Bab 17Prang! Mas Iqbal membanting gelas ke lantai. Aku benar-benar terkejut hingga membuat tubuhku gemetaran saat melihat gelas yang hancur berkeping-keping."Maksud kamu apa? Kamu nuduh aku selingkuh?" tanya Mas Iqbal."Aku cuma tanya sama kamu! Kalau memang Rosa itu cuma teman biasa, buat apa kamu ajak dia main ke rumah Ibu?""Kamu apa-apaan? Kenapa kamu larang-larang aku bawa teman pulang ke rumah Ibu?""Jelas aku melarang kamu, Mas! Teman yang kamu bawa itu perempuan!" teriakku. "Gimana kalau situasinya dibalik? Gimana kalau aku yang bawa pulang teman laki-laki ke rumah Ibu aku? Apa menurut kamu itu pantas? Apa kamu nggak akan marah kalau aku bawa pulang laki-laki lain tanpa sepengetahuan kamu?"Mas Iqbal kembali menendang meja. "Cerewet! Aku nggak mau lagi ngomong sama kamu! Lagian kamu mau bawa pulang laki-laki ke mana, ke kuburan? Ibu kamu 'kan udah mati!""Aku nggak suka kamu deket-deket sama perempuan itu!" ucapku."Kamu nggak berhak larang-larang aku! Jangan pernah ikut ca
Bab 18Aku berbaring sendirian di dalam kamar. Mas Iqbal sudah pergi beberapa jam yang lalu. Dia pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun padaku. Sepertinya aku hanya dianggap nyamuk yang tidak penting baginya."Biarin ajalah Mas Iqbal pergi. Paling juga dia pulang ke rumah Ibunya," gumamku.Aku tidak perlu mencemaskan Mas Iqbal. Sebelum aku mengkhawatirkan Mas Iqbal, lebih baik aku mencemaskan diriku sendiri. Nasibku sudah di ujung tanduk. Jika sudah begini, aku tidak yakin bisa menyelamatkan rumah tangga yang semakin hari semakin terasa tidak sehat ini."Aku harus bisa mengurus toko Bu Wulan dengan baik. Aku harus jadi perempuan yang tangguh dan mandiri. Aku harus punya penghasilan tetap dan punya tabungan sebelum aku berpisah dengan Mas Iqbal!"Aku sudah tidak mau berharap banyak lagi. Aku ikhlas jika rumah tanggaku memang harus berakhir. Aku harus mulai bersiap-siap untuk hidup mandiri dan berdiri di kakiku sendiri."Fokus! Jangan mikirin hal yang nggak penting. Aku har
Bab 19"Tenang dulu, Mba. Bicara pelan-pelan. Ada masalah apa, Mba? Kenapa Mba Mira menangis?" tanyaku dengan penuh hati-hati.Tangisan Mba Mira membuatku cemas dan panik. Karena selama aku mengenalnya, aku belum pernah melihatnya menangis seperti itu. Apa mungkin Mba Mira bertengkar dengan Pak Rayhan? Atau Mba Mira mengalami musibah besar yang tak terduga?"Maafin Mba, telepon kamu pagi-pagi begini," ucap Mba Mira masih sambil terisak. "Sekarang Mba lagi ada di rumah sakit. Mama ... Mama udah pergi, Mel. Maafin Mama juga ya, kalau seandainya Mama ada salah sama kamu."Untuk sesaat aku tidak bisa berkata apa-apa. Jantungku berdegup kencang, otakku seakan tidak bisa berpikir. Mama siapa yang dimaksud oleh Mba Mira? Apa itu ... Bu Wulan?"Innalilahi wainailaihi roji'un. Maksud Mba Mira apa? Siapa yang meninggal, Mba?""Mama Wulan, Mel. Mamanya Mas Rayhan," ungkap Mba Miranti, tangisnya kembali pecah setelah mengatakan berita duka itu.Aku menutup mulutku dengan telapak tangan, bahkan tu
Bab 20Aku menatap pantulan tubuhku di cermin besar yang ada di kamar. Hari ini aku sengaja memakai pakaian yang lebih rapi dari biasanya karena aku akan pergi ke kafe setelah satu minggu mengambil cuti karena harus menemani Mba Mira yang masih berkabung.Setelah taksi online yang kupesan datang, aku segera meluncur menuju ruko tiga lantai yang kini sudah sah menjadi milikku. Tak memakan waktu lama aku pun sampai dan langsung membayar ongkos sesuai tarif di aplikasi."Kayaknya aku harus beli motor untuk menghemat ongkos. Nanti aku pikirkan lagi deh," batinku sambil melangkah memasuki ruko."Selamat pagi," sapaku pada beberapa karyawan yang sudah sampai lebih dulu."Selamat pagi juga, Mba," sambut pegawai yang lain."Maaf ya, saya kelamaan nggak masuk," sahutku seraya melempar senyum pada semua orang yang menyambutku.Tak lama setelah aku sampai, Mbak Mira dan Pak Rayhan juga datang. Kami diminta untuk berkumpul karena ada yang ingin disampaikan oleh Pak Rayhan selaku putra tunggal alm
Bab 21"Hentikan!"Suara seorang laki-laki terdengar menggelegar, membuat tangan Indri yang akan menampar wajahku berhenti di udara.Refleks kami menoleh bersamaan ke arah sumber suara, dan ternyata yang datang adalah Hendra, sepupu Pak Rayhan. Seperti biasanya laki-laki itu mengenakan pakaian yang slim fit, hingga membuat tubuhnya yang tinggi tegap terlihat semakin keren."Tolong jangan membuat keributan di tempat ini!" Hendra menatap tajam Indri, matanya mengunci seolah sedang mengintimidasi.Aku bahkan baru menyadari kalau ternyata Hendra memiliki mata yang sangat tajam. Tatapannya seperti seekor elang yang akan menyergap mangsanya.Sementara itu Indri dan Rosa terdiam, terutama Indri. Adik iparku itu seakan terhipnotis oleh ketampanan Hendra yang memang di atas rata-rata."Maaf Mba, tolong jaga sopan santun anda di depan umum!" sentak Hendra membuat Indri akhirnya tersadar dari keterpukauannya.Indri menurunkan tangannya dan segera menjauh dariku. Gadis itu langsung menurut dengan
Bab 22Sudah berhari-hari Mas Iqbal pergi dan tidak memberi kabar padaku. Aku yakin Mas Iqbal baik-baik saja, mungkin sekarang malah sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya itu."Kamu pasti makin bebas ya, Mas? Kamu bisa jalan dan video call sama Rosa tanpa takut ketahuan sama aku."Aku masih mengurungkan niatku untuk melaporkan perselingkuhan Mas Iqbal dan Rosa ke pihak sekolah. Untuk saat ini, aku akan memprioritaskan toko kueku terlebih dahulu.Setelah toko kueku maju pesat, baru aku akan membongkar perselingkuhan Mas Iqbal dan menggugat cerai. Aku tidak akan berharap lagi pada pernikahan ini. Aku akan hidup mandiri dan berdiri di kakiku sendiri."Silahkan kamu bersenang-senang dulu, Mas. Aku akan beri kesempatan buat kamu kencan dengan bebas sama Rosa."*Pagi harinya aku bangun lebih awal dari biasanya lalu segera bersiap untuk berangkat ke kafe. Rencananya hari ini aku akan memakai pakaian yang dibelikan oleh Mba Mira kemarin."Apa nggak apa-apa aku pakai baju kayak gini k
Bab 23Kata-kata ibu mertua terus terngiang di kepalaku. Aku tak menyangka Bu Dahlia tega mengatakan hal kejam seperti itu padaku. "Dia bilang menyesal menikahkan anaknya denganku? Memangnya aku udah ngapain?" gumamku. "Mas Iqbal yang udah bikin kecewa. Mas Iqbal yang udah berkhianat. Harusnya aku yang menyesal ...."Ucapan mertuaku tadi membuatku tidak fokus bekerja. Sore harinya, aku bergegas pulang dan beristirahat di rumah. Aku tak melakukan apa pun selain merebahkan diri di tempat tidur. Sayuran yang aku beli tadi hanya aku letakkan di kulkas, tanpa aku sentuh. Selera makanku pun sudah hilang."Apa aku memang bukan istri yang baik? Apa aku bukan menantu yang baik? Apa Mas Iqbal selingkuh karena aku yang nggak cukup baik?" gumamku.Aku jadi mulai menyalahkan diriku sendiri. Apa mungkin Mas Iqbal mencari perempuan lain karena aku yang memang tidak bisa menjadi istri yang dia mau? Tapi apapun alasannya, selingkuh tetaplah sal
Bab 24Begitu azan subuh berkumandang, aku segera bangkit dari tempat tidur dan memulai hariku yang sibuk. Meski kesal dengan perkataan Mas Iqbal semalam, tapi aku berusaha untuk tidak memasukkannya ke dalam hati. Aku tidak menggubris sedikitpun nasehat dari tukang selingkuh itu.Aku segera membereskan rumah dan membersihkan diri, kemudian bersiap berangkat ke kafe dengan mengenakan pakaian yang dilarang oleh Mas Iqbal."Mel ...!"Mas Iqbal menghampiriku dan menghadang jalanku saat aku hendak keluar dari rumah. Mas Iqbal tiba-tiba melotot padaku tanpa melanjutkan kalimatnya. Mungkin Mas Iqbal kesal padaku karena aku memakai baju baru dari Mbak Mira."Iya, ada apa?""K-kamu mau ke mana pakai baju kayak gini?""Aku mau kerja!" ketusku pada Mas Iqbal."Kerja?""Aku harus pergi sekarang!"Mas Iqbal masih terus mengoceh, tapi aku tak peduli. Setelah perdebatanku dengan Mas Iqbal semalam, hubunganku
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang