Assalamu'alaikum selamat siang🌷 Senang sekali melihat makin banyak view kisah Dahlia. Terimakasih ya dan terus dukung othor melanjutkan kisah ini dengan memberikan GEM agar buku ini berkesempatan mendapatkan slot promosi 💖😄
"Jujur, aku tak menyangka, kau bisa jadi kakak iparku. Sejak terakhir aku berikan tas itu, kenapa kita jarang sekali bicara?" Dareen menoleh ke arah tas selempang yang dia berikan, nampak tergeletak di atas nakas. "Itu ... karena tidak ada yang perlu dibahas," jawab Dahlia mencoba kembali menyuap makanannya. "Kenapa tidak ada? Banyak hal yang bisa kita bicarakan. Salah satunya dengan menceritakan padaku, betapa sulitnya kamu mencoba meraih hati Abangku." Dahlia langsung melepaskan sendoknya menatap Dareen dengan tajam. "Jaga batasanmu, Dareen. Ada hal yang tak perlu kita bahas. Aku sangat berterima kasih padamu. Tapi tolonglah, jangan campuri rumah tanggaku." "Aku tidak sedang mencampuri. Aku sedang mengajakmu berdiskusi. Bagaimana jika kita menikmati hari bersama karena mungkin beberapa bulan lagi semua akan lebih sulit."
"Aku sudah terbiasa hidup menderita, Dareen. Jadi jangan khawatirkan aku. Akan sangat lucu, kalau aku dicerai Abangmu terus kamu menyambutku.""Aku tak masalah. Kamu spesies unik. Aku tertarik," ujar Dareen santai.Dahlia hanya tersenyum simpul, itupun tanpa menatap adik iparnya."Mungkin kita tak akan bisa bicara banyak. Intinya, jangan pernah merasa sendiri. Aku di belakangmu meskipun tertutup bayangan orang lain. Yakinlah, aku ada. Percayalah, Dahlia."Suara Dareen terdengar bergetar. Pemuda itu bisa merasakan darahnya berdesir hingga membuat kulitnya tiba-tiba terasa hangat. Dengan cepat, ia mengambil meja makan Dahlia lalu meletakkannya di atas nakas."Aku tinggal. Istirahatlah. Sumpek di sini. Aku mau rokok."Hentakan kaki Dareen yang menjauh membuat Dahlia sedikit lega."Benar sabda Nabi, ipar adalah maut,"
"Gimana keadaanmu? Jangan bergerak banyak-banyak. Istirahatlah," ujar Hadi Pratama pada Dahlia."Aku 100% baik setelah melihat Papa segar bugar begini!" seru Dahlia yang disambut decakan sinis dari ibu mertuanya.Dahlia tak peduli. Ia senang ketika ayah mertuanya tersenyum untuknya. Tiba-tiba Romlah mendekat."Neng ... syukurlah, Neng Dahlia sudah sehat. Oh ya, adek bayinya di kamarnya Neng.""Alhamdulillah. Terimakasih ya Mbok sudah banyak membantuku."(Suara deringan hp)Romlah yang baru saja menyalami Marni langsung menghambur meraih ponsel tuannya yang tak jauh dari posisi mereka. Ia lalu memberikannya pada Hadi."Masalah apa?! Baik. Aku akan ke kantor sekarang," ujar Hadi Pratama."Ikut Papa ke kantor, Dit. Sekarang.""Dua jam lagi mau maghrib, Pa," timpal
Tak ada satu kata pun dari mulut Dahlia yang bisa terucap. Aditya dipecat dari perusahaannya sendiri dan harus jauh dari keluarga karena dirinya?"Baik, Pa. Aku akan merima semua hukumanku. Aku adalah Aditya anak Nyonya Sarah. Pantang bagiku mundur dan mengelak," ucap Aditya penuh ketegasan. "Tapi ... ini semua terlalu cepat, Bang! Kita harusnya mencari solusi. Ayolah, Pa! Jangan begini. Ada cara lain selain ini," bujuk Dareen yang berdiri di atara ayah dan abangnya. Hadi menoleh pada anak bungsunya. "Tak bisa, Dareen. Jangan sampai Aditya bertemu dengan wartawan dan makin melebar dan lama urusan ini. Kita harus menjaga Central Glori jangan sampai goyah sedikitpun! Ini merembet urusannya, Dareen. Kamu tak paham!"Indri yang sedari tadi hanya duduk dan menonton semua adegan di depannya kini berdiri. Wanita itu melipat tangannya di pinggang dan berjalan berlenggak-lenggok mendekati suaminya. "Keputusan yang kamu ambil ini sudah tepat Pa. Aditya memang harus mempertanggungjawabkan sem
Marni hanya bisa terus mengelus kepala anaknya. Hatinya makin sakit, anaknya menderita karena dia tak bisa memberikan hidup yang layak pada Dahlia. "Kami sekarang sedang dipermalukan bersama, Bu. Media sosial mengumpat kami. Apa yang salah, Bu?!""Bagaimana maksudnya, Dahlia? Ibu tidak mengerti ucapanmu. Kenapa baru sekarang masalah ini muncul? Setelah sekian bulan.""Seseorang memasukkan kisahku ke media sosial, Bu. Namun menfitnahku sebagai pelakor. Mereka membandingkanku dengan Belinda. Semua keburukan saat ini ada padaku, Bu. Itu yang menyebabkan suamiku harus menjauh dari kantornya bahkan keluarganya sendiri. Semua itu mengancam perusahaannya hanya karena dia menikahiku yang begitu hina ini," tutur Dahlia terisak. Marni terbungkam. Meski tak sepenuhnya dia paham. Tapi ia mengerti, ini pastilah masalah yang sangat rumit. "Ibu ....""Sudahlah Bu. Kita tak punya waktu. Ibu dan Nadia juga harus siap-siap."Dahlia menyela ucapan ibunya lalu kembali memasukkan pakaiannya. Meski air m
Dareen menatap ibunya tak berkedip. Indri yang merasa sedang diselidiki oleh anaknya berusaha melepaskan diri. Namun sayang, Semakin dia mencoba memberontak diri semakin kencang Dareen mencengkram bahunya.“Katakan, Ma, apa Mama punya andil dalam kasus ini?”Indri menggeleng berkali-kali.“Ayo,Ma! Jawab aku! Mama yang di balik ini semua?”“Kamu kenapa sih, Dareen? Mama itu Cuma mau peringati kamu saja. Intinya jangan ikut campur. Apa susahnya sih kamu nurut sama ibumu ini?!”Dareen melonggarkan pegangannya pada bahu ibunya. Indri langsung menjauh dari anaknya. Diusapnya perlahan bahunya karena terasa pegal."Aku ingin, Mama jujur. Itu lebih baik daripada aku tahu belakangan apalagi dari orang lain. Aku punya banyak kenalan anak IT dan hacker. Kalau sampai aku tahu sendiri, aku gakkan peduli. Meskipun itu Mama, aku akan membua
Suara itu semakin tegas dan jelas. Belinda yang merasa dipanggil makin gemetaran. Sampai-sampai dia sudah lupa kepalanya sudah benjol sebesar bola kasti."Kamu pinjam duit online ya, Bel?! Mungkin mereka debt collector!" seru Yuni."Gak, Ma! Masak ada debt collector nagih tengah malam begini.""Sudah. Sudah. Papa akan keluar. Kalian diam di sini."Sebagai kepala keluarga, Imron memberanikan dirinya. Meski lututnya sudah meleyot, Imron terus saja melangkah. Yuni dan Belinda memperhatikan dari balik pintu kamar."Si-si-siaaapa di luar? Untuk apa datang tengah malam begini?!""Aku Dareen dan temanku, Brayen!"Seketika Belinda dan Yuni langsung saling pandang."Dareen
Dahlia bergegas keluar. Melihat suaminya sedang makan, sekuat tenaga dia menahan dirinya untuk tidak bicara dulu. Bahkan bergerak sedikitpun ia tak berani. Dahlia bergeming bagai patung di depan kamarnya sembari memperhatikan mulut suaminya yang sedang mengunyah. Nampak Aditya begitu lahap. Karena kegentingan semalam, tak ada yang makan malam meskipun makanan sudah tersaji. "Kamu ngapain berdiri kayak manekin di situ?" tanya Aditya masih mengunyah. "Nungguin kamu makan, Mas," jawab Dahlia mendekat pelan. "Ada apa? Ngomong aja." Dahlia menegak salivanya. Meski jantungnya berdegub harap-harap cemas, gadis itu membulatkan tekad. "Mas, aku punya jawaban atas pertanyaan yang semalaman kita cari di otak kita masing-masing," ujar Dahlia menahan gugup. "Apa maksudmu?" "Tentang vidio itu. Kita bisa membuat balasan, Mas. Perang opini. Sejenis klarifikasi." Aditya meraih gelas mineral lalu menghabiskan airnya dengan cepat. Ia mengusap mulutnya dengan ujung baju kaosnya sendiri. "Kam
Yuni pias luar biasa. Dingin dan gemetar tangannya saat mencoba menghubungi nomor Belinda."Bu! Apaan sih?! Dari tadi ribut terus!" bentak salah seorang gadis yang merasa kesal karena Yuni menghalangi jalannya."Ma-maaf," ucap Yuni bahkan tak menatap lawan bicaranya. Biasanya ia takkan pernah terima dibentak begitu, apalagi oleh bocah ingusan di matanya. Namun kali ini, rasa takutnya melebihi egonya."Jangan bilang kamu kabur dan memilih melahirkan anak itu, Bel," lirih Yuni berlari kecil menuju parkiran.Ia langsung melesat pulang, berharap anaknya sudah di rumah. Namun nihil, Belinda tak ditemukan. Yuni menghubungi suaminya untuk pulang dari kantor. Sayang, bukan rangkulan penenang yang dia dapatkan tapi kemurkaan suaminya."Kalau sampai Belinda tak pulang, kamu ha
"Tidak, Dahlia! Janin itu harus digugurkan!" seru Yuni memberang."Kita tidak tahu masa depan seseorang, Bu Yuni. Siapa yang tahu, janin itu kelak akan menjadi laki-laki atau perempuan yang berguna?!""Omong kosong! Aku tetap tak akan mau memiliki cucu haram, Dahlia! Jangan mentang-mentang kamu sekarang punya kekuasan, kamu mempengaruhi anakku!"Dahlia masih berdiri. Ia sama sekali tak diminta duduk apalagi disuguhkan apa pun meskipun dia datang sebagai tamu. Sepulang dari rumah sakit, Dahlia memutuskan ikut dengan mobil Belinda sedangkan Aditya memilih kembali le kantor. Sepanjang jalan laki-laki itu menggerutu karena keputusan istrinya yang di luar logikanya."Aku hanya tak rela, ada janin yang dibunuh, Bu. Bahkan saat ini, detak jantungnya begitu terdengar luar biasa," ucap Dahlia mencoba meyakinkan."T*i kucing!" umpat Yuni makin meradang dan menuju kamar an
Seolah abai, Dahlia meraih tas selempangnya dan sudah siap dengan tampilannya. Ia memilih tak ingin menanggapi ucapan suaminya. Ia memiliki rencana untuk sedikit menggoyahkan hati seorang ibu."Mari, Bel! Kita ke dokter kandungan bersama. Ikut mobil kami!" seru Dahlia membuka pintu yang ia sendiri kunci."Menyesal aku ke sini," ketus Belinda mengikuti langkahnya.Tak punya pilihan, Aditya menyetir dengan membawa dua wanita hamil. Satu istrinya, satu mantannya. Bahkan ketika mereka sampai di poli kandungan, Aditya begitu amat canggung karena kedua wanita itu mendapatkan buku pink secara bersamaan dan semua mata memandangnya aneh.'Sial, pasti mereka mengira aku memiliki dua istri' rutuk hati Aditya.Nama Dahlia lebih dulu dipanggil untuk masuk. Aditya mengikuti istrinya ke dalam dan bertemu dokter kandungan."Selamat ya, kandungan
"Ke-kenapa kamu harus gugurkan?!" Dahlia seolah kehilangan akal. Sebagai seorang wanita yang pernah kehilangan janinnya, setidaknya ia merasa, tindakan Belinda itu akan menjadi sangat kejam. "Ya karena dia bukan anak dari laki-laki yang kumau. Dia anak dari kakek-kakek tua bangka, seorang napi!" Dahlia langsung mendekati Belinda. Ia meraih lengan wanita itu dengan tatapan tajam. "Janin itu tak berdosa, Bel!" "Aku tak peduli." "Umurnya pasti sudah dua bulan bahkan lebih!" sambut Dahlia nanar. "Ya. Ayahku mencegahku, tapi ibuku mendukungku. Aku sudah muak." Belinda melepaskan tangannya dari genggaman Dahlia. "Lepas. Aku datang bukan untuk meminta persetujuanmu, Dahlia. Kamu ... ada saat kejadian itu, jadi aku merasa, kamu harus tahu." Dahlia menggeleng keras. Ia tak mungkin membiarkan seorang janin diaborsi. "Kalau kamu benar-benar sudah berubah menjadi pribadi yang baik, please, jangan tambah dosamu lagi!" "Kamu enak ngomong dosa, kamu kira sejak kejadian itu, aku bisa
"Maafkan kami, Pak Hadi. Maafkan kami. Kami sangat menyesal," ucap Imron dengan suara bergetar.Sedari awal ia tak memiliki masalah dengan Aditya, Yuni lah yang memiliki kriteria khusus. Namun sebagai suami, Imron pasang badan untuk melindungi istrinya."Tak masalah. Aku justru berterima kasih karena sudah memperkerjakan Dahlia di rumah kalian sehingga anakku bisa bertemu dengannya."Imron dan Yuni kompak dia kehabisan kata. Rasa malu seperti sedang membenamkan mereka ke dasar bumi."Untuk apa kalian ke sini?""Kami, kami ingin mengucapkan te-terimakasih, Pak. Berkat dukungan pengacara-pengacara hebat dari Bapak, Mandala mendapatkan hukuman yang setimpal meski kehormatan anak kami tak bisa kembali," jawab Imron terbata karena gugup."Aku tidak melakukan apa pun untuk anak kalian. Aku melakukan semua itu karena menantuku."
Masih di rumah sakit. Aditya menarik tangan Dareen agar menjauh dari ayah mereka yang sekarang duduk di dekat Dahlia yang masih dipasangi infus. Wanita itu masih perlu infus nutrisi agar kondisi tubuhnya kembali stabil."Kenapa kamu mesti bawa Papa ke sini? Paling nanti sore Dahlia dikasih pulang," ujar Aditya mencubit lengan adiknya."Apa sih, Bang! Masih sakit badanku ini! Harusnya aku juga dirawat di sini!"Aditya menciut setelah dihardik balik oleh adiknya. Ia melipat alisnya seolah meminta penjelasan."Papa yang maksa mau ke sini. Lagi pula, dia seperti kesurupan gatot kaca karena menjadi benar-benar pulih saat mendengar menantunya dirawat di sini," cerita Dareen dengan nada menggerutu."Papa benar-benar menyayangi Dahlia. Aku tak menyangka, semua ini berjalan sangat cepat. Kasih sayang tulus Dahlia telah meruntuhkan batu karang ego seorang Hadi Prata
"Katakan lagi. Aku ingin mendengarnya sekarang," ucap Aditya berkaca-kaca."Aku mencintaimu, Mas. Tak peduli siapa kamu. Apakah kamu CEO atau laki-laki biasa, aku tetap mencintaimu."Tubuh Dahlia kembali direngkuh Aditya. Dibiarkannya wanita itu mendengar detak jantungnya yang berdebar-debar."Kamu dengar, Dek?! Sekarang, setiap detakannya untuk mencintaimu. Selamanya.""Ehheeem!"Refleks Dahlia dan Aditya berlepas diri mendengar suara deheman. Seolah abai dengan apa yang dilihat dan didengarnya, Dareen menyerahkan kunci mobil pada abangnya."Hati-hati. Aku akan di sini menunggu petugas kepolisian."Dengan cepat, Dareen meninggalkan Aditya dan berpura-pura menjauh dari keduanya. Hatinya seperti ada yang meremas hebat. Cemburu? Mungkin itu kata yang paling tepat. Namun di dasar hatinya, ia bahagia, kakaknya sudah mengatak
Mandala mencabut beberapa pecahan kaca yang menempel di otot-ototnya. Seolah kulitnya kebal setebal baja sehingga sekedar pecahan kaca bukan hal yang membuatnya gentar. Aditya mendekat. Dareen mengangguk samar memberi isyarat agar dia saja yang maju. "Kali ini, biarkan aku bertarung tanpa bantuanmu, Bang," lirih Dareen mendecih. Tak berpikir panjang, Mandala berlari cepat dan menyerang Dareen. Ia menendang sisi kiri Dareen. Pemuda itu bisa menangkisnya meskipun hampir tersungkur. Namun gerakan Mandala juga cepat. Ia kembali menendang pinggang Dareen, tidak hanya sekali tapi tiga kali tanpa jeda. Dareen berusaha menepis dan menghindar namun sayang, ia sempurna terjungkal karena Mandala luar biasa keras seperti bongkahan beton. "Kamu mungkin kekar, tapi denganku, kau bukan apa-apa, Bocah," ucap Mandala jumawa. Sama sekali Mandala tak terlihat sebagai pimpinan perusahaan besar yang berwibawa. Rupanya laki-laki itu memiliki topeng yang luar biasa menipu. Bahkan tak ada orang ya
Kedua bola mata Darien menangkap sosok laki-laki berwajah sangar tanpa baju duduk di atas kayu yang bulat panjang. Di belakang punggung laki-laki itu, ada tubuh laki-laki juga yang sedang merunduk tertutupi kayu."Ada dua orang laki-laki. Salah satunya terlihat aneh. Di malam sedingin ini, dia membuka baju seperti terengah-engah. Apa mereka pemotong kayu illegal? Karena ada potongan kayu besar di sana," gumam Dareen sendirian."Harusnya mereka bersembunyi jika mereka adalah pelaku ilegal. Bisa jadi mereka mengira mobil ini, polisi hutan kan? Kau tau sendiri, jalur ini jarang dilewati kendaraan di malam hari," tambah Aditya terus melaju."Atau mereka begal? Kalau begal kenapa tak berusaha menghentikan kita?" gumam Dareen lagi."Sedang apa mereka? Selain yang duduk tadi, salah satunya sedang merunduk, memungut sesuatu? Atau ... menutupi sesuatu?!" lanjut Dareen mengalisis pemand