BAB 6
Semilir angin terasa begitu sejuk di siang ini. Kicauan burung seakan sahut menyahut bergantian. Aku yang tengah duduk di kursi meja makan memandang jauh keluar. Berharap semuanya hanya mimpi. Mimpi buruk jika aku terbangun semua akan berubah menjadi baik-baik saja.
Akan tetapi semua harapan dan mimpi itu nyata adanya. Perpisahan akan segera aku hadapi sendirian. Tidak terasa bulir-bulir air mata itu kembali mengalir.
'Maafkan Melati, Pak, Bu. Melati gagal mempertahankan rumah tangga ini. Melati tidak bisa lagi menjalani sesuatu yang Melati anggap melebihi batas," gumamku dalam hati. Aku menekan dada ini kuat-kuat, terasa begitu sesak seakan ada batu besar yang tengah menghimpit.
Tidak ada sandaran, tidak ada tangan yang mengusap air mata.
Tidak aku pungkiri hatiku masih ada ruang untuk laki-laki yang bernama Bima, laki-laki yang pernah mengisi hari dan juga kekosongan ini. Memberikan warna dengan jutaan tawa. Akan tetapi, akhir dari semua hanya air mata.
Tuling
Satu pesan masuk, membuat aku segera menghapus jejak air mata. Nama Mas Bima tertera jelas di sana.
[Melati, bisa kita bicara? Tapi tidak di rumah. Kita bisa ketemu di rumah makan yang biasa dulu kita kunjungi. Ada hal penting yang harus kita selesaikan.]
Hanya aku baca, tidak ada niatan untuk membalasnya. Tidak berapa lama Mas Bima menghubungiku. Berkali-kali nada dering itu menjerit-jerit ingin segera diangkat. Namun, tidak aku indahkan. Justru aku menyalakan televisi yang ada di dapur.
Tok … tok.
Terdengar ketukan pintu dari luar. Membuat aku segera mematikan televisi. Beranjak dari duduk kemudian berjalan menuju pintu utama.
Gorden jendela kusibak, melihat siapa gerangan yang bertamu. Alangkah terkejutnya aku, ketika wanita tua yang kemarin masih tinggal satu atap denganku datang.
"Ada apa lagi ini?" gumamku pelan. Suara pintu itu kembali di gedor. Membuatku segera membukanya.
Ceklek
"Lama banget sih buka pintunya, dasar wanita mandul!" ucap Ibu penuh penekanan.
Deg
Kata-kata Ibu mertua benar-benar menggores hati. Lidahnya yang tajam bak belati, bisa menikam siapa saja dan kapanpun.
Gelar mandul kini ia sempatkan kepadaku, calon mantan menantu. Padahal usia pernikahan kami baru menginjak satu tahun. Secepat itukah memberi cap mandul kepadaku? Benar-benar keterlaluan.
"Ada perlu apa Ibu kemari?" tanyaku dengan mati-matian menahan amarah. Aku masih waras. Masih memiliki tata krama. Tidak akan mungkin aku melawan beliau yang statusnya sebagai orang tua.
"Ibu kesini cuma mau ngasih tahu kamu ya, Melati. Jangan pernah kamu minta Bima datang lagi ke rumah ini! Ingat itu, Bima sudah memiliki calon istri yang lain. Wanita yang tidak sombong dengan harta yang tidak seberapa. Yang pasti wanita itu tidak mandul sepertimu!" Ibu mertuaku mencebik, tangannya ia lipat di depan dada.
Ada yang tercubit di hati. Calon istri? Secepat itu? Pengajuan gugatan cerai saja belum aku layangkan dan kini Mas Bima sudah memiliki calon istri. Ya Tuhan, pernikahan macam apa ini.
"Kita lihat Melati, siapa yang akan bahagia setelah perpisahan ini. Kamu atau Bima. Dan Ibu pastikan kamu akan menderita selama-lamanya."
"Ibu Rosita … sebaiknya Ibu itu memperbaiki diri. Bukan malah menghujat sana-sini! Ingat umur, Bu!" ucapku dengan sikap setenang mungkin. Menghadapi manusia Seperti ibu harus bersikap pintar.
"Maksud kamu apa, Melati? Kamu nyumpahin Ibu mati? Ha?" Urat leher Ibu terlihat menegang. Itu artinya wanita itu tengah menahan amarah.
"Melati tidak pernah berucap demikian."
"Lalu apa itu namanya? Benar-benar menantu tidak tahu diri!" Tangan Ibu terangkat ke atas. Hendak melayangkan tamparan kepadaku. Akan tetapi, dengan cepat tangan ini menepisnya.
"Assalamualaikum, Ibu Rosita," salam disampaikan dari seorang wanita yang sudah berdiri di belakang Ibu mertua. Entah kapan wanita itu datang.
Wanita yang berstatus sebagai RT itu menatapku sekilas lalu menunduk memberi senyum.
Ibu mertua lantas menarik tangannya dengan kasar. Lalu memutar badannya ke arah Ibu RT.
"A-ada apa ya Bu RT?" tanya Ibu dengan terbata.
"Maaf Ibu Rosita, kedatangan saya kesini mau minta uang arisan. Ibu sudah menunggak tiga bulan. Saya dengar dari warga kalau Ibu sudah tidak tinggal di rumah Mbak Melati. Kebetulan Ibu ada di sini makanya saya datang kemari!" Senyum Ibu RT itu membuatku turut tersenyum. Ibu mertua menoleh ke sana kemari. Dan mata itu akhirnya tertuju padaku. Netra kami sempat bertemu. Akan tetapi, aku langsung melempar pandangan ke sembarang arah.
"Bagaimana Ibu, mau dibayar sekarang? Totalnya tiga ratus ribu," sahut Ibu RT kembali.
"Sa-saya tidak bawa yang itu, Bu." Ibu mertuaku beralasan.
"Atau pinjam dulu sama Mbak Melati. Nanti Ibu tinggal ganti sama Mbak Melati seperti biasanya." Senyum Ibu mertuaku merekah. Lalu wanita itu hendak mendekat. Jika dulu aku langsung mengiyakan. Dan uang yang digunakan Ibu mertuaku itu tidak pernah kembali tapi tidak untuk saat ini. Aku tidak mau lagi keluar uang sepeserpun untuknya.
"Maaf, Bu. Saya mau pergi, saya tidak ada urusan lagi sama Ibu Rosita. Jadi soal lainnya Ibu bisa langsung berurusan dengan beliau!" Langsung aku menutup pintu kemudian menguncinya rapat-rapat. Helm yang berada diatas motor segera aku kenakan. Menstarter motor dan berniat meninggalkan kedua wanita itu.
Belum juga motor ini melaju, ibu mertua memanggilku.
"Mau kemana kamu Melati?" tanya Ibu dengan mimik muka pucat pasi.
"Mau jalan-jalan, Bu. Kan habis gajian. Assalamualaikum Bu RT." Aku terkekeh kemudian berpamitan dengan Bu RT tidak lupa aku melambaikan tangan. Ibu terlihat melotot, dia tidak percaya aku akan meninggalkannya sendiri menghadapi tagihan arisan yang tidaklah sedikit.
.
Motor matic itu meluncur menuju rumah Lina, sahabatku. Beruntung dia ada dirumah. Karena kedatanganku begitu mendadak, tidak sempat memberitahu terlebih dahulu. Entah apa yang terjadi dengan mertuaku di rumah. Mungkin tengah pusing.
"Kamu kok nggak bilang-bilang mau ke sini?" tanya Lina sembari menjatuhkan bokongnya di kursi.
"Suntuk di rumah sendirian!" jawabku apa adanya.
"Eh kamu serius mengusir mereka?" tanya Lina. Jiwa keponya meronta-ronta. Karena semalam aku sempat berbalas pesan dengan janda beranak satu itu soal pengusiran keluarga Mas Bima dari rumah.
"Seriuslah, malah sebelum ke sini Ibu mertuaku datang. Dia mewanti-wanti aku jangan sampai meminta anaknya untuk kembali." Aku meletakan benda pipih di atas meja.
"Terus kamu bilang apa?" tanya Lina dengan raut wajah serius.
"Ya enggak lah, kembali sama Mas Bima? Enak aja!" Luka hatiku sembuh begitu saja setelah mendengar pernyataan mertuaku tadi. Berarti keputusanku berpisah, sudah tepat adanya.
"Betul, kamu harus tegas! Terus sekarang kamu mau kemana?"
"Nah, itu dia."
"Gimana kalau kita jalan-jalan. Kita seneng-seneng." Kedua alis Lina terangkat bersamaan dengan senyumnya merekah.
"Boleh. Kita belanja, kita seneng-seneng, makan-makan!" jawabku antusias.
"Aku bawa anak nggak papa kan?" tanya Lina, wanita itu beranjak dari duduknya lalu menatapku dengan seksama.
"Nggak papa lah!"
"Oke let's go …."
Aku bersama Lina pergi ke salah satu mall terbesar di kota. Membeli pakaian dan juga beberapa kebutuhan rumah. Entah mengapa, pikiranku soal perceraian yang tadi terasa berat kini berubah menjadi hal biasa saja.
Berharap proses itu segera selesai.
Kedua tanganku penuh dengan kantong belanjaan. Membuatku sedikit kewalahan.
Bruk
Aku menabrak seseorang membuat kantong belanjaan itu jatuh ke lantai.
"Hati-hati dong, kalau jalan itu pakai mata!"
Aku mengarahkan pandanganku pada wanita yang ada dihadapanku. Dari cara bicaranya yang tidak sopan aku sudah bisa menebak siapa gerangan."Mbak Melati?" ucap wanita itu, membuatku tersenyum. Dugaanku benar adanya. Dia adalah Sari, adik iparku. Tatapannya tertuju pada barang-barang belanjaan ku yang terlihat banyak. Tangannya dilipat ke depan dada lalu menatapku dengan senyum meremehkan."Wah, pantas saja pengen pisah sama Mas Bima. Temannya aja janda kek begitu yang pasti nyetrum lah!" Sari berbicara asal. Membuat amarahku terasa di ubun-ubun ketika mendengar celotehannya yang tidak sopan."Heh, anak kurang ajar ya kamu! Tidak pernah di ajari sopan santun ya? Kalau kek begini terlihat ya siapa yang sebenarnya tidak berpendidikan? Gunanya apa sekolah tinggi-tinggi cuma bisanya ngomong nggak sopan seperti itu!" sungut Lina tidak terima. Jelas, wanita itu tidak terima masalah rumah tangga yang aku hadapi saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan Lina. Rahang Sari terlihat mengeras itu pe
Setelah kejadian kemarin aku memutuskan untuk memblokir nomor milik Mas Bima beserta keluarganya. Karena dari semalam Sari maupun Mas Bima terus menerorku. Mas Bima mengirim pesan permohonan maaf dan permintaan untuk kembali lagi, sedangkan Sari ia mencaci dan juga mengumpat. Entah dari apa Tuhan menciptakan gadis itu. Jam menunjukan angka tujuh kurang. Aku segera mengeluarkan motor berniat pergi ke pabrik. Alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati sebuah mobil Pajero berhenti di halaman rumah.'Siapa ya pagi-pagi sudah bertamu?' tanyaku dalam hati. "Hai, selamat pagi!" salam diucapkan dari sepasang suami istri itu. Aku perhatikan sepertinya tidak asing lagi. Akan tetapi, ingatanku tidak begitu bagus. Hingga cukup lama aku diam memperhatikan. Dari ujung kaki hingga ke ujung kepala penampilan mereka sepertinya orang kaya. Laki-laki yang mengenakan jam tangan itu terlihat menenteng sebuah map berwarna merah jambu. Entah apa isinya, membuatku semakin penasaran. "Lupa ya sama kami?" t
POV Bima"Mas, mulai hari ini detik ini juga kamu dan keluarga kamu angkat kaki dari rumahku! Sekarang!" ucap Melati dengan amarah yang meluap-luap. Aku yang duduk di sisi ranjang terperangah mendengar kalimat tersebut. Ini kali pertama wanita yang aku nikahi satahun lalu itu berucap kasar. Apalagi mengusirku dari rumah. Memang benar tempat tinggal yang kini kami tempati adalah rumah Melati, istriku. Aku hanya hidup menumpang padanya. "Bim … bima." Ibu memanggil namaku berulang kali. Membuat lamunanku buyar. Segera aku mengejar wanita yang sudah rapi mengenakan seragam kerja itu. Berjalan menuju pintu utama.Tunggu, apa yang akan dia lakukan dengan kunci motor itu? Benar saja, Melati berjalan sembari menuntun motor menuju halaman rumah. Aku masih bingung dengan sikapnya yang mendadak berubah. Apalagi kemarin dia masih sama, menurut dengan semua ucapan dan juga permintaanku. Kenapa hari ini dia sudah berubah? Ada apa dengan Melati? Dimana Melatiku yang dulu. Seorang istri yang selalu
POV Melati."Kamu beneran mau keluar dari pabrik?" tanya Linda tidak percaya. Matanya yang semula fokus dengan jahitan kini langsung menoleh ke arahku.Hanya anggukan kepala aku berikan sebagai jawaban atas pertanyaannya. DertReflek tangan Lina langsung mematikan mesin jahit. Karena tangannya terkejut terkena setruman listrik dengan tegangan kecil. Kaki Lina yang tidak menggunakan sandal membuatnya sering merasakan kejutan itu. Meskipun tidak sakit. Akan tetapi, cukup membuat kita kaget. "Terus kamu mau buka usaha apa?" tanya Lina."Belum tahu, kan nanti kalau aku sudah cerai sama Mas Bima.""Kamu udah mengajukan gugatan?""Belum sih, lagi menyiapkan keperluannya. Lagian aku harus mengajukan cuti buat mengurus semuanya. Kalau nunggu libur kan pasti hari Minggu. Mana mungkin pengadilan minggu buka," jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arah Lina."Iya juga sih, tapi beneran kamu mau cerai? Nggak akan nyesel?" Lina kembali mengulang pertanyaannya. Dia seorang janda, aku yakin dia mera
Tok … tok.Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Membuat aku yang baru saja pulang dari bekerja tergopoh-gopoh berjalan menuju pintu utama.CeklekSeorang laki-laki yang hingga kini masih bergelar suami itu berdiri tepat di hadapanku. Ia tengah menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan."Ada apa lagi, Mas. Kamu datang ke sini? Bukannya sudah jelas ya. Kalau kita akan berpisah!" ucapku setenang mungkin. "Kita nggak akan pernah berpisah, Melati. Kamu nggak bisa mengambil keputusan itu tanpa meminta persetujuanku!" sahut Mas Bima dengan rasa percaya diri yang tinggi ia berbicara lantang. Berfikir aku akan kembali menimbang keputusanku. "Kenapa tidak? Aku sudah mengajukan gugatan cerai kita di pengadilan agama!" Mas Bima yang mendengar ucapanku baru saja sontak matanya membelalak tidak percaya. Bahwa aku akan menepati ucapanku. Padahal selama ini dia pikir aku istri yang penurut, tidak akan pernah mengambil keputusan tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Sayangnya, itu Mela
"Iya, apa dijual begitu! Bisa nggak?" Aku kembali bertanya."Wah, kalau soal itu aku nggak tahu tuh. Nanti coba aku tanyakan dulu sama teman. Memangnya rumah siapa yang mau kamu jual?""Rumahnya Mas Bima?""Apa? Rumah Bima? Nggak salah?""Nggak lah, sertifikatnya aja udah ada ditanganku. Tinggal jual aja. Kan gampang! Tapi kalau bisa sih!" Aku kembali menyahut."Nanti kalau dia marah gimana? Kamu bakal dilaporkan ke pihak berwajib. Nggak usah aneh-aneh deh!" Orang yang ada di seberang telepon terdengar khawatir."Nggak Lah, tenang. Aku punya ide kok!""Ide? Apaan?" Seketika sambungan telepon aku tutup setelah panjang lebar aku menjelaskan kepada janda anak satu itu.Sudah tidak sabar lagi rasanya. Untuk segera menikmati semua uang yang akan mengalir ke dalam rekening ku itu. Semoga aja Mas Bima tidak menyadari hal itu cukup lama. Semoga saja.Jam menunjukkan angka delapan malam. Aku yang tengah duduk di depan televisi merasakan getaran-getaran perut yang minta diisi. Aku memutuskan me
POV authorJam menunjukan angka tujuh tepat. Melati sudah bersiap hendak pergi bekerja. Ini akan menjadi hari terakhirnya untuk pergi ke pabrik itu. Dia sudah memutuskan untuk keluar dari pekerjaan yang selama ini memberinya banyak uang. Melati sudah mengambil keputusan. Keputusan yang diambil setelah banyak pertimbangan. Selain dia akan mengurus perceraiannya yang memakan waktu. Dia juga berniat untuk membuka usaha.Motor matic yang berwarna hitam itu melaju membelah jalan raya. Kendaraan roda dua itu mengantarkan Melati menuju tempat kerjanya. Tidak butuh waktu lama, Melati akhirnya tiba di pelataran dimana tempatnya bekerja. Helm yang bertengger di kepalanya kini sudah berpindah tempat, yakni di atas jok."Kamu udah pikirkan matang-matang keputusan kamu, Mel?" tanya Lina, sahabat Melati. Ditatapnya wanita itu dengan seksama oleh Melati. "Sudah, Lina. Aku pengen buka usaha di rumah. Sama ngurus perceraian kan tidak sebentar.""Terus gimana Bima? Katanya kemarin pulang kerja dia nya
POV Melati"Halo, Mbak Melati." Bu Tami menyapa ketika melihatku datang bersama motor yang langsung dimatikan mesinnya. Wanita itu mendatangiku mengulurkan tangan untuk bersalaman kemudian mencium pipi kanan dan kiri."Ih, Mbak Melati ini cantik banget." Wanita itu kembali berucap. Membuatku mengulum senyum. "Terima kasih, Bu. Bagaimana ini? Apa kita langsung ke alamat rumahnya sekarang?" tanyaku pada Ibu Tami."Tapi Mbak Melati saya bawa mobil. Bagaimana kalau Mbak Melati ikut saya. Biar motor Mbak Melati dititipkan di warung itu?" Ibu Tami menunjuk warung makan sederhana yang letaknya tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku menatap sekelilingnya. Di sana ada bapak tukang parkir berseragam orange. Membuatku lega jika harus menitipkan kuda besi itu di warung tersebut."Boleh, Bu. Saya titipkan sekarang ya.""Mbak Melati kita nggak sarapan dulu?" tanya Ibu Tami membuatku menghentikan langkah."Kebetulan saya sudah sarapan. Ibu Tami mau sarapan dulu?" tanyaku."Ow, ya sudah nanti saj
Bab 25Melati duduk di karpet yang berada di lantai. Sedangkan Dinda dan juga Lina sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Hingga konsentrasi mereka buyar ketika seseorang mengucap salam."Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab ketiga wanita itu bersamaan. Netra mereka sama-sama melihat ke arah sumber suara. Dimana sosok laki-laki berdiri tegak di ambang pintu. Bibirnya melengkungkan senyuman sedangkan tatapannya yang tajam langsung bisa menembus hati para wanita. Semua orang tanpa berkedip menatap laki-laki tampan tersebut. Kecuali Dinda yang nampak berdiri menyambut kehadirannya."Eh, Tomi. Kamu kok sudah datang?" Dinda menghampiri. "Iya, kata kamu datang pagi jauh lebih baik.""Oh iya, lupa. Ini kenalkan itu Mbak melati dan juga Mbak Lina." Laki-laki bernama Tomi itu tersenyum kemudian mengulurkan tangannya pada Melati dan juga Lina. Bukannya merespon Lina dan juga Melati justru diam terpesona melihat ketampanannya."Mbak!" Tangan Dinda bergerak-gerak berharap Lina dan juga M
Bab 31Melati tidak main-main dengan ucapannya. Ia memilih mobil di salah satu showroom yang ada di kotanya. Beberapa kali wanita itu dan juga para karyawanya melihat kendaraan roda empat tersebut. Hingga pilihan Melati tertuju pada mobil berwarna hitam. "Kita lihat bagaimana reaksi mereka ketika pulang bawa mobil beneran." Lina sudah tidak sabar lagi melihat bagaimana paniknya Rosita dan juga Sonya melihat mereka nantinya."Kita makan dulu yuk!" ajak Melati pada kedua karyawannya."Lagian hari ini kita kerjanya santai. Sekali-kali makan di luar kenapa enggak." Melati sumringah. Bibirnya tidak berhenti mengulas senyum. Kendaraan yang saat ini mereka beli adalah impiannya sedari dulu. Berharap dengan kendaraan ini Melati tidak khawatir jika sewaktu-waktu ia sakit atau salah satu keluarganya. Bukan berharap terjadi, namun saat ini kendaraan roda empat memang begitu dibutuhkan disaat genting. Melati juga berharap bisa memberikan banyak manfaat untuk para tetangga dengan adanya kendaraan
"Kenapa kamu melihat Ibu seperti itu, Bim? Ada yang salah? Kamu mau menuduh ibu yang tidak-tidak?" Sebelum Rosita disalahkan, ia lebih dulu membela dirinya. "Terus kalau Sonya nggak ngaku ibu juga enggak siapa dong yang merusak usaha Melati? Masa iya aku? Mana mungkin! Buat apa coba?" Bima juga membela dirinya sendiri. Semua orang diam, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Di sisi lain, Melati berjalan dengan langkah lebar. Tangannya masih menggenggam erat ponsel kemudian ia menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa. Netra wanita itu menatap langit-langit rumah kemudian ia membuang napasnya dengan kasar. Benda pipih itu pun ia letakan asal. Sedangkan kedua tangannya lantas menangkup pada wajah. Entah mengapa bayangan wajah keluarga mantan bergulir mengusik pikirannya. Melati pun membenarkan posisi duduknya menjadi tegap, pakaian yang ada di depan matanya masih terlihat sama, berantakan dan berbau kotoran ayam. Ya Tuhan, manusia seperti apa yang sudah berani melakukan hal itu? Mel
Bima yang berada di dalam kamar mandi pun menghentikan aktivitasnya. Menajamkan Indra pendengarannya sembari memastikan namanya yang di sebut-sebut. Benar saja, berulang kali laki-laki itu dipanggil membuat Bima khawatir, entah apa yang terjadi di depan sana membuat Bima segera menyelesaikan ritual mandinya."Ada apa ini? Melati, kamu benar-benar kurang ajar! Apa-apaan ini! Lepaskan Sonya!" teriak Rosita yang baru saja keluar dari rumah. Ia melihat melihat sang menantu tengah di Jambak oleh Melati. Tanpa menjawab maupun menanggapi Rosita, wanita yang saat ini tengah diselimuti amarah itu masih saja menarik rambut Sonya. Sedangkan wanita itu masih saja berteriak kesakitan."Ibu tolongin Sonya!" Sonya bersuara, ia meminta tolong pada sang mertua. Rosita yang mendengar namanya disebut dengan kekuatan penuh mencoba melerai kedua wanita itu. Namun, usia mereka yang jauh berbeda cukup membuat Rosita kewalahan. "Ada apa ini?" Bima yang sudah berada di luar langsung menghampiri. Dengan sigap
2" Nggak papa, Bu. Lagi nggak ada kerjaan aja, jadi nggak ada lembur!" ucap Sonya dengan nada malas. "Ibu nggak mau tahu, Bim. Pokoknya kamu harus bisa bawa sertifikat itu bulan ini. Bagaimanapun caranya, kalau nggak bisa dengan cara halus. Sebaiknya kamu gunakan cara kasar! Melati harus diberi tahu siapa kita yang sebenarnya! Jangan sampai dia berada di atas angin karena kita tidak berbuat apa-apa!" Terdengar helaan napas panjang dari Bima. Kemudian ia melirik ke arah sang istri. Di sisi lain Melati melanjutkan aktivitasnya menyelesaikan pekerjaan demi pekerjaan. Gara-gara sang mantan suami datang banyak pekerjaan yang ia tinggalkan. "Seharusnya ini sudah selesai, gara-gara Bima sontoloyo itu jadinya kesorean!" gumam Melati seorang diri. Lina dan juga Dinda yang mendengarnya seketika menoleh ke arah sumber suara. "Sudahlah, Mel. Kamu harus hati-hati, keluarga suamimu. Opss, sorry mantan maksud aku. Bisa jadi mereka merencanakan sesuatu." Lina ikut memberikan tanggapan."Seharusn
"Kamu ngapain sih, Mas. Ke rumah mantanmu yang nggak jelas itu? Kamu mau minta balikan ha? Atau jangan-jangan kamu minta tinggal di rumah ini gara-gara dia lagi!" ucap Sonya sembari berkacak pinggang."Ingat ya, semua tagihan kamu sama rentenir itu aku yang bayar dan juga hidupmu aku yang tanggung! Jadi, kamu harusnya sadar diri jangan jadi laki-laki nggak punya pendirian!" Bima yang mendengar penuturan sang istri sontak matanya membulat sempurna. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Ya, setelah status duda ia sandang laki-laki itu lantas menikahi Sonya sebagai pengganti Melati. Meskipun mereka sudah saling mengenal ketika Bima masih sah menjadi suami Melati. Dulu wanita itu teman sekantor Bima, tetapi saat ini mereka berbeda kantor Bima dipindahkan ke anak perusahaan yang baru saja didirikan. "Pelankan suaramu itu, Sonya. Malu didengar banyak orang!" ucap Bima sembari melirik ke sembarang arah. Bima juga pastinya malu jika Melati melihat pemandangan ini. Dimana Bima tidak berani
"Ngomongin keluarga toxic. Heran aku, Mel. Sama mereka, apa jangan-jangan kedatangan mereka ada hubungannya sama sertifikat?" Pertanyaan Lina cukup membuat Melati terdiam memikirkannya. Benar yang dikatakan wanita itu, tidak mungkin Bima dan keluarganya pindah ke rumah itu tanpa alasan. "Kamu benar juga, tapi nggak papa. Sertifikat itu sudah aku gadai. Uangnya pun sudah di tangan aku. Walaupun mereka mau memintanya kembali. Biar mereka ambil sendiri di tempatnya Pak Rojak!" ucap Melati sembari menerawang jauh membayangkan nantinya. "Ah, pusing aku. Mending minum teh hangat ini dulu, ya nggak, Din?" "Ho'oh, lebih enak daripada bahas begituan!" Dinda memang polos, dia masih terlalu muda untuk membicarakan hal seperti itu.Melati pun kemudian ia menyeruput teh hangat yang sudah dibuatkan oleh Dinda. Setelah acara minum teh itu selesai akhirnya mereka kembali bekerja. Meskipun usaha Laundry milik Melati masih terbilang kecil, namun cukup banyak pelanggan yang sudah setia di tempat Mela
"Apa yang Anda lakukan, Bu?" Melati tidak mengerti kenapa mantan mertuanya melakukan hal tersebut. Padahal jika dilihat pakaian yang di cuci Melati sangat bersih dan wangi. Mustahil jika ini sebuah keluhan."Kamu bilang laundry kamu ini bersih dan terpercaya? Mana buktinya? Nyatanya baju-baju ini semuanya masih kotor!" ucap Rosita penuh penekanan. Membuat Melati tidak percaya. Ia menggelengkan kepalanya pelan."Astaga, Ibu kenapa pakaian Sonya di buang sih?" teriak seseorang yang mengenakan dress mini. Rosita menoleh ke sumber suara, sedangkan wanita yang baru saja bertanya itu lantas memunguti pakaian itu satu persatu sembari netranya melirik ke arah Rosita dengan tajam."Itu pakaiannya kotor! Dia ini nggak becus ngerjainnya!" sahut Rosita penuh kebencian. Sonya yang melihat Melati ada di hadapannya langsung menatapnya dengan tajam. Ia beranjak dari tempatnya sembari memperhatikan Melati. "Itu usaha laundry punya kamu?" Melati mengangguk. Ia tidak kenal dengan wanita yang kini ada d
"Ada apa?" Lina sudah menyadari ada sesuatu yang tengah terjadi. Terlihat dari cara Melati dan juga Dinda memandang."Mbak Lina, sini deh. Aku kasih tahu!" cicit Dinda membuat Lina yang usianya lebih tua berjalan menghampiri."Apaan?" "Kita punya tetangga baru!" celetuk Dinda membuat netra Lina menyipit. Ia tidak mengerti dengan pemberitahuan Dinda baru saja. Ia merasa tidak ada hubungannya dengan tetangga baru. "Terus?" "Tetangga baru kita Mas Bima." Kini giliran Melati yang menjelaskan. Lina yang mendengar Bima di sebut langsung mengingatkannya dengan mantan suami Melati. Yang sudah beberapa bulan tidak memberi kabar."Maksud kamu Bima mantan suami kamu?" Lina memperhatikan kedua temannya itu silih berganti. Melati dan juga Dinda memberikan jawaban dengan anggukan kepala bersamaan."Serius?""Serius! Duarius malah. Tu pakaian milik mereka baru Dinda cuci!" Dinda menyahut membuat Lina bertambah terkejut. Ia mengalihkan pandangannya pada Melati.Melati pun memberi tanggapan dengan