Dengan terengah-engah aku mencapai puncak tertinggi dari gedung kantor. Kulihat Bryan tertunduk lesu sambil duduk di pojok.
“Bryan”, sapaku setelah posisi kami berdekatan.
Bryan tidak mempedulikanku. Kulihat mata Bryan memerah, mungkin dia habis menangis. Lama kami berdua terdiam, aku sama sekali tidak tahu harus memulai obrolan kami dari mana.
“Aku tidak menyangka calon istriku akan bermesraan dengan laki-laki lain.”
“Dia bukan laki-laki lain, dia suamiku Endruw.”
“Kalian telah bercerai.”
“Maafkan aku Bry. Aku baru menyadari jika Endruw tidak menyutujui perceraian kami. Dia tidak pernah menandatangani surat cerai yang aku berikan.”
“Tapi kamu tidak mencintainya.”
“Aku sangat mencintainya Bry.”
“Lalu kenapa kamu ingin bercerai dengannya?”
Aku menceritakan semua kisahku dengan Endruw kepada Bryan. Bryan hanya diam. Aku berharap dia memahami apa yang aku rasakan.
“Lalu kenapa kamu me
“Hmm, nasi goreng buatan suamiku memang best of the best. Udah ganteng, baik, pinter masak lagi.” Ucapku sambil melirik Endruw.“Masih mau bercerai sama suami yang kayak gini?” Endruw menggodaku dengan sedikit mengangkat bibirnya.“Enggak..” Kupeluk tubuh Endruw dengan manja. Endruw tersenyum, dia mengelus rambutku sambil mengecup keningku.“Makannya pelan-pelan, kebiasaan deh.” Endruw mulai mencereweti cara makanku. Tadi bahkan dia menawarkan untuk menyuapiku. Kapan selesainya kalau makan disuapin Endruw, suapannya kecil-kecil kayak nyuapin bayi. Keburu mati kelaparan.Selesai membereskan meja makan, aku bergegas ke kamar untuk membersihkan diri. Sementara Endruw sibuk dengan ponselnya. Sepertinya dia sedang membalas email-email yang masuk.Aku keluar dari kamar mandi dengan handuk baju handuk kimono yang melekat di tubuhku. Aku tersentak kaget saat kulihat Endruw telah berada di tempat
“Ibu..” Teriak Gavin sambil berlari memelukku.“Hai Sayang, anak pinter.” Ucapku sambil menggendong dan mengecup kedua pipi bocah kecil ini.“Gavin kangen deh sama Ibu.”Sejak bertemu denganku Gavin seperti tidak mau lepas dariku. Setiap aku pulang ke rumah ini, Gavin selalu berlari menjemputku keluar sambil berteriak seperti itu. Seperti sekarang, saat aku dan Endruw baru saja sampai di depan rumah Gavin sudah memulai aksinya. Aku menikmatinya saja. Aku juga sangat menyayangi Gavin.“O ya,, Ibu juga kangen banget sama Gavin.” Balasku sambil menurunkan Gavin dari gendonganku. Badan Gavin saat ini terasa lebih berat dari biasanya. Entah karena berat badan Gavin yang cepat sekali naik atau karena aku yang kelelahan.“Ohh jadi yang dikangenin cuma Ibu, Ayah enggak?” Endruw mulai melirik ke arahku dan Gavin sambil memasang muka masam.“Enggak, Gavin bosen sama Ayah s
“Terimakasih ya Om atas pengertiannya.”“Om yang seharusnya berterimakasih sama kamu Fir, berkat kamu perusahaan Om berkembang dengan cepat. Banyak proyek yang keuntungannya melebihi expectasi berkat kamu.” Ujar Om Gino setelah aku mengutarakan maksud untuk mengundurkan diri.“Jadi ceritanya sudah baikan sepasang suami istri ini?” Goda Om Gino kemudian saat melihatku dan Endruw yang tidak pernah lepas. Ternyata Om Gino sudah mengetahui jika aku adalah istri dari Endruw sejak lama. Om Gino pun juga sudah tau jika aku tidak pernah bercerai dari Endruw, dan yang terjadi pada kami hanya kesalahpahaman.Setelah merasa cukup, aku memohon diri untuk keluar dari ruangan Om Gino.“Kamu keluar duluan ya Sayang, nanti aku susul.” Perintah Endruw. Entah apa yang ingin dia bicarakan pada Om Gino, mungkin masalah pekerjaan. Aku menuruti perintahnya. Aku juga ingin segera keluar untuk menemui dan berpam
Endruw mengemudikan mobilnya dengan kencang. Aku sampai takut berada di sebelahnya. Sering kali dia melirik ke arahku dengan wajah yang sangat cemas.“Sayang, pelan-pelan aja nyetirnya. Aku nggak apa-apa kok.” Ujarku agar Endruw sedikit tenang. Endruw hanya menatapku sejenak dan mengelus pipiku.“Istri saya kenapa dok? Apa dia baik-baik saja? Apa ada yang salah dengan perutnya?” Deretan pertanyaan dilayangkan Endruw pada dokter yang selesai memeriksaku.“Sabar Tuan, perut istri anda memang ada yang berbeda.”“Berbeda bagaimana?” Endruw begitu saja menyela penjelasan dokter.Sayang, apa yang telah Bryan lakukan padamu? Aku tidak akan mengampuninya.” Endruw mendekatiku dan menatapku dengan wajah yang sangat khawatir. Melihat ekspresi Endruw aku ingin tertawa terbahak-bahak, namun aku tidak sampai hati melakukannya.“Tuan Endruw, istri anda baik-baik saja. Perut ist
Kehamilan ini memang sedikit mengganguku. Betapa tidak, aku yang biasanya selalu aktif di kantor berjalan kesana kemari dengan lincah kini harus rela mendekam di dalam kamar. Rasa mual yang selalu mendera, ditambah pusing yang tidak juga hilang, lengkap sudah rasanya. Namun semua ini aku terima dengan iklas, aku berusaha menikmati setiap detik dari moment ini. Moment saat ada sebuah kehidupan di dalam rahimku. Kehidupan yang merupakan buah cinta dari aku dan Endruw.Semua orang sangat antusias dengan kehamilanku. Endruw yang selalu menjaga, memperhatikanku, dan mencintaiku. Bunda yang sangat selektif memilih makanan bergizi untukku. Putra kecilku Gavin yang rajin mengajak adiknya berbicara di perut. Tak kalah Rani yang setiap hari menelfonku hanya untuk menanyakan kamu mau makan apa?Usia kehamilanku baru memasuki minggu ke sembilan. Perutku juga masih belum terlihat buncit. Aku berdiri di depan cermin sambil terus memperhatikan tubuhku dan membayangkan b
Sekretaris baru itu bernama Intan, aku baru tahu saat Endruw menyebut namanya. Kupandangi perempuan yang kini tengah berdiri di sebelah Endruw dengan seksama. Dia memiliki wajah yang cantik, kulit putih, postur tubuh yang aduhai. Pakaian yang dia kenakan bisa dibilang lumayan seksi. “Apa kantor Endruw tidak membuat peraturan untuk pakaian yang digunakan karyawannya? Dasar perempuan tidak tahu malu.” Batinku.Aku masih duduk di kursi tamu memperhatikan Endruw dan Intan. Tak jarang Endruw melirikku dan tersenyum. Aku hanya membalas dengan senyum.Aku menaikkan alisku ke atas saat aku menemukan hal yang aneh. Endruw terlihat sekali tidak nyaman dengan Intan. Dia ingin menghentikan pembicaraannya dengan Intan namun sepertinya Intan masih ingin berlama-lama bersama Endruw. Banyak hal yang dia tanyakan, sampai terkesan berputar-putar. Kuperhatikan tubuh Intan yang semakin lama semakin mendekat ke tubuh Endruw. Aku mengerutkan keningku bersamaan deng
Intan membalikkan tubuh dan berjalan ke luar pantry. Aku segera menghadangnya. Amarahku sudah tidak bisa lagi kubendung.“Hai Intan apa yang sedang kamu lakukan disini?”“Ibu, sedang apa di sini Ibu di sini?” Intan memandangku dengan wajah sedikit terkejut.“Kamu lupa ya Tan, saya kan istrinya Endruw bos dari Indo Advertising. Jadi suka-suka saya mau kemana.” Aku memang bukan orang yang culas, namun berhadapan dengan orang seperti ini mau tidak mau aku harus beringas. Paling tidak aku bisa menirukan gaya Rani saat adegan-adegan seperti ini.“O iya, kamu belum menjawab pertanyaan saya tadi. Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”“Saya membuat kopi untuk Tuan Endruw.”“Oh kopi buat suami saya. Kopi yang sudah kamu bubuhi obat. Maaf ya Intan, Endruw tidak menyukai kopi yang seperti ini.” Ujarku tersenyum sinis sambil membuang kopi dari tangan Intan.&ld
“Ke mall yuk Fir.” Ajak Rani setelah kami mengantarkan Suri dan Gavin masuk ke sekolah.“Boleh”, jawabku. Pasalnya aku juga sangat bosan, aku ingin menikmati udara luar. Mumpung saat ini perutku tidak mual.Aku segera mengambil ponsel dari dalam tas. Kubuat panggilan kepada Endruw.“Hallo Sayang”, suara Endruw dari seberang.“Sayang, aku ke mall ya bareng Rani.”“Kamu kuat?”“Kuat Sayang.”“Yasudah hati-hati. Jangan jalan lama-lama, kalau sudah capek istirahat. Nanti kalau muntah lagi langsung telfon aku, biar aku jemput.”“Iya Sayangku, janji. Bye Sayang.”Aku menutup panggilan ponselku dengan Endruw. Kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas.“Dasar pengantin baru, sok romantis.” Ujar Rani yang mendengar obrolanku bersama Endruw.“Biarin”, kataku sambil menjulurkan lidah ke