Dari wajah yang tergambar. Terlihat sosok wanita ini, berkepribadian sangat dingin dan kaku. Senyumnya menyeringai tipis. Dengan kedua bola mata lebar yang seakan melihat ke arah mereka.
"Kita geser jangan di sini, Mas!"
"Kenapa?"
Wajah di lukisan itu. Matanya seperti melihat kita. Aku takut!"
"Ayo kita bersembunyi!" ajak Hamaz.
"Lalu, gimana Mas Delon dan Mbok Yumna?"
"Kita bersembunyi hanya karena menunggu mereka. Aku juga akan bilang biar Mas Delon bawa bawa sedikit bensin sama korek api."
"Untuk apa Mas?"
"Membakar semua perabotan yang ada di dalam kamar itu!"
Raisa pun terdiam. Dia merasa bulu kuduknya semakin berdiri dan merinding. Raisa merasa banyak mata yang tengah memandang dirinya saat ini.
"Mas apa senggak sebaiknya kita sembunyi dulu? Cari tempat sambil menunggu Mas Delon."
"Sebenarnya tempat teraman di luar, Mbak Raisa. Tapi, kita harus kembali ke kamar Mbok Yumna lagi."
"Kamar yang tad
"Lah, kok ke rumah ini lagi?""Hanya mengantar Ibu ini. Dulunya tinggal di sini, Pak. Prihatin aja kok banyak kejadian yang mengerikan berhubungan dengan rumah ini.""Ohhhh! Harusnya kalian laporan ke saya Mas. Jadi kalau ada apa-apa kita juga bisa bantuin.""Terima kasih banyak, Pak RT. Mungkin kalau sampai larut malam kita belum keluar. Minta tolong untuk dicari Pak."Lelaki itu langsung bergidik, ngeri."Bu-bukannya enggak mau Mas. Tapi kalau malam, kita juga takut. Rumah ini terlalu seram kalau malam. Wong siang aja ngeri. Ya udah kalau gitu. Saya bantu doa aja, Mas."Langkahnya tergopoh meninggalkan rumah Bu Sapto. Delon tersenyum sembari geleng-geleng. Lalu, membantu Mbok Yumna untuk menapaki dua anak tangga. Dan menggandeng lengannya menuju pintu utama.Saat Delon hendak mengetuk pintu. Dengan sendirinya pintu terbuka lebar diiringi suaranya yang berderit. Menimbulkan kengerian tersendiri.Raisa langsung berteriak senang
Kembali terdengar sesuatu dari kaca yang pecah di lantai. Membuat ketiganya tersentak. Tapi tidak untuk Mbok Yumna. Yang sepertinya sudah mengerti akan rumah ini. "Bawa aku ke kamar Ibu!" "Kamar Ibu?" ulang Raisa dan Delon bersamaan. "Mungkin maksud Mbok Yumna itu kamar Bu Marsinah." "Iya," sahut Mbok Yumna. Langsung berdiri dan segera berjalan memasuki rumah Bu Sapto. Kemudian tampak dia sedikit kebingungan. "Kenapa Mbok?" tanya Raisa. "Harusnya kamar Ibu ada di sebelah sini. Kok sekarang pintunya udah enggak ada?" "Jangan ... jangan, kamar yang di maksud itu kamar Bu Sapto?" bisik Raisa. "Bisa jadi!" sahut Delon. Raisa dan Delon berjalan terlebih dahulu. Dia ingin menunjukkan kamar Bu Sapto kepada Yumna. "Mari, Bu!" Hamaz mengajaknya untuk mengikuti mereka. "Sekarang kamar yang dulu dipakai Bu Marsinah, sudah dipakai Bu Sapto atau Bu Mariana." Mbok Yumna hanya diam tak memberikan respon
"Loh, Mas Hamaz. Kok cepet?""Aku enggak jadi keluar. Ambil di dapur aja, Mas Delon. Aku mikirnya bakal lama. Kasihan Mbok Yumna. Dia berniat menolong malah celaka.""Bagus, Mas!" sahut Raisa.Bergantian antara Delon dan Hamaz. Mulai memukul engsel pintu kamar. Namun entah kenapa terasa sulit. Sampai mereka mendengar suara orang yang berteriak dari arah dalam kamar."Mbok Yumna!" teriak mereka bersamaan."Bagaimana ini, Mas? Kita masih belum juga bisa masuk?" Raisa mulai panik. Sedangkan Delon dan Hamaz masih berusaha untuk merusak kunci pintu.Hingga Raisa mulai merasa aura di sekitar mereka semakin aneh dan serasa menunjukkan aktivitas negatifnya. Dia meringsek pada Hamaz."Mas ... Mas! Aku mulai ngerasa enggak beneran ini," bisik Raisa."Ada apa, Mbak?""Aku ngerasanya kek ada yang lihat dan pintu kamar belakang itu kayak kebuka enggak sih? coba Mas Hamaz lihat deh!"Lelaki itu pun ikut menoleh begi
"Mbak Raisa! Perhatikan Mbok Yumna untuk jangan melamun. Kalau sekiranya enggak memungkinkan. kIta harus bawa Mbok Yumna segera keluar dari tempat ini.""Jangan!" Tiba-tiba Mbok Yumna berteriak kencang. "Aku masih ingin di sini!"Sesaat Mbok Yumna mulai memperhatikan kamar ini, yang jauh lebih luas dan besar. Dari kamar semula dulu. Pencahayaan kamar yang sangat terang, tetap terlihat redup di matanya. Lalu dia menunjuk ke arah lampu bohlam, yang terus berkedip-kedip. Membuat penglihatannya semakin kurang jelas.Lalu pandangan matanya bergerak memperhatikan dua buah lemari yang sangat besar. Di sisi kanan ranjang berjajar. Bau apek dan lembab mulai tercium Yumna. Hingga dia mendengar suara yang aneh. Pandangan matanya mulai berpendar. Mencari asal suara."Kursi goyang itu? Kenapa ada di sini?" Suaranya berbisik.Raisa, Delon, dan Hamaz hanya diam melihat Mbok Yumna yang mulai terlihat aneh. Sambil memandang ke arah mereka. Dia mencoba u
"D-dia ... bukan Mariyati, yang satu juga bukan Mariana." Suaranya terdengar lemah. Namun membuat mereka bertiga bingung atas apa yang baru saja diucapkan Yumna."Dia siapa ini, Mbok?" tanya Raisa."Mariyati ... Mariyati!"Wanita tua itu terus memanggil namanya. Sampai akhirnya kedua mata yang tadi terpejam mulai terbuka lebar."A-aku di mana sekarang?""Mbok Yumna di kamar Mariana atau Bu Sapto."Sontak wanita itu langsung menangis tergugu. Raisa yang keheranan langsung memeluknya."Aku bersalah pada mereka. Aku salah meninggalkan mereka.""Mariyati dan Mariana?" lanjut Raisa pelan."Iya. Baru saja Mariyati menceritakan semuanya. Aku seperti melihat semua kejadian ini. Yang tak pernah aku ketahui.""Bisakah Mbok Yumna ceritakan pada kami? Sekilas saja." Raisa membujuk wanita itu agar mau bercerita."Sewaktu aku di kamar ini. Melihat banyak sosok yang berkelebatan. Aku bener-bener takut. Sampai bayangan wan
"Apa kamu lupa Mariyati? Aku sakit. Aku harus mencari obat untuk bisa melepaskan jerat tumbal Bulek kamu Naning. Apa kamu lupa?""Kamu yang lupa pada diriku! Kamu langsung pergi tanpa berpamit sama aku, Yumna. Bukannya kamu telah berjanji pada Ibu? Kamu yang membuat aku seperti ini?""Maafkan aku, Mariyati. Maafkan aku!"Lalu Yumna melepaskan kalung yang dipakainya."Lihatlah ini!"Sosok yang dipanggil Mariyati hanya diam. Dengan wajah lurus ke depan. Dia tak mengindahkan kalung itu."Kenapa kamu tak bisa menebak siapa aku dan siapa Mariana, Yumna? Kenapa? Kenapaaaa ...?""A-apa maksud kamu Mar? Aku sangat enggak paham maksud pembicaraan kamu ini. Lagian, sepertinya kamu memang sengaja membawa aku ke kamar ini 'kan?"Lalu sosok yang dipanggil Mariyati menyingkap rambutnya ke atas."Iya. Aku sengaja menarik kamu ke sini. Ke kamar ini. Biar kamu mengingat lagi janji kamu pada Ibu!"Y
"Bagaimana kalau kita tukar tempat? Biarpun di rumah Bulek sama saja. Tapi enggak akan kamu ketemu Bapak.""Lalu, kamu bagaimana di rumah itu?""Aku masih ada teman 'kan? Mbak Yumna."Tampaknya Mariyati menyetujui ajakan Mariana. Sejak itu Mariana kembali ke rumah Mariman sebagai Mariyati. Yumna langsung teringat. Saat dia mulai merasakan perbedaan sikap pada Mariyati. Dia cenderung berubah menjadi pendiam. Serta surat yang pernah dia baca.Apa yang baru saja dijelaskan oleh Yumna, membuat mereka bertiga benar-benar terperanjat."Ja-jadi, yang kembali waktu itu bukanlah Mariyati? Tapi, Mariana Mbok?" tanya Raisa dengan mata yang melotot tajam. Mengarah padanya."Benar, Nak. Makanya di waktu itu, aku sangat heran. Aku ngerasa aneh sikap Mariyati yang enggak biasanya. Dia lebih pendiam.""Waktu Mbok Yumna, bertemu Mariana? Apa yang Mbok Yumna rasakan?""Aku merasa dekat. Sangat dekat. Bahkan merasa kalau itu Mariyati."
Cukup lama Raisa meyakinkan wanita yang duduk di hadapannya."Aku merindukan kamar ini. Cuman aku juga enggak bisa melepaskan kepahitan masa lalu.""Kalau begitu Mbok Yumna, saya minta tolong. Ayo kita keluar dari sini. Kami bertiga akan cari Mariana sampai ketemu. Gimana?"Dia masih saja menggeleng. Yang awalnya begitu sulit saat diajak ke rumah menyeramkan ini. Kini, sangat sulit juga untuk mengajak Mbok Yumna untuk pulang."Bagaimana ini, Mas?" tanya Raisa mendongak ke arah mereka berdua. "Kita akan kepikiran terus kalau dia di sini terus. Bisa enggak fokus pencarian kita nanti.""Mbok Yumna, besok pagi kita akan ke sini lagi. Kita harus pulang sekarang! Sebelum malam datang," bisik Hamaz mencoba membujuk Mbok Yumna.Setelah saling membujuk rayu. Mbok Yumna bisa menerima alasan mereka. Dia pun mengangguk setuju untuk meninggalkan rumah ini."Sekarang yang perlu kita pikirkan lewat mana?""Usahakan lewat depan aja Mas Delon."
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga