"Raisa, dia akan mati!"
Terdengar suara yang aneh dan melengking tinggi. Diiringi tawa yang nyaring. Seolah tengah mentertawakan Raisa yang tak bisa berkutik.
"Ja-jangan ... aku mohon!" Suara Raisa seakan tercekat. Seketika tenggorokannya terasa kering. Sampai untuk bicara saja dia kesulitan.
Raisa sangat yakin ini pasti perbuatan sosok itu. Kini arah pandangan Bu Marto terus padanya. Yang membuat para tetangga keheranan. Tampak Bu Marto sedang menatap dengan pandangan yang kosong ka satu titik.
Terlihat Dian sangat panik. Dia berusaha menutup pandangan Bu Marto. Lalu merengkuh tubuhnya untuk segera berbaring. Akan tetapi, hanya sedetik kemudian. Bu Marto kembali menegakkan tubuhnya. Dia duduk dengan tatapan kosong, masih mengarah pada satu titik yang sama.
Telunjuknya terus menuding ke arah Raisa berdiri. Tanpa ada seorang pun yang tahu. Jika malam ini jiwa Raisa pun hadir. Entah bagaimana caranya?
"Ra-
Dengan sekali gerakan. Bu Marto berhasil menyingkirkan tangan yang menghalau dan memegang dirinya. Dia mengarahkan kedua tangannya. Lalu mencekik lehernya sendiri."Jangaaan! Tolong, jangan lakukan itu!" teriak Raisa histeris. Tubuhnya seketika lemas. Dia tak tahu harus berbuat apa untuk menolong Bu Marto.Suara riuh dan hingar bingar dalam kamar itu. Terdengar keras, hingga semakin banyak warga yang berdatangan. Mereka mendekap tubuh Bu Marto. Bahkan mengikat kedua tangannya, agar tak mencekik lehernya snediri.Namun, mereka bagai terhenyak. Saat melihat tubuh Bu Marto yang terhempas ke lantai. Dengan kedua lutut yang menopang berat tubuhnya."Kau ... lihat Raisa!" ucap Bu Marto dengan sorot mata nyalang pada Raisa. Yang terpaku melihat padanya.Tiba-tiba, mereka yang berada dalam kamar itu. Melihat tetesan darah dari leher wanita paruh baya itu. Seperti ada luka yang berputar mengelilingi seluruh lehernya. Membuat mereka semakin terperangah.
Raisa tak bisa berpikir. Dia hanya bisa terduduk lemas. Seakan dia tahu apa yang nanti akan menimpa Bu Marto. "Aku akan segera pulang, Mbak Dian!" "Ada satu hal lagi, Mbak." "Apa itu?" "Bekas gigitan Bu Marto, jempolnya hilang. Kita cari enggak ketemu sama sekali, Mbak. Sampai sekarang aku merinding. Semuanya sangat seram." "Hilang ... jempolnya juga hilang?" Suara Raisa hampir berteriak. "I-iya, Mbak. Kita semua yang ada di sini syok berat, Mbak." Raisa pun bisa mendengar suara Dian yang terisak. "Tenang, Mbak Dian. Tolong berikan kabar terus tentang Bu Sapto ya. Pasti Bu Marto akan baik-baik aja, Mbak." "Mbak Raisa yakin?" Sejenak Raisa terdiam. Dia pun tak yakin dengan apa yang mesti dikatakan. Raisa merasa malam ini terasa berat dalam hatinya. "Mbak Raisa ...!" Suara Dian membuat dia gelagapan. "Ehhh, i-iya Mbak. Kita harus mikir yang posit
Dia menyingkap korden jendela. Dan bisa melihat tubuh Raisa yang sudah terbujur di lantai. Beberapa santiri laki-laki berlarian ke arah Delon."Ada apa Mas?""Raisa pingsan. Gimana cara buka pintunya?"Para santri itu pun terlihat kebingungan.Tiba-tiba ..."Buka paksa!" Hamaz sudah berdiri di belakang mereka.Sontak suara itu membuat Delon menoleh ke belakang. "Mas Hamaz!" Suara Delkon seakan tertahan."Kita buka paksa, Mas Delon!"Beberapa orang santri, berlari mencari alat untuk mencongkel kunci pintu kamar Raisa. Hanya dalam waktu sekian menit ke depan. Pintu pun terbuka lebar."Panggil Mbak Auliya sekarang!" tegas Hamaz.Salah seorang santri langsung berlari. Tak lama terlihat Auliya berlari menuju ke arah mereka."Ada apa ini?" Dia sangat terkejut saat melihat Raisa yang tergeletak di lantai. Setelah beberapa santri mengangkat tubuhnya dan meletakkan di kasur. Mereka pergi meninggalkan kamar Rai
Raisa menghela napas panjang. Sembari tertunduk. Menatap keramik yang berwarna kecoklatan. "Kamar itu, dikelilingi oleh banyak monyet. Aku berusaha untuk mengusir mereka. Tapi sia-sia. Lalu, mereka semakin banyak berdatangan. Hampir memenuhi kamar Bu Marto. Dia semakin histeris sambil nuding ke arahku." "Lalu ...?" tanya Delon tak sabar. "Bu Marto seperti orang yang kerasukan. Sampai dia menggigit jempol tangannya sendiri. Sampai pu-tus," ucap Raisa lemas. "Haaa ...? Sampai putus?" ulang Auliya. Raisa hanya mengangguk. "Makanya aku jadi enggak tenang. Sangat jelas sekali tadi pocong itu wajahnya Bu Marto." "Coba kamu telepon orang rumah, Sa. Tanyakan kabar Bu Marto lagi," ujar Delon. "Ba-baik, Mas." Raisa pun mengambil ponselnya. Lalu menelepon Dian. Deringan pertama tak diangkat. Begitu seterusnya. Raisa pun menggeleng ke arah mereka berempat. "Besok setelah Shubuh kita langsung ke Surabaya! Tapi mampir
Raisa diikuti Delon dan Hamaz, segera memasuki kamar. Suara Bu Marto semakin terdengar kian kencang. Saat Raisa muncul. Seketika Bu Marto terdiam dan terpaku. Melihat ke arah gadis itu. Lalu menunjuk dengan mata yang melotot pada Raisa. "Kamu ... akhirnya datang juga." Suara Bu Marto terdengar serak dan parau. Raisa pun tahu kalau itu bukan lagi Bu Marto. 'Aku tahu kau mengancam aku. Untuk menghentikan semua ini. Aku tahu itu, siapa pun kamu yang berada di belakang semua ini. Aku pasti bisa menemukanmu dan menghancurkan semua kejahatan yang telah kamu lakukan!' bisik Raisa dalam hati.; "Berarti kau ingin 'kan wanita ini matiiii ....!" Tiba-tiba, Bu Marto dengan mata yang melotot. Mulai meracau lagi. Bahkan dia mencoba untuk beranjak dari tempat tidur. Yang membuat para perawat dan dokter kalang kabut oleh tindakannya. "Raisaaa ... kau menentang aku. Kau berani menentang akuuu!" Hamaz pun mendekatinya. Setelah mendapatkan ijin d
Raisa menghela napas berat. Dia sampai terduduk di sebuah kursi dengan pandangan yang terus mengarah pada Bu Marto. Yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. "Raisaaa ... Raisa!" Bergegas gadis itu menghampiri. Lalu membungkukkan tubuhnya dengan mendekatkan telinga ke bibir Bu Marto. "Kamu ... harus hati-hati, Raisa. Dia--" Bu Marto menarik napas dalam-dalam. Lalu melanjutkan lagi kalimatanya, "Dia, sangat jahat. Dan, akan membunuh siapa saja yang menghalanginya." "Apa Ibu tau siapa yang mengendalikan makhluk itu sekarang?" Wanita itu menggeleng lemah. "Aku benar-benar enggak tahu, Raisa. Pesan aku kau harus hati-hati!" Raisa pun terlihat sangat tegang. Dia terus mengangguk dengan tangan yang membelai rambut Bu Marto. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, Raisa." "Iya, Bu Marto." Mereka melihat kedua matanya mengerjap hingga beberapa kali. Dengn mulut yang megap-megap. Raisa langsung menoleh pad
Terdengar suara pintu kamar yang berderit keras. Membuat Raisa menoleh. Rahangnya mengeras dengan bibir yang berkerut-kerut. Manik mata Raisa sampai berkaca-kaca. "Raisa, kamu kenapa?" Delon menepuk bahu gadis itu. "Bu ... Bu Marto!" ucap Raisa lirih sembari menunjuk ke arah pintu kamar. Membuat Delon, Hamaz, Dian, serta Momoy ikut menoleh mengikuti arah telunjuk Raisa. "Enggak ada apa-apa, Mbak," sahut Momoy seraya menggoyang pergelangan tangan kakaknya. "A-pa kalian enggak ada yang bisa melihat Bu Marto di pintu itu?" tanya Raisa dengan pandangan penuh tanya pada mereka semua. Mereka hanya menggeleng hampir bersamaan. "Apa sekarang kau juga masih melihatnya?" tanya Hamaz. Sontak Raisa mengalihkan pandangannya. Dia melihat ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Lalu menggeleng. "Sudah enggak ada ada, Mas. Tapi--" Raisa melotot. Perlahan dia menoleh ke arah samping kanan. Tepat di sebalah Dian, Dia melihat Bu
Raisa terus menatap wanita muda itu."Saya ini Rini, Mbak Raisa. Anak Bu Hana.""Ohhh, Bu Hana. Maaf saya enggak bisa melayat Mbak waktu itu.""Enggak apa-apa, Mbak Raisa. Jujur saya kaget dengan kematian Bu Marto. Padahal dia bukan pemandi jenazah Bu Sapto. Apa ini ada hubungan dengan Mbak Raisa?"Deg!"Ke-kenapa Mbak Rini bisa bicara seperti itu?"Dia merogoh ponsel dan menunjukkan sebuah gambar pada Raisa."Ini semua tulisan yang ada di kamar Mama, Mbak Raisa. Waktu itu Mbak Dian juga sempat aku ajak ngelihat.""Memang tulisan seperti apa Mbak Rini.""Ini, Mbak!" Dia langsung memperlihatkan galeri foto dan video pada Raisa. Delon dan Hamaz pun mendekat."Coba Mas Delon sama Mas Hamaz lihat ini," ucap Raisa sembari memberikan ponsel milik Rini.Mereka melihat tulisan dan gambar yang berasal dari goresan lipstik dan pensil alis. Sedikit buram tapi masih bisa terbaca."Apa ... Mbak Raisa dan Ma
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga