Tiga hari Mbak Vina dan anaknya di rumah ini cukup membuatku pusing kepala. Tapi tak apa lah karena kemarin mereka sudah pulang. Setidaknya hidupku kembali normal. Berjalan seperti biasanya meski masih saja mendengar sindiran dan omelan ibu. Tapi kini tak terlalu memperburuk moodku. Aku muali bisa menghadapi omelannya dengan caraku sendiri."Mas, tabungan kamu sebenarnya sudah ada berapa? Kalau sudah cukup, buat beli rumah saja dulu. Makin tahun properti makin naik, Mas. Rumah kan termasuk kebutuhan primer, jadi sebisa mungkin harus punya," ucapku pada Mas Feri yang masih sibuk dengan gadgetnya. "InsyaAllah tiga bulanan lagi sudah cukup lah, Rin. Nanti aku juga ajak kamu buat lihat-lihat rumahnya kalau dana sudah cukup," balas Mas Feri lagi, tanpa mengalihkan pandangannya ke arahku. "Mbak Vina kemarin bilang ke ibu soal kontrakan loh, Mas. Katanya mereka sudah telat dan terancam diusir."Mas Feri menoleh ke arahku dengan pandangan tak yakin. Aku hanya mengacungkan dua jari untuk mey
Makan malam saat ini cukup berbeda, karena keluarga ini sangat lengkap. Bahkan aku harus pindah ke ruang keluarga karena kehabisan kursi di ruang makan. Setelah selesai, piring berserakan begitu saja di atas meja. Mbak Vina tak ada inisiatif untuk membantuku mencuci piring padahal dia juga tahu kalau sore tadi aku sudah capek memasak menu untuk makan malam ini."Maaf ya, Mbak. Berhubung di rumah ini nggak ada pembantu, tiap makan tolong dicuci sekalian. Kalau misal nggak mau nyuci piring, mungkin baiknya beli daun pisang atau bungkus nasi saja deh," ucapku terang-terangan di depan ibu dan Mas Sony.Aku tak peduli lagi, sejak dulu selalu mengalah dan diam membuat Mbak Vina makin semena-mena bahkan seolah menganggapku sebagai babunya. "Apaan sih kamu, Rin. Tinggal nyuci piring aja pakai perhitungan segala," ucap Mbak Vina sewot. Dia mencibirkan bibirnya ke arahku. Tatapannya sinis, tak bersahabat sama sekali."Iya, Mbak. Bantuin Arin lah, kasihan dia udah capek seharian. Masak juga se
Adzan subuh telah berkumandang beberapa menit yang lalu. Rintik hujan mulai menyapa, membasahi bumi yang kerontang beberapa hari belakangan. Suasana masih cukup sunyi. Tak ada yang bangun kecuali aku di rumah ini. Mas Feri pun kembali merebahkan badannya di sofa ruang keluarga setelah pulang dari masjid. Hari ini aku tak berjualan di depan rumah, karena mendapatkan pesanan spesial dari Bu RT membuatkan timlo dan aneka gorengannya untuk arisan keluarga. Dengan semangat 45 aku pun mengiyakan. Aku sudah belanja ayam kampung, bihun, jamur kuping, wortel, telur dan lainnya untuk melengkapi isian timlo. Pagi ini tinggal eksekusi karena Bu RT akan mengambil jam delapan pagi. Selain membuat timlo, aku juga sekalian menggoreng risol, tempe mendoan, bakwan dan tahu isi sebagai camilan pendamping. Capek, itu pasti namun aku begitu menikmati dan mensyukuri apalagi tadi Mas Feri bilang akan membantu menggoreng jika semua sudah siap. Alhamdulillah dia sedikit mulai berubah, setidaknya tak lagi s
Hari yang melelahkan. Pasca salat dzuhur tadi aku memang langsung masuk kamar. Tak peduli ocehan Mbak Vina karena lauk di atas meja sudah dihabiskan kedua anaknya. Biar saja dia masak sendiri, aku sudah angkat tangan sejak kemarin. Terkadang, cuek dan masa bodoh itu memang diperlukan. Supaya hidup lebih damai dan tenang, tak terlalu banyak beban pikiran. "Vina! Goreng telur dong, ayam gorengnya abis sama Fano dan Fian. Nanti kalau Bang Sony mau makan nggak ada lauk apa-apa. Aku sama ibu masih sibuk ini!" teriak Mbak Vina tadi sebelum aku masuk kamar. Aku tak menjawab. Gegas kulihat ke kamar ibu, mereka masih asyik nonton drama Korea. Enak saja, aku yang disuruh nyiapin makan siang untuk Bang Sony sedangkan Mbak Vina malah enak-enakan tiduran. Memangnya aku istrinya? Kutinggalkan kamar ibu, buru-buru masuk ke kamarku dan mengunci pintu. Sempat kudengar lirih Mbak Vina ngedumel di dapur, karena aku tak mengerjakan apa yang dia perintahkan. "Dasar adik ipar perhitungan. Disuruh gore
"Arina! Ngapain kamu masuk kamarku, ha!" Mbak Vina terlihat begitu emosi. Dia mendorongku sangat kasar hingga terbentur tembok. "Kamu mau selingkuh dengan kakak iparmu sendiri? Dasar perempuan munafik, kelihatannya saja alim padahal murahan!" sentaknya lagi membuatku semakin nyeri.Hatiku meradang mendengar umpatan Mbak Vina. Sudah terlalu sering aku mendengar caciannya tapi nggak sesadis ini. Kudorong balik bahunya hingga terjengkang. Tak peduli kedua matanya mendelik menatapku bahkan ibu berteriak histeris saat melihatku berani melawan. "Kamu yang tak tahu diri. Sudah menyuruhku menjaga dua anakmu di rumah ini sedangkan kamu enak-enakan selfie, bikin status alay di whats*pp dan shopping entah ke mana eh sekarang malah nyebut aku mur4h4n, Mbak? Siapa yang kurang 4j4r? Aku atau kamu!" bentakku kemudian. Dari dulu aku memang tak tinggal diam jika ada yang menyebutku murahan. Almarhum ibu selalu mengajariku tentang norma dan agama, aku pun berusaha mematuhinya. Menutup rapat tubuh i
Pagi-pagi sekali aku mulai sibuk di dapur. Membuat timlo untuk pesanan Bu Ambar-- guru honorer yang kini sudah diangkat menjadi PNS. Dia berniat untuk syukuran kecil-kecilan di rumahnya. Jam sepuluh nanti pesanan akan diambilnya. Mas Feri sibuk membantu menggoreng tahu isi dan risol. Beruntung hari ini weekend jadi dia bisa membantuku menyelesaikan pesanan ini. Sementara penghuni yang lain baru bangun beberapa menit lalu, termasuk ibu dan Mbak Vina. Mereka pergi ke luar ngerumpi dengan Bu Asma dan tetangga lainnya. "Arina ke mana, Bu? Sibuk bikin timlo?" tanya seorang ibu, terdengar lirih dari dapur. "Masak itu, buat pesanan Ibu Ambar, sekarang kan diangkat jadi PNS," ucap ibu. "Oh iya, Bu. Bu Ambar RT sebelah," ucap ibu yang lain entah siapa. "Mas Feri ke mana weekend begini, Bu? Masih istirahat, ya?" "Nggak lah, Bu. Dia lagi bantuin Arin goreng-goreng. Entah lah sudah kubilang pamali laki-laki main di dapur, tapi nggak peduli. Dia tetap bantuin istrinya," ucap ibu terdengar be
Jam di dinding berdenting tujuh kali. Setelah membelikan sarapan untuk Mas Feri dan aku sendiri, gegas kubuatkan teh hangat. Sementara di atas meja belum terhidang apa-apa. Sepertinya ibu masih ke pasar untuk berbelanja. Sejak kuserahkan uang belanja pada Ibu dan menolak untuk memasak karena selalu dikomplen, aku memang jarang sekali makan di rumah. Bisa dihitung jari dalam seminggu. Lebih baik beli di warung tetangga atau pesan online. Tak peduli jika ibu dan Mbak Vina selalu menyindirku karena boros, toh semuanya pakai uangku sendiri hasil jualan, bukan minta jatah ibu maupun gaji Mas Feri. "Mana sarapan buat kita, Rin?" tanya Mbak Vina ketus saat melihatku duduk di kursi makan bersama Mas Feri. Aku dan Mas Feri memang saling diam sejak tadi, hanya terdengar suara sendok dan piring beradu lirih. Bukan karena kami sedang marah, tapi memang malas ngobrol saat sedang makan untuk lebih cepat beranjak dari ruang makan. Pagi ini aku dan Mas Feri ingin mencari kontrakan. "Kok nanya ak
Pov : Bang Sony "Bang, utang kita sudah banyak banget di warung Abah Han. Aku nggak berani utang lagi. Malu, Bang. Apalagi kalau banyak orang yang belanja, masak cuma aku yang utang? Si Abah juga sering banget ngomong kenceng total utangku, sengaja biar para pembeli pada dengar. Bukannya dapat yang kubutuhkan, yang ada kupingku panas karena gunjingan," ucap Vina saat aku tiduran di karpet ruang tengah kontrakanku sembari nonton acara tivi. "Utang juga nanti bayar, kan, Vin? Kenapa harus malu? Kita nggak merampok," balasku santai. Aku masih sangat pusing karena di PHK dua bulan belakangan tanpa pesangon karena pabrik memang gulung tikar. Masih cukup beruntung karena gaji terakhirku diberikan."Aku tahu, Bang. Memang dibayar tapi nggak tahu kapan. Padahal utang kita sudah satu jutaan. Belum buat bayar kontrakannya. Gimana ini, Bang? Aku benar-benar pusing apalagi saat ini nggak ada pegangan sama sekali," ucap Vina lagi semakin membuat kepalaku pusing tujuh keliling. "Pinjam tetangga,
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma
Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit
~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami
Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin
Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce
Pagi ini, aku dan Mas Feri siap-siap ke rumah ibu. Sengaja membawa beberapa potong baju, barang kali nanti tiba-tiba pengin nginep di sana. Mas Feri tampak lebih bersemangat menjalani hari-harinya setelah berhasil melewati prediksi dokter itu. Aku dan Mas Feri diantar Mang Edi ke rumah ibu. Beberapa hari belakangan kami memang tak main ke sana. Ibu dan Mbak Vina sepertinya juga cukup sibuk, jadi tak ada waktu luang untuk menjenguk Bian.Akhir-akhir ini Mas Feri juga sering ke resto untuk melihat perkembangan usaha baru kami itu. Usaha yang sudah menampakkan hasilnya. Di luar dugaan, semua seolah dimudahkan olehNya. Alhamdulillah. Keuntungan yang didapat tiap bulannya pun semakin bertambah. Aku selalu mendengarkan cerita-cerita Mas Feri tentang perkembangan resto kami setiap dia pulang kerja. Lelah yang selama ini selalu terlihat di wajahnya itu berganti dengan senyum dan semangat yang kian meningkat dari hari ke hari. Tak hanya soal duniawi, Mas Feri juga meningkatkan ibadahnya, se
Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Alvin akan menikah secepat ini. Bukan masalah iri, cemburu atau apa seperti yang dituduhkan Mas Feri, hanya saja selama ini Mas Alvin memang tak pernah cerita apapun soal rencana pernikahannya. Aku juga tak pernah tahu siapa teman dekatnya akhir-akhir ini. Wajar jika aku sangat kaget mendengar kabar bahagianya itu, kan?Mas Alvin memang jarang menceritakan tentang hidupnya. Dia agak tertutup sejak aku menikah dengan Mas Feri. Meski begitu dia masih sering menanyakan kabar keluarga kecilku, termasuk menanyakan soal perkembangan Bian. Namun lagi-lagi dia tak pernah cerita soal asmaranya, apalagi calon istri dan tanggal pernikahannya. Aku juga tak tahu kenapa dia menutupi kabar bahagia itu dariku, sementara pada Mas Feri dia justru cerita semuanya. Padahal dulu akulah yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.Ah ya, dulu. Kini aku pun maklum, dia begitu karena terlalu menghargai statusku. Mungkin karena tak ingin ada fitnah diantara aku dan dia makany
Waktu terus bergulir, Mas Feri sepertinya sudah bisa 'berteman' dengan sakitnya. Tak seperti bulan lalu yang masih sering menjerit sakit kepala tiba-tiba, tapi sekarang dia sudah bisa mengontrol diri saat sakit itu tiba-tiba datang menyerang. Entah mengapa, aku jarang melihat Mas Feri kesakitan. Atau dia memang sengaja menyembunyikan segala sakitnya, hanya demi terlihat baik-baik saja di depanku dan keluarga besarnya? Mas Feri sering izin ke resto untuk sekadar cuci mata. Aku pun mengizinkan asalkan dia janji banyak istirahat di sana. Ada ruangan khusus untuk Mas Feri melepas lelah. Sejak Mas Feri sakit, kami memang menyewa sopir untuk mengantar jemput dia saat ingin pergi ke sana-sini. Tak kuizinkan Mas Feri menyetir mobil sendirian. Penglihatan Mas Feri mulai kabur, kadang dia juga sering lemah. "Mas, gimana sakitmu? Sudah membaik atau ada keluhan lain yang mungkin bertambah sakit?" tanyaku lagi saat dia tampak begitu lelah saat pulang dari resto. "Alhamdulillah sudah mendinga