Hamaz, Dian, serta Momoy ikut menoleh mengikuti arah telunjuk Raisa. "Enggak ada apa-apa, Mbak," sahut Momoy seraya menggoyang pergelangan tangan kakaknya. "A-pa kalian enggak ada yang bisa melihat Bu Marto di pintu itu?" tanya Raisa dengan pandangan penuh tanya pada mereka semua. Mereka hanya menggeleng hampir bersamaan. "Apa sekarang kau juga masih melihatnya?" tanya Hamaz. Sontak Raisa mengalihkan pandangannya. Dia melihat ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Lalu menggeleng. "Sudah enggak ada ada, Mas. Tapi--" Raisa melotot. Perlahan dia menoleh ke arah samping kanan. Tepat di sebalah Dian, Dia melihat Bu
Raisa terus menatap wanita muda itu."Saya ini Rini, Mbak Raisa. Anak Bu Hana.""Ohhh, Bu Hana. Maaf saya enggak bisa melayat Mbak waktu itu.""Enggak apa-apa, Mbak Raisa. Jujur saya kaget dengan kematian Bu Marto. Padahal dia bukan pemandi jenazah Bu Sapto. Apa ini ada hubungan dengan Mbak Raisa?"Deg!"Ke-kenapa Mbak Rini bisa bicara seperti itu?"Dia merogoh ponsel dan menunjukkan sebuah gambar pada Raisa."Ini semua tulisan yang ada di kamar Mama, Mbak Raisa. Waktu itu Mbak Dian juga sempat aku ajak ngelihat.""Memang tulisan seperti apa Mbak Rini.""Ini, Mbak!" Dia langsung memperlihatkan galeri foto dan video pada Raisa. Delon dan Hamaz pun mendekat."Coba Mas Delon sama Mas Hamaz lihat ini," ucap Raisa sembari memberikan ponsel milik Rini.Mereka melihat tulisan dan gambar yang berasal dari goresan lipstik dan pensil alis. Sedikit buram tapi masih bisa terbaca."Apa ... Mbak Raisa dan Ma
Momoy hanya menunjuk arah pagar."D-dia cuman berdiri di depan pagar. Kepalanya tertunduk. Cuman yang dicarinya, Mbak Raisa," ucap Momoy seraya bergidik."Ja-jadi, dia manggil nama Mbak?" tanya Raisa terbata."Iya, Mbak. Makanya aku langsung tidur enggak bilang Bapak."Raisa hanya bisa manggut-manggut. Terdengar suara para pengiring jenazah Bu Marto mendengungkan kalimat tauhid."Laa Illaha Illalah ... Laa Illaha Illalah ... Laa Illaha Illalah.""Ayo Mbak kita ke rumah Bu Marto!" ajak Dian.Akan tetapi ajakan itu ditolak oleh Raisa."Kenapa, Mbak Raisa?""Aku tunggu di rumah aja Mbak Dian. Sampai orang-orang turun dari masjid. Mbak Dian aja ya, yang ke sana. Perwakilan dari rumah kita.""Ba-baik, Mbak."Setelah Dian pergi meninggalkan Raisa. Momoy duduk mendekati sang kakak, yang masih diam termenung."Memangnya kenapa Mbak Raisa enggak mau ke sana?""Ya, karena Mbak enggak mau aja, Moy."
"Kata mereka kita tersesat jauh. Malah mereka bilang ini memang bukan jalan ke arah alamat ini, Mas Delon."Deg!Mereka berdua terdiam. Lalu bersamaan menoleh ke arah Raisa, yang terlihat sangat tenang."Kenapa ... Mas? Kok pada lihatin aku?""Apa kamu yang ngacak maps ini, Sa?" Delon menoleh ke belakang, tepat pada Raisa."E-enggak. Bukan aku! Lagian kan aku yang paling akhir masuk mobil. Jahat banget nih kalian, nuduh aku!""Maaf Mbak Raisa, bukan menuduh. Maafkan kami sekali lagi. Ayo Mas Delon kita mutar aja."Hamaz menengahi perdebatan mereka. Dari raut wajah Raisa sangat terlihat dia sedang kesal."Maafin aku, Sa."Namun Raisa membuang muka. Dia masih kesal pada Delon."Jahat sekali sih Mas Delon nuduh aku.""Iya, maaf."Mobil mereka berputar balik menuju arah jalan raya. Lalu berbelok kanan."Benar ini Mas Hamaz jalannya?""Kita harus tanya lagi Mas Delon.""Baik, Mas. Di