Sepulang dari kampus, Aulia langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan kesal. Tas kuliahnya dilemparkan ke atas tempat tidur, lalu ia duduk di kursi depan meja belajarnya. Pikiran gadis itu berkecamuk, membayangkan Shena yang semakin dekat dengan keluarga Ervan.Aulia menggenggam ponselnya erat-erat, membaca kembali unggahan Instagram Bu Rahayu. Wajah Shena yang tersenyum lembut di foto itu membuatnya semakin marah."Kenapa Mbak Shena setega itu? Apa aku harus jujur kalau Pak Ervan itu lebih cocok sama aku?" pikirnya sambil mengepalkan tangan hingga uratnya terlihat.Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk. Vidya melangkah masuk dengan santai, membawa secangkir teh di tangannya."Aulia, kok nggak makan dulu? Mukamu kok kelihatan kusut banget gitu, sih?" sindir Vidya sambil duduk di tepi tempat tidur Aulia."Aku nggak lapar," jawab Aulia dingin tanpa menoleh. "Biasakan ketuk pintu dulu kalau mau masuk ke kamar orang. Nggak sopan!"Vidya tersenyum sinis. "Hei
Setelah selesai berbicara dengan adiknya, Arya kembali ke kamarnya dengan langkah berat. Beberapa saat kemudian, Vidya muncul di hadapannya dengan senyum manis yang terlihat begitu dipaksakan."Mas, makan malamnya sudah siap. Aku masak menu kesukaanmu hari ini," ucap Vidya dengan nada lembut.Arya hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Vidya. Kamu sudah repot-repot masak buatku."Vidya menatap Arya dengan saksama, mencoba membaca pikirannya. "Mas, tadi ngobrol apa sih sama Aulia? Kok lama banget?"Arya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Nggak ada apa-apa. Cuma obrolan ringan saja."Vidya tersenyum kecil, meski hatinya penuh kecurigaan. "Oh, gitu. Aku kira ada sesuatu yang serius dan kamu rahasiakan dari aku."Arya tidak menjawab, hanya menatap manik cokelat istrinya dengan penuh tanda tanya.Di sisi lain, Aulia masih duduk di balkon kamarnya dengan senyum puas. Meski apa yang ia katakan tadi hanyalah karangan, ia merasa telah berhasil membuat Arya meragukan Vidya."Kalau Mas Arya
Arya memutuskan untuk mengikuti mobil itu lagi. Kali ini, mereka menuju sebuah restoran mewah di pusat kota. Arya memarkir mobilnya agak jauh, lalu masuk ke restoran yang sama setelah memastikan Shena dan Pak Bondan sudah mengambil tempat di sudut ruangan.Dengan hati-hati, Arya memilih meja yang cukup jauh, tapi masih bisa memantau gerak-gerik mereka. Ia memesan secangkir kopi untuk menghindari kecurigaan pelayan.Dari kejauhan, Arya melihat Shena dan Pak Bondan berbicara dengan santai. Sesekali, mereka tertawa kecil. Arya merasa dadanya semakin sesak."Apa ini cuma urusan kerjaan, atau lebih dari itu?" Arya bergumam, merasa geram dengan banyak pertanyaan yang menjejali pikirannya.Malam itu, Arya memutuskan untuk tidak mengikuti Shena sampai selesai. Ia kembali ke mobilnya, menggenggam setir dengan penuh rasa emosi yang bercampur aduk.***Keesokan paginya, Arya bangun dengan kepala berat. Tidur malamnya tidak nyenyak, dan pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang Shena dan Pak Bon
Shena menyilangkan kedua tangannya di dada, sorot matanya tajam menatap Arya dengan lekat. "Oh, jadi itu alasan kamu ngikutin aku? Karena kamu cemburu, Mas?""Bukan cuma itu!" Arya membalas dengan cepat, "aku juga tahu kamu ada di perusahaan Pak Bondan seharian penuh kemarin. Sampai malam. Kamu pikir aku nggak punya hak untuk curiga?"Shena menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun jelas terlihat ia merasa tersinggung. "Jadi ini masalahnya? Kamu ngikutin aku karena kamu berpikir aku selingkuh dengan Pak Bondan?"Arya terdiam, merasa sulit untuk membantah secara langsung. "Aku cuma mau tahu apa yang sebenarnya terjadi, Sayang. Aku nggak bisa berhenti memikirkan itu."Shena mendekat, jaraknya hanya beberapa langkah dari Arya. "Mas Arya, dengar baik-baik. Aku bekerja dengan Pak Bondan, itu benar. Kemarin kami di perusahaan sampai malam karena ada banyak yang harus diselesaikan untuk acara gala dinner. Dan makan malam di restoran itu? Itu cuma makan malam biasa setelah k
Setelah Shena keluar dari kafe, Arya segera bangkit dari tempat duduknya. Pria itu mengenakan kacamata hitam untuk menyembunyikan tatapan tajamnya, lalu melangkah keluar dengan langkah tergesa-gesa. Ia memastikan agar tidak terlalu dekat dengan Shena, tapi cukup untuk tetap bisa mengawasi istrinya dari belakang.Sementara itu, Aulia masih duduk di kafe tersebut, sesekali melirik ke arah Ervan yang tampak santai menyeruput kopinya. Pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda terburu-buru, dan ini membuat Aulia semakin penasaran. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk memberanikan diri menghampiri meja Ervan."Selamat siang, Pak," sapa Aulia dengan suara pelan, tapi cukup terdengar oleh Ervan.Ervan mendongak dan meletakkan cangkir kopinya di meja. Senyumnya tampak ramah seperti biasa."Oh, Aulia. Selamat siang. Ada apa? Mau gabung?" tanyanya, sambil menunjuk kursi kosong di depannya.Aulia sedikit ragu, tapi akhirnya duduk juga di kursi tersebut. "Saya kebetulan lihat Bapak di sini. Lag
"Aku akan mengikuti ke mana pun kamu pergi, Shena," gumam Arya, tangannya mencengkeram setir dengan kuat.Pria itu melajukan mobilnya secara perlahan, mengikuti kendaraan Shena dari kejauhan. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan mobil istrinya itu."Ke mana sebenarnya dia pergi?" gumam Arya pelan, jemarinya masih menggenggam setir dengan erat. Namun, setelah beberapa menit, Arya merasa bingung saat menyadari bahwa arah mobil Shena menuju rumah mereka."Kenapa dia pulang secepat ini?" pikir Arya, semakin penasaran.Begitu mobil Shena masuk ke garasi, Arya memarkir kendaraannya di ujung jalan untuk memastikan istrinya tidak menyadari bahwa ia mengikuti dari belakang. Beberapa menit kemudian, Arya mengendarai mobilnya masuk ke halaman rumah dengan ekspresi tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Shena yang baru saja keluar dari mobil menoleh ke arah Arya dengan alis berkerut."Kok kamu sudah pulang, Mas? Ini belum jam kerja selesai, kan?" tanya Shena dengan nada bicara yang datar, t
Arya hanya diam. Ia tidak menjawab, bahkan tidak mengangkat wajahnya untuk menatap Vidya. Pria itu tampak tenggelam dalam penyesalan, dan Vidya memanfaatkan momen itu untuk mengendalikan situasi."Mas," lanjut Vidya, kali ini suaranya terdengar sedikit lebih tegas, "aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kalian. Tapi ... kalau memang sudah seperti ini, mungkin memang sudah waktunya kamu melepaskan Mbak Shena."Arya menghela napas panjang, lalu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya memandang Vidya dengan tatapan kosong dan raut wajah yang datar. "Aku nggak tahu, Vid. Aku nggak mau kehilangan Shena. Aku harus gimana? Aku sangat mencintai dia."DEG!Bagai dihantam tombak, jantung Vidya seakan berhenti berdetak. Sakit. Vidya merasa sakit hati saat mendengar pernyataan Arya bahwa pria itu masih mencintai kakak madunya.Vidya tersenyum kecil, mencoba menampilkan empati palsu, karena sebenarnya ia ingin marah pada Arya karena tak mau berpisah dengan Shena. "Mas, mungkin ini saatny
Vidya membuka pintu dengan kasar, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, tangan Aulia langsung menariknya keluar dengan paksa."Apa-apaan, ini? Kamu gila, ya!" protes Vidya sambil berusaha melepaskan cengkeraman Aulia.Tapi, Aulia tak peduli. Ia menyeret Vidya hingga ke ruang tengah. Arya yang mendengar keributan itu segera berlari menghampiri, tapi Aulia lebih dulu berteriak."Kamu keluar dari rumah ini sekarang juga, Vidya!"Mendengar dirinya diusir, kedua bola mata Vidya terbelalak sempurna. "Kamu nggak punya hak buat usir aku, Lia! Aku ini istrinya Mas Arya. Jadi aku berhak tinggal di rumah ini. Seharusnya kamu yang aku usir!""Istri? Kamu berani bilang gitu? Heh, kamu itu pelakor! Perusak rumah tangga kakakku! Kalau bukan karena kamu, Mbak Shena nggak akan sampai mengajukan gugatan cerai!" Aulia menunjuk wajah Vidya dengan penuh amarah.Melihat adik dan istri mudanya bertengkar hebat, Arya segera menghampiri dan mencoba untuk melerai. "Lia, cukup! Jangan bikin keributan di rumah in
Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada
"Cuma apa?" potong Arya dengan cepat. "Cuma mau memastikan Arvi selalu ada di dekatmu, biar aku nggak punya kesempatan buat bawa dia ke rumah sakit?""Mas Arya!" Vidya terperanjat. "Aku cuma … aku cuma nggak mau ada masalah dalam rumah tangga kita! Aku takut semuanya hancur!"Arya tertawa pendek, penuh kepahitan. "Semuanya hancur? Kamu pikir aku nggak takut? Aku juga nggak mau rumah tangga ini berantakan, Vidya! Sudah cukup rumah tanggaku dengan Shena berantakan gara-gara kamu muncul dalam hidup aku. Aku juga nggak mau hidup dalam kebohongan!"Vidya terdiam. Ia ingin membela diri, tetapi hatinya dipenuhi ketakutan."Aku nggak minta banyak, Vid," lanjut Arya dengan suaranya yang lebih lirih, tapi tetap terdengar tegas. "Aku cuma mau kepastian. Kalau memang Arvi adalah anak kandungku, aku sangat bersyukur dan akan tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Tapi kalau ternyata bukan ...."Arya menatap istrinya dengan tajam. "Aku nggak tahu apa aku masih bisa bertahan dalam rumah tangga yang
"Aku setuju tes DNA dilakukan besok," ucap Arya akhirnya.Anna tersenyum tipis, akhirnya sang adik menyetujui. "Bagus kalau kamu sudah yakin.""Tapi, ada masalah," lanjut Arya dengan nada serius. "Aku nggak punya uang cukup buat tesnya, Mbak."Anna mengerutkan kening, menatap adiknya dengan penuh selidik. "Memangnya, kamu butuh berapa?""Aku belum cek biaya pastinya, Mbak. Tapi, tes DNA di rumah sakit itu pasti nggak murah," Arya mengusap tengkuknya dengan canggung. "Makanya aku mau minta bantuanmu, Mbak. Bisa nggak, aku pinjam uang dulu?"Anna menatap Arya lekat-lekat, memastikan apakah adiknya benar-benar serius. Ia tahu kondisi keuangan Arya memang sedang sulit. Sebagai sopir taksi online, penghasilannya pas-pasan, apalagi sekarang Vidya sudah tidak bekerja semenjak menikah dengan Arya."Aku nggak masalah bantuin kamu," jawab Anna akhirnya. "Tapi, kalau hasilnya nanti beneran nunjukin kalau Arvi bukan anak kamu, apa kamu berani ambil tindakan?"Mendengar itu, Arya terdiam. Pertanya
Setelah masuk ke dalam kamar, Vidya langsung mengunci pintunya rapat-rapat. Ia bahkan memastikan jendela juga terkunci. Ia tak mau ada seorang pun yang masuk atau mencoba mengambil sesuatu dari dalam kamar ini.Sementara itu, di luar kamar, Anna berdiri bersedekap dengan ekspresi dingin. Ia sudah menduga Vidya akan melakukan hal ini, mengurung diri bersama dengan bayinya. Namun, kali ini ia tidak akan tinggal diam.Anna menunggu di luar kamar dengan penuh kesabaran. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Vidya, mengamati apakah ada celah yang bisa dimanfaatkan.Ternyata, usahanya tidak sia-sia.Ketika sore mulai menjelang, Anna mendengar suara kunci kamar yang diputar. Ia segera berpura-pura sedang sibuk dengan ponselnya. Namun, ekor matanya tetap mengawasi.Vidya keluar dari kamar dengan wajah sedikit lelah, tetapi ekspresi tegang masih jelas terlihat di wajahnya.Anna memperhatikan dengan saksama."Kenapa dia keluar kamar?" pikirnya.Saat Vidya berjalan menuju kamar mandi, Anna memperh
Siang itu, suasana rumah masih terasa tegang. Vidya terus-terusan menempel pada Arvi, seolah tak ingin bayi itu lepas dari gendongannya. Bahkan, saat makan pun, ia tetap menggendong sang putra.Arya yang duduk di meja makan hanya bisa menatap istrinya dengan pandangan penuh tanya. Sejak pagi, Vidya tampak semakin aneh. Ia tidak membiarkan siapa pun menyentuh Arvi, bahkan Arya sendiri.Saat tangan Arya terulur ingin mengusap kepala bayinya, Vidya langsung memundurkan tubuhnya sedikit, menghindar tanpa terlihat mencolok."Kamu kenapa, Vid?" tanya Arya akhirnya, dengan suaranya yang datar, dan sorot matanya yang menatap tajam.Vidya tersentak, lalu terkekeh kecil. "Nggak kenapa-napa, Mas. Aku cuma lagi menikmati waktu sama Arvi."Arya mengangkat alis, merasa tidak percaya. "Bahkan aku aja nggak boleh gendong Arvi? Sejak kapan kamu kayak gini?"Vidya berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa dag-dig-dug. "Bukan gitu, Mas. Arvi kan masih kecil. Aku nggak mau dia rewel kalau digendong ora
Ia menunduk, menenangkan Arvi yang mulai menggeliat dalam gendongannya. Vidya pun menghela napas panjang."Sial," desisnya. "Aku nggak boleh panik, dan aku harus berpikir jernih."Jika benar Arya sudah mulai curiga, maka itu berarti ia harus mencari cara lain untuk mengendalikan keadaan. Mengandalkan Yudi jelas bukan pilihan. Pria itu terlalu bodoh untuk memahami situasi.Vidya menegakkan punggungnya, memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Matanya mulai mencari-cari seseorang di sekitar taman. Ia harus memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya.Tapi, tanpa Vidya sadari, seseorang masih berdiri di balik pohon besar, mengamati semua yang terjadi.Anna menggenggam ponselnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang. Ia sudah mendengar semuanya. Setiap kata yang keluar dari mulut Vidya dan Yudi telah ia rekam.Anna mengusap tengkuknya yang dingin. Apa yang baru saja ia dengar bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Fakta bahwa Arvi bukan anak kandung Arya adalah sebuah bom besar y
"Uang," jawab Yudi dengan singkat. "Gunakan ini buat jaga-jaga. Kalau Arya sampai kepikiran tes DNA, kamu tahu harus gimana, kan?"Vidya pun semakin gelisah. "Tapi ....""Jangan banyak tanya, Vidya," potong Yudi dengan tajam. "Ini buat kebaikan kita semua. Aku nggak mau ada masalah."Vidya menggigit bibirnya, lalu menerima amplop itu dengan rasa penasaran, berapa banyak uang yang ia terima.Ia segera membuka amplop yang baru saja diberikan Yudi. Dengan cepat, ia menarik isinya dan mulai menghitungnya di hadapan pria itu. Matanya menyipit saat melihat jumlahnya. Hanya sepuluh lembar uang seratus ribuan.Vidya mendengkus, lalu menatap Yudi dengan ekspresi tak percaya. "Serius? Kamu kasih aku uang cuma satu juta?"Yudi memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, ekspresinya tetap datar. "Memangnya kamu berharap berapa?"Vidya mendekatkan wajahnya, menurunkan suaranya agar tidak terdengar oleh siapa pun di sekitar mereka. "Kalau kamu pikir aku bisa nyogok dokter buat memalsukan hasil tes
Arya mendesah pelan, lalu menundukkan kepala. "Aku … nggak punya cukup uang buat itu, Mbak."Anna terdiam. Ia tahu bahwa setelah kehilangan pekerjaan lamanya, Arya kini hanya bekerja sebagai sopir taksi online. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk Arvi."Tes DNA itu mahal," lanjut Arya dengan suara berat. "Aku bahkan belum bisa menabung, karena semua uangku habis buat beli susu dan kebutuhan Arvi."Anna menatapnya dengan penuh simpati."Mbak ngerti, Arya. Mbak juga nggak mau maksa kamu untuk Tes DNA, kalau memang kamu belum siap." Ia menghela napas sejenak, lalu menatap wajah adiknya yang kini tampak lebih tua dari usianya. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu kebenarannya, kamu harus cari cara. Mungkin bisa mulai menabung sedikit demi sedikit dari sekarang. Ya, meskipun akhirnya entah kapan tes itu bisa dilakukan."Arya memijat pelipisnya, merasa semakin terbebani. "Aku takut, Mbak."Anna menatap adiknya dalam-dalam. "Kamu takut kalau t
Vidya tertegun. Ia tidak menyangka Arya akan menanyakan hal itu."Maksud Mas Arya apa?" tanya Vidya yang memaksakan diri dan berusaha tersenyum, meskipun jantungnya mulai berdebar tak menentu karena merasa tak nyaman mendengar pertanyaan dari suaminya.Arya menelan ludah dengan susah payah. "Aku nggak tahu kenapa, tapi … aku merasa dia nggak mirip sama aku, atau kamu."Ruangan mendadak terasa lebih sunyi. Vidya memandang wajah bayi mereka, lalu kembali menatap Arya."Mas … kenapa tiba-tiba mikirin hal kayak gitu?" tanya Vidya, mencoba untuk tetap tenang.Arya mengusap wajahnya, merasa bimbang apakah ia harus melanjutkan ucapannya atau tidak. Namun, pikiran itu terus menghantuinya."Aku tahu ini mungkin cuma perasaan anehku aja," katanya pelan. "Tapi … selama ini aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku cuma berlebihan. Tapi sekarang, aku nggak bisa lagi. Aku merasa … Arvi lebih mirip seseorang yang kita kenal."Vidya merasakan napasnya tercekat. Tangannya secara refleks menggeng