"Tadi siang bahas apa sama ibu dan Delima, Mas? Kamu beneran mau nikah siri sama mantan tunanganmu itu?" tanyaku sedikit serak saat menyiapkan makan malam. Mas Feri menghembuskan napas perlahan lalu menatapku beberapa saat lamanya. Dia pun mengulum senyum lalu menarik kursi ke belakang, memintaku untuk duduk di sampingnya. "Aku nggak mungkin mengecewakanmu lagi dan lagi, Arina. Percaya lah. Ibu memang memaksaku untuk menikahi Delima. Aku sudah menolaknya, tapi ibu minta sebuah perjanjian," ucap Mas Feri dengan wajah ditekuk. "Perjanjian, Mas? Perjanjian apa?" tanyaku kaget. Perjanjian apalagi coba? Ada-ada saja pakai acara perjanjian segala. "Ibu bilang, jika kamu tak setia maka aku harus mau menikahi Delima. Maafkan ibu, Arin. Ibu terlalu berambisi memiliki cucu, jadi sikapnya akhir-akhir ini makin tak menentu. Ah entahlah. Aku sudah berusaha menenangkan dan menjelaskan betapa setianya kamu, namun nyatanya sia-sia. Ibu masih tetap memintaku untuk menikah dengan Delima jika kamu k
Kamu Arina, kan?" tanya laki-laki di hadapanku itu lagi sembari mengingat-ingat. Senyumnya mengembang seketika saat melihatku menganggukkan kepala."MasyaAllah, Om. Nggak nyangka bisa ketemu di sini," ucapku dengan senyum lebar. Laki-laki bertubuh tinggi dan sedikit gemuk itu pun berbinar bahagia. Aku dan Om Hermawan memang sudah bertahun-tahun nggak ketemu sejak beliau dan keluarga kecilnya pindah ke luar negeri. Aku sendiri tak pernah menyangka jika akhirnya dipertemukan di sini, di kantor tempat Mas Feri bekerja. Sudah cukup lama Mas Feri bekerja di kantor ini, tapi entah mengapa baru kali ini aku bertemu dengan Om Hermawan.Ketiga orang di sampingku melirik sekilas, tampak begitu jelas di wajah mereka yang cukup kaget karena aku mengenal laki-laki yang kupastikan usianya lebih dari 60 tahun itu."Arina, ayo ke ruangan Om. Ada beberapa hal yang mau Om tanyakan sama kamu selama ini," ucap Om Hermawan lagi. Aku hanya sedikit membungkukkan badan lalu tersenyum tipis.Om Hermawan ada
Pov : Feri Meeting hari ini selesai sudah. Perkenalan dengan direktur baru terpaksa ditunda karena Pak Alfin belum siap ke kantor hari ini karena dia masih ada sedikit urusan. Kemungkinan besok Pak Alfin baru masuk kantor, memperkenalkan dirinya sebagai direktur baru pengganti papanya-- Pak Hermawan.Syukur lah, biar aku siapkan dulu berkas-berkas yang akan kulaporkan dan membutuhkan tandatangannya. Jadi besok saat meeting semua sudah siap tersedia. Ponselku berdering saat aku baru saja menyandarkan tubuh ke kursi kerja. Mbak Vina menelepon. Kulirik jam di tangan menunjuk angka sepuluh lebih lima belas menit. Tumben sekali dia menelepon jam-jam segini, biasanya dia cukup tahu waktu, menelepon saat jam makan siang atau sebelum jam masuk kantor. Entah apa yang akan ditanyakan atau dilaporkannya padaku. "Assalamu'alaikum, Fer. Kamu di mana?" tanya Mbak Vina sedikit gugup. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Aku di kantor lah jam segini. Kenapa, Mbak? Ada masalah dengan ibu? Tumben jam segini tel
Pov : ArinaHari ini adalah hari syukuran Mas Alvin. Sejak siang aku sudah mempersiapkan timlo, nasi dan risoles untuk acara itu, persis seperti yang diperintahkan Om Hermawan tempo hari. Acaranya berlangsung malam hari sebelum isya. Aku pun mengantar pesanan Om Hermawan dengan Mas Feri setelah salat ashar."Mas, kamu masih marah soal kemarin?" tanyaku singkat saat Mas Feri mulai memacu mobilnya ke jalanan beraspal yang mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan. Apalagi ini weekend, biasa digunakan para remaja untuk jalan-jalan."Soal apa?" tanya Mas Feri singkat, tanpa menoleh. Dia begitu fokus dengan laju mobilnya. Jika ada celah yang memungkinkan untuk menyalip, sebisa mungkin dia menyalip cukup cepat."Soal Mas Alvin lah, soal apalagi," balasku. Mas Feri menoleh sekilas lalu kembali menatap jalanan di depannya."Aku lebih percaya kamu sama penjelasan Mbak Mirna kok dibandingkan laporan Mbak Vina," ucap Mas Feri kemudian, membuatku cukup lega sekarang. "Syukurlah kalau percaya sam
Pov : Feri "Feri ... pulang cepat, Fer. Vina ngamuk ini. Ibu takut dia makin meledak-ledak. Tetangga sudah banyak yang datang pula," ucap ibu gugup dari seberang. "Memangnya ada apa sih, Bu? Acara Pak Hermawan belum selesai, Arina juga masih ada kewajiban buat nungguin tempat timlo dan nasinya," ucapku lagi. "Aduh itu urusan belakangan. Kakakmu lebih gawat ini, dia teriak-teriak begini. Sudah pokoknya cepat pulang. Si Sony bikin ulah, dia sudah punya bini baru dan Vina nggak sudi dimadu," ucap ibu lagi. "Pulang cepat, Fer. Jangan banyak tanya lagi, itu Si Sony malah lebih condong ke bini barunya" Ibu mematikan teleponnya tanpa salam sepertinya dia sangat gugup. Meski aku kesal dengan sikap Mbak Vina pada Arina beberapa bulan belakangan, tapi mau gimanapun dia tetap kakakku. Dan aku wajib untuk membantunya saat ini. Mengesampingkan ego yang belakangan ini selalu merajai benakku.Aku pun pamit pada Arina, meminta dia untuk tetap tinggal sampai acara selesai, nggak enak juga kalau k
Pov : Feri"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari pintu. Kujawab salam itu lirih. Arina masuk dengan senyum manisnya, menatapku beberapa saat lalu beralih ke arah ibu yang tiduran diranjang. Ibu hanya menatapnya sekilas lalu membuang muka. Aku yakin ibu masih kesal karena kejadian kemarin malam saat melihat Arina dengan Pak Alvin di mini market. "Ibu lihat kemarin malam kamu diantar laki-laki, Rin. Ngobrol sambil bercanda di depan mini market sebelum masuk perumahan kita. Bukannya prihatin atau khawatir mertuanya masuk rumah sakit, malah asyik ketawa-ketiwi sambil jajan," ucap ibu ketus saat Arina baru sampai kamar dengan membawa beberapa buah favorit ibu. Dia melirikku sekilas lalu menghela napas."Itu Pak Alvin, Bu. Atasannya Mas Feri yang kebetulan teman kecilku," balas Arina lirih sambil tersenyum tipis menatap wajah ibu yang menoleh keheranan."Maksudmu apa?" tanya ibu singkat masih dengan ekspresi tak bersahabat."Iya, Bu. Ternyata Mas Feri bekerja di kantor Om Hermawan. Bel
Pov : VinaAku tak paham kenapa Bang Sony tega menduakan aku. Aku yang sudah membersamainya selama delapan tahun belakangan, bahkan memberikannya dua orang putera yang tanpan. Aku pun benar-benar tak habis pikir, kenapa dia sampai berinisiatif untuk menikah lagi hanya karena begitu menginginkan seorang anak perempuan. Atau itu hanya sebuah alasan padahal aslinya dia memang sudah bosan?Aku heran, mengapa Bang Sony tak pernah ada rasa bersyukurnya. Padahal selama tinggal di rumah ini, aku selalu menerima berapapun uang yang dia berikan, karena memang sudah tak pusing membayar komtrakan tiap bulan. Aku juga jarang sekali protes soal gaji dari ngojeknya yang pas-pas an. Kupikir memang segitu lah penghasilan darinya, tak kusangka jika semua memang sudah dibagi dua. Iya, dibagi dengan istri keduanya."Siapa dia, Bang?" tanyaku kemarin saat Bang Sony pulang kerja bersama seorang perempuan dengan perut buncitnya. Bang Sony hanya menunduk, sembari mempersilakan perempuan itu duduk di sofa. S
Pov : Arina Perlahan kudorong kursi roda ibu menuju ambang pintu. Aku yakin ibu mendengar semua percakapan Delima dan Mbak Vina. Terlihat dari tatapan matanya yang begitu kaget saat melihat Delima-- calon menantu kesayangannya tengah terisak di sofa. Mas Feri melirikku sembari tersenyum tipis. Rencanaku dengannya sukses besar. Mbak Vina dan perempuan di sampingnya tak tahu jika aku memang datang lebih cepat, tak sesuai ucapan Mas Feri tadi pagi saat Mbak Vina menelepon tentang kepulangan ibu. "Jadi kamu nggak tulus mencintai Feri, Del?" tanya ibu lirih saat perlahan kudorong kursi roda menuju ruang tengah, tepat kedua perempuan itu berada dan saling curhat. Sepertinya kekagetan Delima dan Mbak Vina juga belum reda, bahkan setelah aku duduk di sofa tak jauh dari mereka yang mungkin hanya sekitar dua langkah saja. "Maksud ibu apa, sih?" tanya Mbak Vina lirih. Ibu menoleh cepat ke arahnya lalu menggelengkan kepala pelan."Kamu masih tanya kenapa, Vin? Delima berarti nggak tulus menc
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma
Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit
~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami
Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin
Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce
Pagi ini, aku dan Mas Feri siap-siap ke rumah ibu. Sengaja membawa beberapa potong baju, barang kali nanti tiba-tiba pengin nginep di sana. Mas Feri tampak lebih bersemangat menjalani hari-harinya setelah berhasil melewati prediksi dokter itu. Aku dan Mas Feri diantar Mang Edi ke rumah ibu. Beberapa hari belakangan kami memang tak main ke sana. Ibu dan Mbak Vina sepertinya juga cukup sibuk, jadi tak ada waktu luang untuk menjenguk Bian.Akhir-akhir ini Mas Feri juga sering ke resto untuk melihat perkembangan usaha baru kami itu. Usaha yang sudah menampakkan hasilnya. Di luar dugaan, semua seolah dimudahkan olehNya. Alhamdulillah. Keuntungan yang didapat tiap bulannya pun semakin bertambah. Aku selalu mendengarkan cerita-cerita Mas Feri tentang perkembangan resto kami setiap dia pulang kerja. Lelah yang selama ini selalu terlihat di wajahnya itu berganti dengan senyum dan semangat yang kian meningkat dari hari ke hari. Tak hanya soal duniawi, Mas Feri juga meningkatkan ibadahnya, se
Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Alvin akan menikah secepat ini. Bukan masalah iri, cemburu atau apa seperti yang dituduhkan Mas Feri, hanya saja selama ini Mas Alvin memang tak pernah cerita apapun soal rencana pernikahannya. Aku juga tak pernah tahu siapa teman dekatnya akhir-akhir ini. Wajar jika aku sangat kaget mendengar kabar bahagianya itu, kan?Mas Alvin memang jarang menceritakan tentang hidupnya. Dia agak tertutup sejak aku menikah dengan Mas Feri. Meski begitu dia masih sering menanyakan kabar keluarga kecilku, termasuk menanyakan soal perkembangan Bian. Namun lagi-lagi dia tak pernah cerita soal asmaranya, apalagi calon istri dan tanggal pernikahannya. Aku juga tak tahu kenapa dia menutupi kabar bahagia itu dariku, sementara pada Mas Feri dia justru cerita semuanya. Padahal dulu akulah yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.Ah ya, dulu. Kini aku pun maklum, dia begitu karena terlalu menghargai statusku. Mungkin karena tak ingin ada fitnah diantara aku dan dia makany
Waktu terus bergulir, Mas Feri sepertinya sudah bisa 'berteman' dengan sakitnya. Tak seperti bulan lalu yang masih sering menjerit sakit kepala tiba-tiba, tapi sekarang dia sudah bisa mengontrol diri saat sakit itu tiba-tiba datang menyerang. Entah mengapa, aku jarang melihat Mas Feri kesakitan. Atau dia memang sengaja menyembunyikan segala sakitnya, hanya demi terlihat baik-baik saja di depanku dan keluarga besarnya? Mas Feri sering izin ke resto untuk sekadar cuci mata. Aku pun mengizinkan asalkan dia janji banyak istirahat di sana. Ada ruangan khusus untuk Mas Feri melepas lelah. Sejak Mas Feri sakit, kami memang menyewa sopir untuk mengantar jemput dia saat ingin pergi ke sana-sini. Tak kuizinkan Mas Feri menyetir mobil sendirian. Penglihatan Mas Feri mulai kabur, kadang dia juga sering lemah. "Mas, gimana sakitmu? Sudah membaik atau ada keluhan lain yang mungkin bertambah sakit?" tanyaku lagi saat dia tampak begitu lelah saat pulang dari resto. "Alhamdulillah sudah mendinga