Sejenak Yumna menarik napas dan membuangnya perlahan. Lalu mengulangi lagi. Sampai dia benar-benar bisa rileks.
Tatap mata Raisa, Delon dan Hamaz tak lepas darinya. Dan mereka tak ingin memaksa agar wanita ini melanjutkan lagi cerita tentang perjalanan dari rumah Naning. Seperti ada masa lalu yang ingin dia lupakan.
Dari waut wajah yang teganng. Mereka bertiga bisa menangkap, bahwa kehidupannya dulu pasti penuh penderitaan. Bukan secara materi. Namun, terlebih pada pertentangan hati.
Delon mengerling pada Raisa. Memberi tanda agar gadis itu menyodorkan air putih untuk diminum. Raisa mengangguk.
"Mbok Yum, minum dulu!"
Wanita tua itu menyambut gelas dari Raisa. Tampak tangannya bergetar hebat. Gerakan Raisa yang cepat ikut membantu wanita tua itu.
"Makasih, Nak."
"Iya, Mbok."
"Waktu itu, aku enggak habis pikir. Kenapa banyak kejadian aneh yang menimpa aku? Padahal waktu di rumah Naning enggak terlalu lama."
"A
Yumna menghentikan langkahnya. Lalu menoleh pada Mariana."Ada apa?""Aku meletakkan surat yang aku bungkus dengan plastik hitam. Biar enggak ketahuan kalau itu sebuah surat, Mbak.""Buat, Mariyati?""I-iya. Tolong sampaikan surat itu padanya. Penting!""Kamu taruh di mana?""Di dalam tas, Mbak."Naik, Mar., Nanti aku akan sampaikan."Dia mengambil mukena yang ditaruhnya dalam tas. Lalu menggelar sajadah. Bersamaan waktu itu. Petir terus menyambar dan menggelegar. Hujan angin pun mulai menyertai."Allahu Akbar!"Di saat rakaat pertama. Yumna seperti mendengar suara seseorang yang menjerit keras, ditelinganya. Namun diabaikan."Allahu Akbar!"Tiba-tiba ....Bruaaakkk!Pintu kamar Mariana telah terbuka lebar. Tampak Naning telah berdiri di ambang pintu dengan muka yang berusngut-sungut. Tanpa banyak bicara. Naning menarik sajadah Yumna, dan melempar ke luar jendela.Serta dia mendo
"Setiap tahun. Pasti ada buruhnya yang meninggal. Setahun butuh tumbal dua orang.""Haaaaa?!"Yumna terbelalak. Apa yang ada dalam pikirannya menjadi kenyataan."Ja-jadi, Mbak Nnaing pesugihan?""Kata orang-orang seperti itu, Mbak. Makanya dia bisa kaya. Suaminya pun kita enggak pernah tahu yang mana. Karena ngakunya sudah bersuami.""Haaaaa ...!"Yumana semakin terperanjat dengan cerita ini."Yang kasihan itu, anak gadisnya. Kayak enggak boleh main keluar. Dia selalu berdiri termenung di depan jendela atas. Sebelumnya, gadis itu enggak pernah melakukannya. Sekitar beberapa bulan terakhir ini aja. Seperti orang tertekan.""Marianaaa!" desis Yumna.Kesedihan dalam hatinya tak mampu terbendung lagi."Sampean tahu, bagaimana cara dia memberi umpan pada tumbalnya?"Yumna menggeleng."Dia selalu suka memberikan makanan pada beberapa orang. Kalau istilah orang sini itu mbesang. Atau memberi umpan."
Tubuh Yumna sampai terhuyung ke belakang. Dia meringis kesakitan. Sembari memegang pipi yang memerah bekas tamparan.Di saat yang bersamaan. Saat tangan Mariman melayang pada wajah Yumna. Mariyati berteriak kencang."Bapaaaak!"Sedangkan Yumna masih sibuk dengan pikirannya sendiri.'Dari mana dia tahu? Apa Mbak Naning yang memberikan kabar padanya?'"Kau masih saja mau mengelak Yum?" bentak Mariman.Yumna hanya mampu membalas pandangan lelaki yang terlihat marah besar padanya. Tanpa Yumna ingin mengucapkan sepatah kata. Walau hanya mengerang. Dia ingin menunjukkan pada Mariman bahwa dirinya tak takut sama sekali."Sepertinya kau benar-benar ingin menantang aku!"Saat Mariman ingin melayangkan tamparan yang kedua. Mariyati sudah berlari ke arah. Dia memeluk sang Bapak, dengan terus berteriak."Pak! Aku mohon jangan memukul Mbak Yum lagi. Kalau Bapak ingin mukul, nih pipi aku. Bapak bisa tampar sepuasnya!" sergah
"Hilang?" ulang Mariyati."Iya. Kamu bisa lihat kembang yang tadi ada di sini, tiba-tiba hilang. Aneh kan?""Bener, Mbak. Kembang-kembang yang tadi enggak ada di sini," bisik Mariyati.Yumna segera menarik tangan Mariyati, agar segera meninggalkan tempat itu."Ayo cepetan ambil makanan yang ada di meja!" seru Yumna.Mereka hanya membawa mangkok, sendok, air putih, termos dan beberapa mis instan. Buru-buru pergi ke kamar."Kamu seharian apa enggak makan?""Enggak, Mbak.""Enggak beli juga?"Mariyati menggeleng."Hemmm, kamu sama kayak Mariana. Sukanya hanya di kamar aja."Tampak Yumna mulai merebus menggunakan heating. Hanya itu yang bisa mereka lakukan. Baik Yumna atau Mariyati tak mau berurusan dengan sosok makhluk penghuni kamar."Mbak, kok bisa kembang tadi menghilang ya?""Entahlah, Mar. Ada satu hal yang bikin aku bingung."Kali ini, Mariyati menghentikan
"Sejak aku dari rumah Naning. Jadi, sakit-sakitan. Mariyati juga sangat khawatir sama aku.""Memangnya Mbok Yumna, kenapa? Apa karena suguhan yang diberikan Bu Naning itu, Mbok?" Kali ini, Raisa langsung mengeluarkan semua tanya yang sedari tadi dia simpan."Iya, Nak. Aku ternyata menjadi target tumbal dia. Dia memakai pesugihan juga.""Tapi, dari mana Mbok Yumna, bisa tau?" tanya Delon penasaran.Tanpa menjawab. Wanita tua itu, beranjak dari tempat dia duduk. Berjalan menuju kamar.Delon, Raisa dan Hamaz saling berpandangan. Merasa aneh, kenapa dia langsung menuju kamar."Mungkin ada yang ingin dia tunjukkan sama kita.""Iya, Mas. Aku sepemikiran denagn Mas Hamaz," cetus Raisa.Tak lama wanita itu, telah kembali duduk bersama mereka. Meletakkan sesuatu di atas meja. Seperti sebuah surat."Surat?" Hampir bersamaan Delon, Raisa, dan Hamaz mengucapkannya."Iya. Kalian baca. Sambil aku menceritakan bagaimana aku bisa
"Haaahhh? Ja-jadi, aku emang dijadikan tumbal sama Naning? Dan, dia menikah sama Bapak? Tapi, kapan?" Yumna semakin terperanjat saat membaca surat itu. Buru-buru dia memasukkan ke dalam tas kecilnya. "Aku harus segera pergi dari rumah ini!" Sebelum dia pergi. Yumna sempat menuliskan surat. Untuk Mariyati. * Mariyati, kalau kamu membaca surat ini. Berarti aku sudah pergi jauh. Aku mencari seseorang yang bisa melenyapkan tumbal yang ditujukan buat aku, Mar. Jaga diri kalian baik-baik. Sampai kapan pun aku sangat menyayangi kalian. _Yumna_ * Kemudian, wanita itu melipat kertas dan meletakkan di atas bantal. Sengaja Yumna membawa surat dari Mariana. sebagai kenang-kenangan untuknya. Di dalam tas masih tersisa sedikit uang, bekas perjalanan kemarin. Yumna pun nekat untuk pergi. Tanpa menunggu Mariyati datang. Namun entah mengapa perasaannya begitu berat pada Mariana, dari pada Mariyati. Dia sendiri tak tahu a
"Mana bisa? seharusnya dengan kematian Mariana, pesugihan itu sudah berhenti. Karena anak-anaknya tidak mau melanjutkan semuanya.""Tapi, Mbok Yumna. Kenyataan yang ada, pesugihan itu masih memburu tumbal. Membunuh orang-orang yang lewat depan rumah itu. Dan sekarang, Raisa," jelas Hamaz."Ke-kenapa dengan dia?" tanya Mbok Yumna terkejut.Mbok Yumna sangat terkejut dengan penjelasan dari Hamaz.“Apa Mbok Yumna enggak pernah dengar, setelah kematian Bu Sapto. Kematian itu masih saja terus muncul. Termasuk para pemandi jenazah Bu Sapto. Dan, Raisa!”“Dia? Pemandi jenazah Bu Sapto?”“Iya, Mbok. Dan sudah tiga orang pemandi yang sudah meninggal. Serta seorang tetangga yang sangat dekat sama Raisa. Semua kematian mereka berhubungan dengan Bu Sapto ini, Mbok.”Mendengar semua itu. Yumna semakin terperanjat. Dia mengira semua sudah usai karena sudah tak ada lagi penerus ilmu pesugihan itu. Maka ilmu it
"Hayoo, masuk akal enggak itu. Yang melihat ini enggak satu dua orang. Banyak orang.Hanya saja dengan meninggalnya Mariman, beberapa warga merasa lega. Karena sudah tak ada warga desa mereka yang melakukan pesugihan. Namun, mereka salah besar!""Ternyata Mariana melanjutkan jalannya pesugihan itu lagi, Mbok?" sahut Hamaz."Iya, dengan syarat baru untuk tumbalnya. Kalau Bapak, dia menumbalkan dirinya sendiri dan orang yang yang menentang dirinya. Termasuk Ibu, biarpun sebenarnya bukan murni dari Bapak," ucapnya seraya tertunduk."Pasti dari makhluk itu!" tegas Raisa."Kamu benar, Nak.""Ja-jadi, termasuk mengambil sebagian anggota badan korban?" tanya Delon melotot.Yumna menggeleng."Aku tidak tahu kalau soal itu. Sepertinya kalian yang lebih tahu.""Kami pun sebenarnya tidak tahu, Mbok Yumna. Hanya menebak saja. Karena di rumah itu penuh dengan toples yang berisi bagian badan korban. Ada Mata, kuku, rambut, kulit pipi,
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga