Sekretaris baru itu bernama Intan, aku baru tahu saat Endruw menyebut namanya. Kupandangi perempuan yang kini tengah berdiri di sebelah Endruw dengan seksama. Dia memiliki wajah yang cantik, kulit putih, postur tubuh yang aduhai. Pakaian yang dia kenakan bisa dibilang lumayan seksi. “Apa kantor Endruw tidak membuat peraturan untuk pakaian yang digunakan karyawannya? Dasar perempuan tidak tahu malu.” Batinku.
Aku masih duduk di kursi tamu memperhatikan Endruw dan Intan. Tak jarang Endruw melirikku dan tersenyum. Aku hanya membalas dengan senyum.
Aku menaikkan alisku ke atas saat aku menemukan hal yang aneh. Endruw terlihat sekali tidak nyaman dengan Intan. Dia ingin menghentikan pembicaraannya dengan Intan namun sepertinya Intan masih ingin berlama-lama bersama Endruw. Banyak hal yang dia tanyakan, sampai terkesan berputar-putar. Kuperhatikan tubuh Intan yang semakin lama semakin mendekat ke tubuh Endruw. Aku mengerutkan keningku bersamaan deng
Intan membalikkan tubuh dan berjalan ke luar pantry. Aku segera menghadangnya. Amarahku sudah tidak bisa lagi kubendung.“Hai Intan apa yang sedang kamu lakukan disini?”“Ibu, sedang apa di sini Ibu di sini?” Intan memandangku dengan wajah sedikit terkejut.“Kamu lupa ya Tan, saya kan istrinya Endruw bos dari Indo Advertising. Jadi suka-suka saya mau kemana.” Aku memang bukan orang yang culas, namun berhadapan dengan orang seperti ini mau tidak mau aku harus beringas. Paling tidak aku bisa menirukan gaya Rani saat adegan-adegan seperti ini.“O iya, kamu belum menjawab pertanyaan saya tadi. Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”“Saya membuat kopi untuk Tuan Endruw.”“Oh kopi buat suami saya. Kopi yang sudah kamu bubuhi obat. Maaf ya Intan, Endruw tidak menyukai kopi yang seperti ini.” Ujarku tersenyum sinis sambil membuang kopi dari tangan Intan.&ld
“Ke mall yuk Fir.” Ajak Rani setelah kami mengantarkan Suri dan Gavin masuk ke sekolah.“Boleh”, jawabku. Pasalnya aku juga sangat bosan, aku ingin menikmati udara luar. Mumpung saat ini perutku tidak mual.Aku segera mengambil ponsel dari dalam tas. Kubuat panggilan kepada Endruw.“Hallo Sayang”, suara Endruw dari seberang.“Sayang, aku ke mall ya bareng Rani.”“Kamu kuat?”“Kuat Sayang.”“Yasudah hati-hati. Jangan jalan lama-lama, kalau sudah capek istirahat. Nanti kalau muntah lagi langsung telfon aku, biar aku jemput.”“Iya Sayangku, janji. Bye Sayang.”Aku menutup panggilan ponselku dengan Endruw. Kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas.“Dasar pengantin baru, sok romantis.” Ujar Rani yang mendengar obrolanku bersama Endruw.“Biarin”, kataku sambil menjulurkan lidah ke
“Sayang sabar ya, saat ini Ayah pasti sedang nyariin kita. Bentar lagi kita akan ketemu Ayah. Dedek yang pintar ya di dalam perut Ibu.” Aku mengelus perutku sambil mengajak calon bayiku berbicara.Tiba-tiba aku mendengar derap kaki dari luar kamar dan perlahan membuka pintu. Bryan muncul dengan wajahnya yang penuh dengan luka.“Firza, ayo kita segera pergi dari tempat ini!”“Tidak, aku tidak mau ikut bersamamu.”Bryan meraih tubuhku dan mengangkatnya. Aku memukul punggung Bryan dan terus berteriak agar Bryan mau melepasku.“Bry aku mohon.” Ucapku lirih setelah aku tidak punya tenaga lagi untuk berontak.Bryan menurunkanku dan mendudukanku di sebuah kursi panjang yang ada di rumah tempat aku di sekap. Bryan mengangkat daguku dengan kasar.“Firza, kamu adalah milikku. Kamu harus ikut bersamaku. Kita akan pergi ke tempat yang sangat jauh, dimana hanya ada kita berdua. Da
“Bayi kita sangat lemah Sayang, tidak ada jalan lain selain menggugurkannya. Kalau tidak hal ini akan sangat membahayakan kamu. Mengingat kondisi kamu sekarang juga sangat lemah. Ini yang terbaik untuk kita semua Sayang.” Tutur Endruw setelah tenagaku habis untuk berteriak dan hanya bisa menangis pelan.“Kenapa kalian tega sekali mengambil bayiku? Padahal aku rela mati untuknya. Aku rela mati.” Aku terus menangis. Kulepaskan tangan Endruw yang saat ini berusaha memelukku. Aku kecewa dengan Endruw. Aku benci dengan semua orang.Endruw hanya diam sambil menatapku dalam. Tampak air matanya juga jatuh melalui sudut mata. Aku bisa merasakan saat ini Endruw juga sangat hancur. Namun aku sama sekali tidak mau tahu tentang kesedihan siapapun. Aku hanya ingin anakku kembali. Aku sangat menyesali semua yang telah terjadi.Endruw memberiku gelas berisi air minum. “Minumlah!” Pintanya. Aku tidak menerima gelas
Sudah tiga hari aku berada di rumah sakit. Endruw selalu menemaniku. Jika ada pekerjaan kantor yang memerlukan dirinya, Endruw selalu meminta Randi atau orang kepercayaannya untuk membawa pekerjaan itu ke rumah sakit. Tidak pernah sedetik pun dia meninggalkanku.“Sayang kamu berangkat saja ke kantor.” Ucapku setelah Endruw menutup telefonnya. Aku tahu itu telfon dari kantornya. Dan sangat mudah membaca fikiran Endruw bahwa saat ini dia sedang gelisah.Endruw hanya tersenyum mendengarku. Mendekat ke arahku dan mencium keningku.“Kamu berangkat ke kantor saja Sayang, aku sudah sehat.” Ulangku.“Apa kamu yakin?” Ucap Endruw sambil mencubit lembut kedua pipiku dengan tangannya.“Yakin Sayang..” Kutatap wajah Endruw dengan penuh cinta sambil kucium pipi Endruw satu per satu.“Kamu ke kantor saja Ndruw, biar Bunda yang jagain putri Bunda.” Aku terkejut melihat Bunda sudah be
“Mama, Firza titip jagain anak Firza ya Ma di surga. Dia sekarang pasti bersama mama bersama Omanya.” Ucapku saat aku bersimpuh di makam mama setelah selesai mengirimkan doa kepadanya.Hari ini aku dan Rani pergi ke makam Mama setelah mengantar Gavin dan Suri ke sekolah. Ini hari pertama Endruw mengizinkanku keluar rumah sendiri setelah tiga bulan kejadian penculikan itu. Sebelumnya kemanapun aku pergi eselalu dikawal oleh beberapa orang bodyguard sewaan Endruw. Agak berlebihan memang, tapi Endruw tidak bisa ditolak. Dia selalu bilang, ini demi keamananku. Yasudahlah aku hanya bisa menurut sebagai bentuk aku menghormatinya. Dan hari ini entah kenapa dia mengizinkanku untuk mengantar Gavin berangkat ke sekolah dan juga pergi ke makam mama. Mungkin dia merasa kasihan kepadaku karena aku merasa tidak nyaman bersama para bodyguard itu“Sudah yuk Fir kita pulang.” Ajak Rani.Aku mengangguk, kemudian kami meninggalkan makam mama.
“Masih jauh nggak Ndruw? Capek..” Aku menekuk kakiku sambil melihat ke tanah dan terengah-engah. Endruw mengajakku naik ke atas bukit agar kami bisa melihat sunrise dengan jelas. “Bentar lagi. Sini aku gendong.” Endruw memberikan punggungnya untukku naik. “Nggak Ndruw, aku kuat kok.” Dengan segala sisa tenaga yang aku miliki, aku mencoba untuk tetap berjalan. Aku tidak tega jika harus digendong oleh Endruw. Pasalnya beberapa hari terakhir berat badanku naik. “Akhirnya sampai juga.” Kataku sambil meregangkan kedua tangan. “Itu lihat”, Endruw memelukku dari belakang sambil menunjuk ke langit sebelah timur. “Waooww..” Inilah sunrise yang dari tadi aku perjuangkan untuk melihatnya. Sangat indah. Saat matahari yang bulat sempurna dengan malu-malu menampakkan tubuhnya sedikit demi sedikit. Seperti telur ceplok. Sempurna, mungkin hanya kata itu yang bisa aku gunakan untuk menggambarkan hal-hal yang telah aku lalui bersama
“Kok aku belum haid juga ya.” Ucapku dalam hati sambil melihat kalender. Sebenarnya aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau aku sedang hamil. Apalagi beberapa hari ini aku sering kelelahan dan nafsu makanku semakin besar. Tapi aku tidak mau terlalu berharap, aku takut jika harus kehilangan bayiku lagi. Aku masih trauma. Masih ada sedikit ketakutan jika hal buruk itu akan terjadi lagi. “Sayang kamu lagi ngapain?” Endruw tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku. “Ah nggak kok. Kamu kok udah rapi, mau kemana Ndruw?” Tanyaku yang melihat Endruw sudah memakai pakaian kantornya, padahal ini weekend. Tidak biasa Endruw mengambil pekerjaan di hari seperti ini. “Ada masalah di gudang, ada sedikit kebakaran.” “Hah, kebakaran? Kok bisa?” “Entahlah. Polisi sudah datang ke lokasi untuk memerikasa keadaan di sana. Aku akan kesana untuk melihatnya.” “Aku ikut ya Sayang.” Pintaku. Tidak tahu kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Ada s