"Dila, Mama suruh kamu pulang sekarang! Jangan membantah!" perintah Mama Desti masih dalam sambungan telepon. "I-iya, Mah," jawab Mbak Dila terbata-bata. "Awas kamu ya, Mama terus mengawasi kamu!" celetuk Mama Desti lagi. Kemudian telepon pun terputus, Mbak Dila pun mematung tanpa mengeluarkan suara. Sedangkan Mas Gerry menarik lengannya. "Kami pamit dulu ya, Nilam," ucap Mas Gerry sambil menarik lengan Mbak Dila. Sementara Mbak Dila yang sudah berdiri pun menyorotku. "Kenapa nggak jadi ngomong Mbak?" tanyaku saat ia berdiri. "Belum saatnya Nilam," sahut Mbak Dila. "Pengecut," cetusku sambil menarik senyuman miring. "Orang kaya bebas ya mau ngehujat apa pun, ada bodyguard yang memantau, itu artinya kamu yang pengecut, Nilam," timpal Mbak Dila. "Lebih baik buruan pulang, aku bisa cari tahu sendiri tanpa dari Mbak Dila, rugi waktuku aja sebenarnya perjalanan ke sini," celetukku lagi. Mbak Dila pun menurunkan bahunya, ia menghela napas kasar dan beranjak pergi bersama Mas Gerry
Mas Arlan mengangkat telepon di hadapanku. Ia mengaktifkan speaker agar aku bisa dengar percakapan mereka. "Halo, Tante," ucap Mas Arlan. "Arlan, Tante lagi di Jakarta lagi nih, kata Mbak Desti, pernikahan Hesti maju minggu depan? Ini makanya disuruh ke rumahnya, eh pas sampai rumah Mbak Desti ternyata kamu sudah tidak tinggal di sini," ungkap Tante Dian membuat Mas Arlan menoleh ke arahku.Tante Dian seolah-olah hadir menjadi malaikat penolong, padahal ia pun termasuk orang dalam daftar pelindung mama. "I-iya, Tante, kami berdua sudah tidak tinggal di sana," jawab Mas Arlan gugup. "Tante juga baru tahu kalau Mama kamu sudah tahu ya tentang jati diri Nilam, padahal beneran deh Tante dan Om Khalil tidak mengatakannya pada Mbak Desti." Kalau hal ini memang sepertinya mereka tidak mengatakan padanya, adik dari Mama Desti hanya disuruh bungkam atas kejadian 15 tahun silam, bukan 25 tahun silam yang seperti ia sebutkan pada waktu itu. "Emm, iya Tante," jawab Mas Arlan singkat. "Kok k
Mbok Nur terlihat menghela napasnya, lalu membasahi bibir untuk memulai cerita. "Bu Desti itu diselingkuhi oleh papamu, lalu yang dipilih Kinan pada saat Bu Desti meminta papamu untuk memilih. Mbok tahu bagaimana rasanya Bu Desti waktu itu, ia sakit, tapi akhirnya Bu Desti milih untuk ikhlas dimadu. Bu Kinan, ibumu itu sedikit cerita setelah melahirkan, sebenernya tidak tahu kalau papamu sudah punya istri, mereka menikah siri saat Bapak ada tugas di luar kota, ketahuannya pun Bapak yang menceritakan," terang Mbok Nur membuatku terperangah. Kisahnya kenapa persis Mas Gerry dan Mbak Dila? Ia selingkuh dan lebih memilih Calista. Namun mereka ada bedanya, Mama Kinan tidak tahu kalau ia adalah istri muda. Sedangkan Calista, tahu betul bahwa Mas Gerry memiliki seorang istri. "Terus, Mbok. Bagaimana cara Mama Desti membunuh Mama Kinan? Kenapa yang di penjara itu Mas Bayu, kakak kandungnya Mbak Dila?" tanyaku penasaran. "Kok kalian tahu tentang Bayu?" tanya Mbok Nur balik. "Mas Gerry cer
Hesti berdiri tegak dengan disertai suara isak tangis. Mata Hesti fokus ke arah Mama Hesti. "Mah, kalau begini, pernikahanku pasti akan batal, mana mungkin Mas Adit mau dengan anak seorang pembunuh," lirih Hesti. Kini ada jeritan tangis dari mulut Mama Desti, ia memeluk Hesti, putri satu-satunya. "Hes, maafkan Mama," lirih Mama Desti. "Hancur sudah masa depanku, Mah," celetuk Hesti. "Kalau Adit tidak mau terima, lebih baik batal saja, laki-laki yang baik itu pasti menerima pasangan apa adanya," cetus Mas Arlan. Aku terdiam sejenak, sambil melihat wajah Hesti. Kemudian, ia beranjak pergi ke kamarnya dan meninggalkan kami. 'Apa maksud dari ucapan Hesti barusan? Masa depannya hancur jika pernikahan dibatalkan?' tanyaku di dalam hati. Aku tidak mendengar Mbak Dila bicara, sikapnya juga diam tapi penuh makna. Setelah Hesti pergi, barulah ia bangkit dari duduknya sambil mengibaskan bajunya. "Gara-gara Mama Desti Mas Bayu jadi dianggap pembunuh oleh tetangga dan temannya, apa itu ar
Mas Arlan dan Mas Gerry mencoba bujuk adiknya. Akhirnya Hesti keluar dari lemari. Namun, tangannya yang mengepal belum ia buka. Mama Desti mendekati putrinya, lalu duduk di sebelah Hesti. "Kamu takut Mama di penjara?" tanya Mama Desti. "Kalau itu dilakukan kedua kakakmu, berati mereka tega," tambah Mama Desti menghasut anaknya. Aku hanya menghela napas. Mencoba tidak ikut campur dalam menyelesaikan masalah yang satu ini. Kemudian, Mas Gerry duduk juga di dekat Hesti, berjejer dengan Mama Desti. "Mah, diamlah, jangan jadi penghasut," ucap Mas Gerry. "Hei, anak durhaka kamu bilang seperti itu, yang penghasut tuh Nilam, dia orang lain loh, yang tiba-tiba masuk ke rumah ini, lalu seakan jadi pahlawan yang menguak semuanya, padahal tidak perlu dibuka kita akan tetap akur dan tentram, sejak kehadiran Nilam aja semuanya berantakan," cetus Mama Desti dengan segala macam tuduhan. Matanya dengan sengaja melirik ke arahku. Padahal dari tadi sengaja tidak bicara satu kata pun padanya. Seba
Benar dugaanku, kalau Mama Desti ada hubungan spesial dengan Rifat, nggak mungkin kalau ia membantu sampai segitunya, tapi ia bicara dengan siapa barusan? Tangan Mas Arlan mengepal, ia tidak sabaran, dan kali ini tidak mampu mengendalikan emosinya. Nasi goreng masih banyak pun tidak ia singkirkan, seakan-akan memang sudah tidak napsu lagi menelan makanan. "Pokoknya saya bayar pengacara supaya tahu gimana caranya kasus ini tidak akan dibuka kembali," cetus Rifat lagi. Kemudian telepon ia matikan setelah orang yang diseberang sana mendengar semua perintahnya. Aku tetap di kursi, tidak menghampiri Rifat dan menanyakan maksudnya. Sebab, ia orang berbahaya yang selalu ada di antara peran Mama Desti selama ini. Kulihat ia bangkit dari duduknya, tampaknya tidak jadi bertemu dengan orang yang ia ajak bicara di telepon tadi. Mas Arlan pun sontak membuka masker ketika dipastikan Rifat tak berada di restoran kecil ini. "Sepertinya Rifat tadi mau ketemu pengacara, tapi batal, makanya ia kesa
"Sudahlah, jangan buang waktu, cepat katakan apa yang ingin Mbak bicarakan," suruhku tanpa basa-basi. "Aku ingin menawarkan kerja sama, bagaimana?" tanya Mbak Dila membuatku mengernyitkan dahi. "Kerja sama dengan Mbak? Sorry, nggak sudi!" cetusku asal jeplak. Aku rasa ia hanya jadi benalu saja, tidak mungkin orang sepertinya akan mengikuti alur perintahku. Yang ada nanti malah dirinya yang nyuruh-nyuruh. "Kamu nggak tertarik untuk cari tahu siapa Rifat?" tanya Mbak Dila. Wajahnya langsung tersenyum berlagak seperti orang yang menang. Sepertinya ia tahu aku membutuhkan informasi tentang Rifat, dan Mas Bayu adalah anteknya. "Nggak, aku bisa cari tahu sendiri tentang siapa pun, nggak perlu kerja sama dengan Mbak Dila," senyumku menarik perhatian sang kakak dari Mbak Dila yang berada di sebelahnya. "Oh ini istrinya Arlan, benar juga ya ternyata sombongnya luar biasa," celetuk Mas Bayu sambil mengangkat lengan bajunya. "Ya, begini yang kubilang, dia sombongnya luar biasa, padahal ha
Mbak Dila menyunggingkan senyuman dengan kedua tangan dilipat di atas dada. Cara jalannya menunjukkan seperti orang yang tidak punya rasa bersalah, padahal tadi pagi sudah membuat gaduh di rumahku."Hai semuanya, apa kabar? Kok Hesti sakit aku nggak dikasih info? Kalian jahat deh, aku kan masih keluarga. Jangan mentang-mentang udah ada Nilam yang kaya raya kalian lupa denganku, nggak ingat ya semua rahasia aku yang pegang," ucap Mbak Dila memang selalu menguji kesabaran. Gaya bahasanya kalau bicara seperti orang ngajak ribut. Kedengarannya juga sangat tidak cocok untuk menjenguk. "Haduh, ular kenapa bisa melintasi rumah sakit sih? Mbak Dila ke sini lewat gorong-gorong?" ejekku gantian, tawa renyah terdengar dari sudut sebelah Hesti, mamanya Adit turut menertawakan saat mendengar celetukkanku. Namun, Mas Arlan mengedipkan mata saat menyorotku sempurna. Mbak Dila menghampiriku, lalu berdiri tepat di depanku. "Kamu nggak usah sok jadi pahlawan, kan tujuan kita sama, menghancurkan kelu