Kehamilan ini memang sedikit mengganguku. Betapa tidak, aku yang biasanya selalu aktif di kantor berjalan kesana kemari dengan lincah kini harus rela mendekam di dalam kamar. Rasa mual yang selalu mendera, ditambah pusing yang tidak juga hilang, lengkap sudah rasanya. Namun semua ini aku terima dengan iklas, aku berusaha menikmati setiap detik dari moment ini. Moment saat ada sebuah kehidupan di dalam rahimku. Kehidupan yang merupakan buah cinta dari aku dan Endruw.
Semua orang sangat antusias dengan kehamilanku. Endruw yang selalu menjaga, memperhatikanku, dan mencintaiku. Bunda yang sangat selektif memilih makanan bergizi untukku. Putra kecilku Gavin yang rajin mengajak adiknya berbicara di perut. Tak kalah Rani yang setiap hari menelfonku hanya untuk menanyakan kamu mau makan apa?
Usia kehamilanku baru memasuki minggu ke sembilan. Perutku juga masih belum terlihat buncit. Aku berdiri di depan cermin sambil terus memperhatikan tubuhku dan membayangkan b
Sekretaris baru itu bernama Intan, aku baru tahu saat Endruw menyebut namanya. Kupandangi perempuan yang kini tengah berdiri di sebelah Endruw dengan seksama. Dia memiliki wajah yang cantik, kulit putih, postur tubuh yang aduhai. Pakaian yang dia kenakan bisa dibilang lumayan seksi. “Apa kantor Endruw tidak membuat peraturan untuk pakaian yang digunakan karyawannya? Dasar perempuan tidak tahu malu.” Batinku.Aku masih duduk di kursi tamu memperhatikan Endruw dan Intan. Tak jarang Endruw melirikku dan tersenyum. Aku hanya membalas dengan senyum.Aku menaikkan alisku ke atas saat aku menemukan hal yang aneh. Endruw terlihat sekali tidak nyaman dengan Intan. Dia ingin menghentikan pembicaraannya dengan Intan namun sepertinya Intan masih ingin berlama-lama bersama Endruw. Banyak hal yang dia tanyakan, sampai terkesan berputar-putar. Kuperhatikan tubuh Intan yang semakin lama semakin mendekat ke tubuh Endruw. Aku mengerutkan keningku bersamaan deng
Intan membalikkan tubuh dan berjalan ke luar pantry. Aku segera menghadangnya. Amarahku sudah tidak bisa lagi kubendung.“Hai Intan apa yang sedang kamu lakukan disini?”“Ibu, sedang apa di sini Ibu di sini?” Intan memandangku dengan wajah sedikit terkejut.“Kamu lupa ya Tan, saya kan istrinya Endruw bos dari Indo Advertising. Jadi suka-suka saya mau kemana.” Aku memang bukan orang yang culas, namun berhadapan dengan orang seperti ini mau tidak mau aku harus beringas. Paling tidak aku bisa menirukan gaya Rani saat adegan-adegan seperti ini.“O iya, kamu belum menjawab pertanyaan saya tadi. Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”“Saya membuat kopi untuk Tuan Endruw.”“Oh kopi buat suami saya. Kopi yang sudah kamu bubuhi obat. Maaf ya Intan, Endruw tidak menyukai kopi yang seperti ini.” Ujarku tersenyum sinis sambil membuang kopi dari tangan Intan.&ld
“Ke mall yuk Fir.” Ajak Rani setelah kami mengantarkan Suri dan Gavin masuk ke sekolah.“Boleh”, jawabku. Pasalnya aku juga sangat bosan, aku ingin menikmati udara luar. Mumpung saat ini perutku tidak mual.Aku segera mengambil ponsel dari dalam tas. Kubuat panggilan kepada Endruw.“Hallo Sayang”, suara Endruw dari seberang.“Sayang, aku ke mall ya bareng Rani.”“Kamu kuat?”“Kuat Sayang.”“Yasudah hati-hati. Jangan jalan lama-lama, kalau sudah capek istirahat. Nanti kalau muntah lagi langsung telfon aku, biar aku jemput.”“Iya Sayangku, janji. Bye Sayang.”Aku menutup panggilan ponselku dengan Endruw. Kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas.“Dasar pengantin baru, sok romantis.” Ujar Rani yang mendengar obrolanku bersama Endruw.“Biarin”, kataku sambil menjulurkan lidah ke
“Sayang sabar ya, saat ini Ayah pasti sedang nyariin kita. Bentar lagi kita akan ketemu Ayah. Dedek yang pintar ya di dalam perut Ibu.” Aku mengelus perutku sambil mengajak calon bayiku berbicara.Tiba-tiba aku mendengar derap kaki dari luar kamar dan perlahan membuka pintu. Bryan muncul dengan wajahnya yang penuh dengan luka.“Firza, ayo kita segera pergi dari tempat ini!”“Tidak, aku tidak mau ikut bersamamu.”Bryan meraih tubuhku dan mengangkatnya. Aku memukul punggung Bryan dan terus berteriak agar Bryan mau melepasku.“Bry aku mohon.” Ucapku lirih setelah aku tidak punya tenaga lagi untuk berontak.Bryan menurunkanku dan mendudukanku di sebuah kursi panjang yang ada di rumah tempat aku di sekap. Bryan mengangkat daguku dengan kasar.“Firza, kamu adalah milikku. Kamu harus ikut bersamaku. Kita akan pergi ke tempat yang sangat jauh, dimana hanya ada kita berdua. Da
“Bayi kita sangat lemah Sayang, tidak ada jalan lain selain menggugurkannya. Kalau tidak hal ini akan sangat membahayakan kamu. Mengingat kondisi kamu sekarang juga sangat lemah. Ini yang terbaik untuk kita semua Sayang.” Tutur Endruw setelah tenagaku habis untuk berteriak dan hanya bisa menangis pelan.“Kenapa kalian tega sekali mengambil bayiku? Padahal aku rela mati untuknya. Aku rela mati.” Aku terus menangis. Kulepaskan tangan Endruw yang saat ini berusaha memelukku. Aku kecewa dengan Endruw. Aku benci dengan semua orang.Endruw hanya diam sambil menatapku dalam. Tampak air matanya juga jatuh melalui sudut mata. Aku bisa merasakan saat ini Endruw juga sangat hancur. Namun aku sama sekali tidak mau tahu tentang kesedihan siapapun. Aku hanya ingin anakku kembali. Aku sangat menyesali semua yang telah terjadi.Endruw memberiku gelas berisi air minum. “Minumlah!” Pintanya. Aku tidak menerima gelas
Sudah tiga hari aku berada di rumah sakit. Endruw selalu menemaniku. Jika ada pekerjaan kantor yang memerlukan dirinya, Endruw selalu meminta Randi atau orang kepercayaannya untuk membawa pekerjaan itu ke rumah sakit. Tidak pernah sedetik pun dia meninggalkanku.“Sayang kamu berangkat saja ke kantor.” Ucapku setelah Endruw menutup telefonnya. Aku tahu itu telfon dari kantornya. Dan sangat mudah membaca fikiran Endruw bahwa saat ini dia sedang gelisah.Endruw hanya tersenyum mendengarku. Mendekat ke arahku dan mencium keningku.“Kamu berangkat ke kantor saja Sayang, aku sudah sehat.” Ulangku.“Apa kamu yakin?” Ucap Endruw sambil mencubit lembut kedua pipiku dengan tangannya.“Yakin Sayang..” Kutatap wajah Endruw dengan penuh cinta sambil kucium pipi Endruw satu per satu.“Kamu ke kantor saja Ndruw, biar Bunda yang jagain putri Bunda.” Aku terkejut melihat Bunda sudah be
“Mama, Firza titip jagain anak Firza ya Ma di surga. Dia sekarang pasti bersama mama bersama Omanya.” Ucapku saat aku bersimpuh di makam mama setelah selesai mengirimkan doa kepadanya.Hari ini aku dan Rani pergi ke makam Mama setelah mengantar Gavin dan Suri ke sekolah. Ini hari pertama Endruw mengizinkanku keluar rumah sendiri setelah tiga bulan kejadian penculikan itu. Sebelumnya kemanapun aku pergi eselalu dikawal oleh beberapa orang bodyguard sewaan Endruw. Agak berlebihan memang, tapi Endruw tidak bisa ditolak. Dia selalu bilang, ini demi keamananku. Yasudahlah aku hanya bisa menurut sebagai bentuk aku menghormatinya. Dan hari ini entah kenapa dia mengizinkanku untuk mengantar Gavin berangkat ke sekolah dan juga pergi ke makam mama. Mungkin dia merasa kasihan kepadaku karena aku merasa tidak nyaman bersama para bodyguard itu“Sudah yuk Fir kita pulang.” Ajak Rani.Aku mengangguk, kemudian kami meninggalkan makam mama.
“Masih jauh nggak Ndruw? Capek..” Aku menekuk kakiku sambil melihat ke tanah dan terengah-engah. Endruw mengajakku naik ke atas bukit agar kami bisa melihat sunrise dengan jelas. “Bentar lagi. Sini aku gendong.” Endruw memberikan punggungnya untukku naik. “Nggak Ndruw, aku kuat kok.” Dengan segala sisa tenaga yang aku miliki, aku mencoba untuk tetap berjalan. Aku tidak tega jika harus digendong oleh Endruw. Pasalnya beberapa hari terakhir berat badanku naik. “Akhirnya sampai juga.” Kataku sambil meregangkan kedua tangan. “Itu lihat”, Endruw memelukku dari belakang sambil menunjuk ke langit sebelah timur. “Waooww..” Inilah sunrise yang dari tadi aku perjuangkan untuk melihatnya. Sangat indah. Saat matahari yang bulat sempurna dengan malu-malu menampakkan tubuhnya sedikit demi sedikit. Seperti telur ceplok. Sempurna, mungkin hanya kata itu yang bisa aku gunakan untuk menggambarkan hal-hal yang telah aku lalui bersama
Duduk bersila. Tarik nafas dari hidung, buang pelan-pelan lewat mulut. Tari nafas dari hidung, buang pelan-pelan dari mulut. Tarik tangan ke kiri, tahaan lepas. Tarik tangan ke kanan, tahaan lepas. “Sayang kamu kok masih duduk di situ, ayo sini kamu ikutin gerakan itu. Biar badan kamu nggak pegal-pegal. Nanti melahirkannya juga mudah.” Seru Endruw. “Emang enggak ada cara lain ya biar badan nggak pegal dan mudah lahiran selain dengan olahraga kayak gitu.” Kataku sambil tetap berbaring di atas tempat tidur. Usiaku kehamilanku kini memasuki sembilan bulan. Tinggal menunggu hari untuk menunggu dedek bayi launching ke dunia ini. Tapi semakin ke sini aku merasa menjadi sangat malas. Maunya rebahan melulu. Jangankan olahraga, mandi saja jika Endruw tidak menggendongku ke kamar mandi aku tidak akan mandi. Tapi kalau untuk urusan makan jangan ditanya, nafsu makanku bertambah tiga kali lipat dari biasanya. Dan bisa dilihat badanku kini sebesar gajah.
“Tuan Endruw saya sangat senang dengan kemajuan kesehatan Tuan yang semakin hari semakin pesat.”“Terimakasih dokter, ini semua karena dokter dan para perawat di sini.”“Ah Tuan Endruw terlalu berlebihan. Saya dan perawat di sini hanya membantu sesuai dengan kemampuan kami. Ibu Firza lah yang sangat berjasa Tuan, beliau selalu menjaga dan menemani Tuan. Tidak bisa dihitung berapa banyaknya air mata yang telah Ibu Firza keluarkan, apalagi Ibu Firza tengah hamil.”“Ah dokter bisa saja.” Aku menyela obrolan Endruw dan dokter sambil terus mengupas buah yang akan aku berikan kepada Endruw.“Dianya malu tuh dok dipuji terus sama dokter.” Kata Endruw pada laki-laki yang kira-kira berusia setengah abad itu.Endruw dan dokter itu pun tertawa bersama. Sementara aku menunduk sambil menahan malu. Namun aku merasa sangat lega. Endruwku kini sudah sembuh seperti sedia kala. Terimakas
Kupandangi suamiku dari kejauhan. Sudah lima bulan dia seperti ini. Hanya berbaring, sama sekali tidak bergerak. Bahkan untuk makan sekalipun harus memakai selang. Beberapa kabel menempel di tubuhnya. Bunyi tit tit tit dari sebuah alat untuk melihat detak jantungnya selalu membuat hatiku ngilu.Ya, setelah operasi itu, kondisi Endruw tak kunjung membaik. Endruw koma, dia tidak bisa bergerak ataupun membuka mata. Tapi dia bisa mendengar dan merasakan.Setiap hari aku menemuinya di rumah sakit. Menceritakan kepadanya tentang hari-hari yang telah aku lalui. Tentang Bunda, tentang Gavin, dan orang-orang di rumah. Juga menceritakan kepadanya tentang Indo Advertising yang kini semakin melejit dan merambah pasar Internasional.“Maaf ya Ndruw sepertinya Indo Advertising lebih melejit saat aku yang mengurusnya. Ganti bos aja gimana?” Aku tertawa sendiri akan gurauan yang aku berikan kepada Endruw. Sementara Endruw tetap terdiam.Waktu itu
“Firza, semakin lama kamu semakin cantik saja.” Bryan menyentuh ujung rambutku.“Aku tidak mau bertele-tele Bry. Cepat katakan apa yang kamu inginkan. Setelah itu jauhi aku dan juga keluargaku.”“Hai Firza, kenapa kamu tidak bisa calm down sedikit saja? Kamu lupa Sayang dulu kamu sangat nyaman saat bersamaku. Kamu selalu ceria, tertawa, dan bahagia saat ada di sampingku.”“Itu dulu saat aku belum menyadari kalau kamu adalah iblis.”“Aku mencintaimu Firza.”“Cinta yang seperti apa Bry? Menculikku, membunuh janinku, membuat Endruw terbaring tak berdaya seperti itu, menghancurkan perusahaan Endruw. Itu kah yang kamu bilang cinta. Seperti itukah cintamu kepadaku? Kamu hanya memanfaatkanku untuk menghancurkan suamiku menghancurkan Endruw.”“Diam Firza, diam.. Aku sangat tidak suka jika nama Endruw keluar dari bibir manismu.” Bryan mencoba memegang wa
“Randi, tolong cari tahu bagaimana Bryan bisa bebas dari penjara.” Perintahku kepada Randi.“Baik Bu.”Dengan kasar aku membuang tubuhku ke kursi kerja yang biasa Endruw duduki. Aku sama sekali tidak menyangka ini semua adalah perbuatan Bryan. Jika aku bisa mengulang waktu dan mengetahui rencana Bryan dari awal pasti aku tidak akan mau menjadi temannya bahkan menerima pinangannya. Ya Tuhan, apa lagi ini? Bryan kenapa kamu tidak pernah berhenti menggangguku?“Ibu Firza”, Randi masuk ke dalam ruanganku dengan wajah cemas.“Bagaimana Ran?”“Bryan berhasil keluar dari penjara karena dia mendapatkan jaminan. Dan yang menjamin Bryan adalah orang yang sangat berbahaya, dia adalah seorang mavia yang menjadi buronan polisi Singapura.”“Hahh.. Apa? Kenapa bisa se..”“Hal yang seperti ini mungkin sangat tabu bagi Ibu, tapi ini sangat sering terjadi di kal
“Tuan Endruw harus segera menjalani operasi. Tolong Ibu menandatangani dokumen ini sebagai persyaratan untuk dilakukannya operasi. Demi keselamatan Tuan Endruw operasi harus dilaksanakan secepat mungkin.” Kata seorang dokter sambil memberiku sebuah berkas. Aku terdiam, bibirku terasa ngilu. Kaki dan tanganku lemas. Kulirik suamiku yang saat ini sedang terbaring tak berdaya di bad UGD. Aku tidak tega melihatnya. Darah segar mengalir dari beberapa bagian tubuhnya. “Lakukan semua yang terbaik untuk suami saya dok.” Ucapku memohon kepada dokter di depanku, air mataku tak berhenti mengalir dari kedua mataku. Segera kuterima berkas itu dan kutandatangani di tempat yang telah mereka tunjukkan “Kami pasti melakukan yang terbaik untuk suami Ibu, semua ada di tangan Tuhan. Bantu kami dengan doa. Kami akan segera melakukan operasi.” *** Sudah dua jam aku berada di depan kamar operasi. Waktu yang sangat lama bagiku untuk menunggu seseorang keluar dari rua
“Kok aku belum haid juga ya.” Ucapku dalam hati sambil melihat kalender. Sebenarnya aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau aku sedang hamil. Apalagi beberapa hari ini aku sering kelelahan dan nafsu makanku semakin besar. Tapi aku tidak mau terlalu berharap, aku takut jika harus kehilangan bayiku lagi. Aku masih trauma. Masih ada sedikit ketakutan jika hal buruk itu akan terjadi lagi. “Sayang kamu lagi ngapain?” Endruw tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku. “Ah nggak kok. Kamu kok udah rapi, mau kemana Ndruw?” Tanyaku yang melihat Endruw sudah memakai pakaian kantornya, padahal ini weekend. Tidak biasa Endruw mengambil pekerjaan di hari seperti ini. “Ada masalah di gudang, ada sedikit kebakaran.” “Hah, kebakaran? Kok bisa?” “Entahlah. Polisi sudah datang ke lokasi untuk memerikasa keadaan di sana. Aku akan kesana untuk melihatnya.” “Aku ikut ya Sayang.” Pintaku. Tidak tahu kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Ada s
“Masih jauh nggak Ndruw? Capek..” Aku menekuk kakiku sambil melihat ke tanah dan terengah-engah. Endruw mengajakku naik ke atas bukit agar kami bisa melihat sunrise dengan jelas. “Bentar lagi. Sini aku gendong.” Endruw memberikan punggungnya untukku naik. “Nggak Ndruw, aku kuat kok.” Dengan segala sisa tenaga yang aku miliki, aku mencoba untuk tetap berjalan. Aku tidak tega jika harus digendong oleh Endruw. Pasalnya beberapa hari terakhir berat badanku naik. “Akhirnya sampai juga.” Kataku sambil meregangkan kedua tangan. “Itu lihat”, Endruw memelukku dari belakang sambil menunjuk ke langit sebelah timur. “Waooww..” Inilah sunrise yang dari tadi aku perjuangkan untuk melihatnya. Sangat indah. Saat matahari yang bulat sempurna dengan malu-malu menampakkan tubuhnya sedikit demi sedikit. Seperti telur ceplok. Sempurna, mungkin hanya kata itu yang bisa aku gunakan untuk menggambarkan hal-hal yang telah aku lalui bersama
“Mama, Firza titip jagain anak Firza ya Ma di surga. Dia sekarang pasti bersama mama bersama Omanya.” Ucapku saat aku bersimpuh di makam mama setelah selesai mengirimkan doa kepadanya.Hari ini aku dan Rani pergi ke makam Mama setelah mengantar Gavin dan Suri ke sekolah. Ini hari pertama Endruw mengizinkanku keluar rumah sendiri setelah tiga bulan kejadian penculikan itu. Sebelumnya kemanapun aku pergi eselalu dikawal oleh beberapa orang bodyguard sewaan Endruw. Agak berlebihan memang, tapi Endruw tidak bisa ditolak. Dia selalu bilang, ini demi keamananku. Yasudahlah aku hanya bisa menurut sebagai bentuk aku menghormatinya. Dan hari ini entah kenapa dia mengizinkanku untuk mengantar Gavin berangkat ke sekolah dan juga pergi ke makam mama. Mungkin dia merasa kasihan kepadaku karena aku merasa tidak nyaman bersama para bodyguard itu“Sudah yuk Fir kita pulang.” Ajak Rani.Aku mengangguk, kemudian kami meninggalkan makam mama.