Bab 23
Kata-kata ibu mertua terus terngiang di kepalaku. Aku tak menyangka Bu Dahlia tega mengatakan hal kejam seperti itu padaku."Dia bilang menyesal menikahkan anaknya denganku? Memangnya aku udah ngapain?" gumamku. "Mas Iqbal yang udah bikin kecewa. Mas Iqbal yang udah berkhianat. Harusnya aku yang menyesal ...."Ucapan mertuaku tadi membuatku tidak fokus bekerja. Sore harinya, aku bergegas pulang dan beristirahat di rumah.Aku tak melakukan apa pun selain merebahkan diri di tempat tidur. Sayuran yang aku beli tadi hanya aku letakkan di kulkas, tanpa aku sentuh. Selera makanku pun sudah hilang."Apa aku memang bukan istri yang baik? Apa aku bukan menantu yang baik? Apa Mas Iqbal selingkuh karena aku yang nggak cukup baik?" gumamku.Aku jadi mulai menyalahkan diriku sendiri. Apa mungkin Mas Iqbal mencari perempuan lain karena aku yang memang tidak bisa menjadi istri yang dia mau? Tapi apapun alasannya, selingkuh tetaplah salBab 24Begitu azan subuh berkumandang, aku segera bangkit dari tempat tidur dan memulai hariku yang sibuk. Meski kesal dengan perkataan Mas Iqbal semalam, tapi aku berusaha untuk tidak memasukkannya ke dalam hati. Aku tidak menggubris sedikitpun nasehat dari tukang selingkuh itu.Aku segera membereskan rumah dan membersihkan diri, kemudian bersiap berangkat ke kafe dengan mengenakan pakaian yang dilarang oleh Mas Iqbal."Mel ...!"Mas Iqbal menghampiriku dan menghadang jalanku saat aku hendak keluar dari rumah. Mas Iqbal tiba-tiba melotot padaku tanpa melanjutkan kalimatnya. Mungkin Mas Iqbal kesal padaku karena aku memakai baju baru dari Mbak Mira."Iya, ada apa?""K-kamu mau ke mana pakai baju kayak gini?""Aku mau kerja!" ketusku pada Mas Iqbal."Kerja?""Aku harus pergi sekarang!"Mas Iqbal masih terus mengoceh, tapi aku tak peduli. Setelah perdebatanku dengan Mas Iqbal semalam, hubunganku
Bab 25Mas Iqbal dan Indri pergi meninggalkan kafe tanpa membuat keributan. Mereka juga tidak mempedulikan aku apalagi menyapaku selama mereka berada di kafe."Aku ke dapur dulu ya Mba, Mas?" pamitku pada Mba Mira dan Hendra."Mau ngapain balik ke dapur?""Nggak enak sama yang lain kalau aku duduk terus, Mba," sahutku.Aku bangkit dari kursi, kemudian bergegas kembali ke dapur hingga jam pulang tiba. Saat aku kembali ke depan, ternyata Mba Mira dan Hendra masih ada di sana. Mereka berdua masih berbincang sampai aku berpamitan pulang."Mba Mira belum mau pulang?" tanyaku pada Mba Mira."Kamu mau pulang sekarang?" Mba Mira malah balik nanya."Iya, Mba." Aku sudah mengambil tasku dan bersiap untuk meninggalkan kafe. Kulihat Hendra tiba-tiba ikut bangkit dari kursi, kemudian menghampiriku."Aku juga mau pulang. Ayo bareng sama aku aja, Mel," ajak Hendra padaku.Tawaran dari Hendra membuatku bingung
Bab 26Setelah bertengkar dengan Mas Iqbal, aku tidur di dalam kamar sementara Mas Iqbal tidur di ruang tengah. Aku kembali mengunci pintu kamar dan tidak membiarkan Mas Iqbal masuk. Mas Iqbal terus berteriak dan ngomel cukup lama hingga membuatku tak bisa tidur.Aku sudah tak sabar menunggu pagi tiba. Aku akan segera pergi ke sekolah untuk membuat pengaduan. Aku sudah menyiapkan video rekaman CCTV saat Mas Iqbal melakukan panggilan video dengan Rosa. Aku juga sudah mengumpulkan foto-foto yang sudah dikirimkan oleh Rosa pada Mas Iqbal. Ada banyak foto tidak senonoh yang dikirim oleh Rosa melalui WhatsApp. Tidak hanya Rosa saja yang sering mengirim foto, tapi ternyata Mas Iqbal juga membalas Rosa dengan mengirim foto-foto fulgar.Selain itu, aku juga mengumpulkan screenshot percakapan Rosa dan Mas Iqbal di WhatsApp. Aku sudah mencetak semua foto dan screenshot chat yang sudah aku kumpulkan. Aku yakin semua bahan bukti yang aku kumpulkan sudah cukup untuk me
Bab 27Selama seharian, aku sibuk mencari keberadaan ponselku. Karena aku tidak mempunyai ponsel lain, aku jadi tidak bisa menghubungi nomorku sendiri."Apa mungkin ponselku jatuh di jalan? Atau ... ketinggalan di sekolahan?"Aku berusaha mengingat-ingat di mana terakhir kali aku meletakkan ponsel, tapi sayangnya aku tak bisa mengingat apa pun. Terpaksa aku harus menunggu sampai mendapatkan pinjaman ponsel agar bisa menghubungi nomorku.Sore hari, Mas Iqbal pulang ke rumah seperti biasa. Aku sengaja mengabaikan Mas Iqbal, aku tidak mau berbicara sedikit pun dengannya. Setiap kali Mas Iqbal berbicara padaku, aku langsung pergi tanpa menanggapinya sedikit pun."Mel, kamu kenapa diamin aku? Kamu marah sama aku? Harusnya yang marah itu aku!" omel Mas Iqbal kesal karena aku mendiamkannya seharian.Kubiarkan saja Mas Iqbal mengoceh sampai lelah. Aku berusaha menikmati istirahatku dan menjalani hari seperti biasa sembari menunggu kabar
Bab 28"Melati!"Suara teriakan Mas Iqbal membuatku terperanjat. Aku baru saja sampai di rumah setelah berbelanja dari warung. Mas Iqbal yang sudah menghadang di depan pintu, tiba-tiba membentak dan menghampiriku dengan wajah garang."Sini kamu!" sentak Mas Iqbal.Mas Iqbal sekarang pasti sedang panik karena gosip yang beredar. Tapi, bukankah seharusnya aku yang marah? Mas Iqbal sudah ketahuan selingkuh dan berita ini telah diketahui oleh banyak orang. Harusnya aku yang marah dan berteriak pada Mas Iqbal sekarang."Kenapa?" tanyaku dengan wajah datar.Mas Iqbal mencengkram erat pundaku, kemudian menarik rambutku dengan kasar. Mas Iqbal menjambakku, kemudian menyeretku masuk ke dalam rumah."Kamu kenapa sih, Mas?" teriakku berusaha melepaskan diri dari Mas Iqbal. Rambutku hampir rontok karena dijambak oleh Mas Iqbal."Kamu masih berani nanya? Nggak usah pura-pura bodoh! Kamu pikir aku nggak tahu apa yang udah kamu lak
Bab 29Aku duduk sendirian di kursi ruang tamu tanpa melakukan apapun. Aku masih shock mengingat keributan yang terjadi antara aku dan Mas Iqbal sebelumnya. Mas Iqbal sudah pergi dan tidak kembali hingga malam tiba. Baguslah!Karena pertengkaranku dengan Mas Iqbal, lagi-lagi hari ini aku absen dan tidak pergi ke kafe seperti biasanya. Aku juga belum mencari cara untuk menemukan ponselku yang hilang. Pikiranku saat ini penuh dengan masalah rumah tanggaku yang semakin pelik."Sebaiknya aku segera bercerai sama Mas Iqbal." Aku masih memikirkan ucapan Pak RT tadi. Pak RT menawarkan untuk membuat laporan atas kasus KDRT. Tetapi aku masih ragu. Sebenarnya aku tidak ingin memperpanjang masalah ini, apalagi sampai melibatkan hukum. Mas Iqbal sudah mendapatkan hukuman yang pantas. Dia sudah dipermalukan oleh kelakuannya sendiri, dia juga sudah kehilangan muka di tempat kerjanya. Aku rasa hal ini sudah lebih dari cukup untuk memukul mental Mas Iqbal. Apalagi saat ak
Bab 30"Keterlaluan kamu, Melati!"Bu Dahlia langsung berteriak begitu masuk ke dalam rumah. Indri juga melempar tatapan tajam padaku dan ikut meninggikan suara di depanku."Dasar istri durhaka! Harusnya kamu nggak melakukan hal ini sama Mas Iqbal!" bentak Indri padaku."Tega banget kamu sama suami sendiri. Apa kamu merasa senang udah merusak nama baik Iqbal? Apa kamu merasa senang udah bikin hidup Iqbal hancur? Gara-gara kamu, Ibu sama Indri juga ikut kena getah! Orang-orang jadi ikut membicarakan Ibu sama Indri. Ibu sama Indri jadi ikutan nggak punya muka lagi di depan orang-orang!"Ternyata mereka datang ke sini hanya untuk menghakimiku. Padahal sudah jelas Mas Iqbal yang bersalah, tapi ibu mertua dan adik iparku justru memaki dan menyalahkan aku."Iqbal nggak bisa pergi kerja! Iqbal juga nggak bisa keluar rumah! Kalau Iqbal nggak kerja, Ibu sama Indri mau makan apa? Tega kamu memfitnah suami sendiri! Selama ini kamu bisa hidu
Bab 31Kepalaku terasa pusing. Semalaman aku tak bisa tidur. Semua masalah dan keributan yang terjadi akhir-akhir ini membuatku tak bisa beristirahat dengan tenang."Gimana aku bisa fokus kerja kalau pikiranku kacau begini?" gumamku.Ponselku berdering dengan kencang. Aku segera mengambil benda pipih itu dan mengangkat panggilan telepon dari Mba Mira.Pasti Mba Mira sudah tahu tentang berita viral yang sedang beredar. Bisa jadi semua pegawai di kafe sudah tahu tentang masalah yang sedang kuhadapi sekarang."Halo, Mel. Kamu di mana sekarang? Kamu ada di rumah, 'kan?""Iya, Mba. Aku ada di rumah. Ada apa, Mba?""Untuk sementara waktu kamu nggak usah datang dulu ke cafe. Istirahat aja di rumah, nggak usah mikirin kerjaan. Soal kerjaan di kafe biar Mba yang akan handle semua selama kamu belum bisa masuk kerja."Mba Mira langsung menawarkan bantuan tanpa banyak tanya tentang permasalahan rumah tangga yang sedang aku
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang