"Aku pulang, ya, Bu. Sekalian mau beli test pack seperti yang ibu minta. Kalau ibu butuh apa-apa sama Mbak Vina dulu aja atau bisa telepon Mbak Mirna. Aku udah minta tolong Mbak Mirna buat sesekali tengok ibu ke sini," pamitku pada ibu yang masih tiduran di ranjang. Ibu hanya mengangguk pelan. Aku dan Mas Feri sama-sama mencium punggung tangan ibu sembari berpamitan. Setelah itu melangkah ke teras rumah berdua. Mbak Vina masih sibuk menelepon entah siapa, sepertinya Bang Sony karena dia terlihat begitu murka. Ngomel-ngomel tak karuan."Ke apotek dulu ya, Mas. Kita beli test pack. Ya Allah entah gimana nanti kalau beneran hamil. Bayanginnya saja aku sudah mau nangis begini," ucapku pada Mas Feri sembari memasang seat belt. Mas Feri pun ikut berkaca-kaca menatapku beberapa saat lamanya."Memangnya kamu sudah telat haidnya, Rin?" tanya Mas Feri lirih. Dia kembali menoleh ke arahku lalu mulai menyalakan mesin mobilnya."Sudah sih, Mas. Sepuluh harian, tapi kadang juga telat kok tapi tetap
Pov : FeriKabar kehamilan Arin benar-benar membuat ibu berubah. Dia mulai perhatian pada Arin soal asupan makanan hariannya. Ibu pun sering mengingatkan Arin soal kesehatan dan istirahatnya. "Masih mual-mual, Rin?" tanyaku pada Arin yang baru ke luar dari kamar mandi. Dia terlihat begitu lemas. "Kalau nggak mau makan nasi, aku bikinkan susu aja gimana? Atau roti tawar selai kacang? Dipanggang aja mau?" Aku mulai cemas melihat Arin tak makan apa-apa dari pagi. Dia bolak-balik kamar mandi berulang kali. Bahkan air putih pun sering dia keluarkan lagi. "Mas, mau lah bikin roti panggang selai nanas aja, ya? Nggak usah banyak-banyak takut nggak abis, mubadzir. Lagipula kamu juga nggak suka selai nanas," pinta Arina kemudian. Aku pun mengangguk pelan. Kubaringkan Arina di atas ranjang lalu menyelimutinya setengah badan. Setelahnya aku keluar kamar, menuju dapur untuk membuatkan Arina roti panggang dengan selai nanas sesuai permintaannya. Aku sengaja hanya bikin dua roti panggang, kala
Pov : Arina"Rin, gimana kandunganmu? Sudah enakan atau masih sering mual?" Suara ibu terdengar begitu cemas dari seberang. Sejak tahu aku hamil, ibu mulai perhatian padaku. Berubah cukup drastis. Mungkin karena aku juga tulus merawat ibu saat dia stroke beberapa minggu lalu. Meski kini masih belum bisa menggerakkan sebagian anggota badannya, tapi kini ibu sudah mulai bisa duduk di kursi roda sendiri tanpa bantuan siapa pun. "Alhamdulillah sehat, Bu. Masih jalan sepuluh minggu, jadi masih ada mual-mual, Bu. Tapi ini aku paksa makan meski sedikit, yang penting susu sama vitamin masuk kok," balasku kemudian. "Alhamdulillah kalau begitu, Rin. Ibu khawatir kamu kenapa-kenapa aja soalnya beberapa hari ini nggak datang ke rumah." "Iya, maaf ya, Bu. Aku nggak enak badan beberapa hari ini. Jadi nggak bisa nemenin ibu di rumah. Tapi Mbak Vina mau nemenin ibu, kan?" tanyaku lagi. Ibu hanya menghembuskan napas panjang. "Vina ribut tiap hari sama Sony, sampai lupa kalau ibu dan anaknya juga
Pov : FeriAku sengaja memvideo minyak goreng yang berceceran di lantai dapur. Rencananya nanti akan kuperlihatkan pada Mas Feri agar dia lihat di cctv apa yang sebenarnya terjadi. Benar karena tumpah nggak disengaja atau karena ulah Mbak Vina yang memang tak pernah menginginkan aku berbadan dua. Aku sendiri tak paham bagaimana isi hati Mbak Vina. Iri atau memang benci. "Kamu kenapa, Rin? Ada apa di dapur kok ramai-ramai tadi?" tanya ibu yang masih berusaha duduk di atas kursi rodanya. Aku membantunya untuk duduk lalu mengajak ibu ke kamar Fian dan Fano. "Ada minyak tumpah di lantai dapur, Bu. Untung aku belum sampai sana, kalau sudah mungkin aku yang terpeleset. Fian sama Fano lari-larian, mereka yang jatuh tadi. Bahkan kepala Fian sampai kejedot tembok saking licinnya," ucapku. Ibu mendongak ke arahku sambil mengerutkan alisnya. "Minyak di lantai dapur? Kok bisa?" tanyanya heran. Aku pun hanya mengedikkan bahu. Rasanya sudah malas membahas itu, biar lah Mas Feri nanti yang menyel
Pov : Vina"Astaghfirullah, Fian ... tadi kamu demam. Sekarang malah muntah-muntah. Nggak bisa dibiarin ini. Mama antar ke klinik sekarang, ya?" ucapku begitu gugup saat melihat Fian muntah di lantai kamarnya.Aku mulai panik. Kulihat Arin berdiri di samping pintu kamar yang memang terbuka lebar. Entah mau apa dia di sana. Ah, aku tak peduli. Tiap kali melihat dia rasanya emosiku makin meninggi. Gara-gara dia juga kemarin aku mendapatkan omelan Feri. Aku buru-buru lari ke luar kamar, meninggalkan Arin begitu saja di samping pintu kamar Fano dan Fian. Dia terlihat kebingungan namun tak melayangkan pertanyaan apa pun. Diam membisu di ambang pintu tanpa pernah kutahu apa maunya perempuan itu."Fer! Feri! Gendong Fian, kita ke klinik sekarang!" Perintahku kemudian. Feri yang masih asyik nonton tivi di sofa pun buru-buru ke kamar dua ponakannya. Sementara aku buru-buru menata baju ganti kr dalam tas besar."Beneran demam, Rin." Lirih kudengar Feri berkomentar lalu menggendong Fian menuju
Pov : Vina "Asal kamu tahu, semua biaya Fian kemarin pun dari tabungan Arin karena Feri belum gajian."Ucapan ibu kemarin benar-benar membuatku kepikiran. Sebegitu peduli kah Arina padaku? Atau dia hanya sekadar cari perhatian ibu? Arina hanya ingin mencuri hati ibu dengan cara membuatku terlihat buruk di mata ibuku sendiri? Aku benar-benar tak mengerti apa dan bagaimana jalan pikiran Arina saat ini. Apa Arina merencanakan sesuatu yang buruk padaku karena ingin balas dendam atas tragedi minyak goreng waktu itu? Apa dia sudah mulai berubah dan setega itu pada kakak iparnya sendiri? Atau sebenarnya dia hanya kasihan pada Fian bukan bermaksud membantuku? Atau dia justru secara tak langsung menertawakan hidupku yang runyam? "Aaaaaaaaaaaaa Waaaaaaaa." Kepalaku benar-benar pusing dibuatnya. Aku takut jika Arina bersandiwara pura-pura baik di depanku padahal sedang merencanakan sesuatu yang akan membuat hidupku lebih hancur nantinya. Bagaimana ini? Bang Sony ... dia tak pernah mengangga
Pov : VinaSejak kejadian beberapa hari yang lalu, Arina memang cukup berubah. Dia hanya sesekali datang ke rumah ini. Seperti begitu ketakutan saat melihatku bahkan dia hanya menengok ibu di kamar, menyiapkan obat dan makanan yang dia pesan lalu balik lagi ke kontrakannya. Aku merasa agak aneh juga melihat sikap Arina seperti itu. Biasanya dia selalu peduli padaku dan anak-anakku. Tapi sekarang dia cukup cuek. Tak menengokku di kamar bahkan sekadar menyapa pun enggak. Entah lah, apa dia memang setrauma itu? Atau ucapannya waktu itu benar, jika dia tak akan lagi peduli padaku?Untuk bertanya atau tegur sapa jelas aku nggak sudi. Aku tak terbiasa mengalah apalagi sama Arina. Sejak dulu apa pun yang kuingin selalu dia turuti, malas sekali kalau sekarang aku harus mendekatinya atau berbasa-basi. Biar lah. Dia pergi itu jauh lebih baik karena tak ada lagi yang akan membuatku kesal apalagi cemburu. "Bu, nasi gorengnya siapa yang beli?" tanyaku pada ibu saat kulihat masih ada dua bungkus
Pov : VinaPonsel di atas meja berdering. Nama Bang Sony muncul di sana. Dengan gemetar kuusap layar dan menerima panggilan telepon darinya. Apa pun yang akan dia katakan nanti aku sudah siap menerimanya. Setelah kupikir matang-matang, harusnya aku tak mendorong pelakor itu sekuat tenaga. Ada janin tak berdosa dalam rahimnya. Gimana nanti kalau dia mati? Harusnya kugetok saja kepalanya biar sadar diri kalau pelakor di mana-mana tetap mur4h karena merebut kebahagiaan perempuan lain. "Hallo, Bang." "Kamu tahu, Vin. Siska sudah melahirkan secar dan Alhamdulillah anakku perempuan. Sehat dan cantik. Jadi usahamu untuk membuat Siska keguguran gagal total!" ucap Bang Sony begitu jumawa. "Syukurlah kalau dia nggak kenapa-kenapa," balasku singkat."Kenapa? Kamu kaget dan iri karena Siska bisa memberikanku anak perempuan sementara kamu nggak pernah bisa?""Cukup, Bang! Ingat, kamu yang memintaku steril tapi kenapa kamu seolah menyalahkanku karena nggak bisa kasih kamu anak lagi, ha? Jangan
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma
Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit
~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami
Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin
Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce
Pagi ini, aku dan Mas Feri siap-siap ke rumah ibu. Sengaja membawa beberapa potong baju, barang kali nanti tiba-tiba pengin nginep di sana. Mas Feri tampak lebih bersemangat menjalani hari-harinya setelah berhasil melewati prediksi dokter itu. Aku dan Mas Feri diantar Mang Edi ke rumah ibu. Beberapa hari belakangan kami memang tak main ke sana. Ibu dan Mbak Vina sepertinya juga cukup sibuk, jadi tak ada waktu luang untuk menjenguk Bian.Akhir-akhir ini Mas Feri juga sering ke resto untuk melihat perkembangan usaha baru kami itu. Usaha yang sudah menampakkan hasilnya. Di luar dugaan, semua seolah dimudahkan olehNya. Alhamdulillah. Keuntungan yang didapat tiap bulannya pun semakin bertambah. Aku selalu mendengarkan cerita-cerita Mas Feri tentang perkembangan resto kami setiap dia pulang kerja. Lelah yang selama ini selalu terlihat di wajahnya itu berganti dengan senyum dan semangat yang kian meningkat dari hari ke hari. Tak hanya soal duniawi, Mas Feri juga meningkatkan ibadahnya, se
Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Alvin akan menikah secepat ini. Bukan masalah iri, cemburu atau apa seperti yang dituduhkan Mas Feri, hanya saja selama ini Mas Alvin memang tak pernah cerita apapun soal rencana pernikahannya. Aku juga tak pernah tahu siapa teman dekatnya akhir-akhir ini. Wajar jika aku sangat kaget mendengar kabar bahagianya itu, kan?Mas Alvin memang jarang menceritakan tentang hidupnya. Dia agak tertutup sejak aku menikah dengan Mas Feri. Meski begitu dia masih sering menanyakan kabar keluarga kecilku, termasuk menanyakan soal perkembangan Bian. Namun lagi-lagi dia tak pernah cerita soal asmaranya, apalagi calon istri dan tanggal pernikahannya. Aku juga tak tahu kenapa dia menutupi kabar bahagia itu dariku, sementara pada Mas Feri dia justru cerita semuanya. Padahal dulu akulah yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.Ah ya, dulu. Kini aku pun maklum, dia begitu karena terlalu menghargai statusku. Mungkin karena tak ingin ada fitnah diantara aku dan dia makany
Waktu terus bergulir, Mas Feri sepertinya sudah bisa 'berteman' dengan sakitnya. Tak seperti bulan lalu yang masih sering menjerit sakit kepala tiba-tiba, tapi sekarang dia sudah bisa mengontrol diri saat sakit itu tiba-tiba datang menyerang. Entah mengapa, aku jarang melihat Mas Feri kesakitan. Atau dia memang sengaja menyembunyikan segala sakitnya, hanya demi terlihat baik-baik saja di depanku dan keluarga besarnya? Mas Feri sering izin ke resto untuk sekadar cuci mata. Aku pun mengizinkan asalkan dia janji banyak istirahat di sana. Ada ruangan khusus untuk Mas Feri melepas lelah. Sejak Mas Feri sakit, kami memang menyewa sopir untuk mengantar jemput dia saat ingin pergi ke sana-sini. Tak kuizinkan Mas Feri menyetir mobil sendirian. Penglihatan Mas Feri mulai kabur, kadang dia juga sering lemah. "Mas, gimana sakitmu? Sudah membaik atau ada keluhan lain yang mungkin bertambah sakit?" tanyaku lagi saat dia tampak begitu lelah saat pulang dari resto. "Alhamdulillah sudah mendinga