Benar dugaanku, kalau Mama Desti ada hubungan spesial dengan Rifat, nggak mungkin kalau ia membantu sampai segitunya, tapi ia bicara dengan siapa barusan? Tangan Mas Arlan mengepal, ia tidak sabaran, dan kali ini tidak mampu mengendalikan emosinya. Nasi goreng masih banyak pun tidak ia singkirkan, seakan-akan memang sudah tidak napsu lagi menelan makanan. "Pokoknya saya bayar pengacara supaya tahu gimana caranya kasus ini tidak akan dibuka kembali," cetus Rifat lagi. Kemudian telepon ia matikan setelah orang yang diseberang sana mendengar semua perintahnya. Aku tetap di kursi, tidak menghampiri Rifat dan menanyakan maksudnya. Sebab, ia orang berbahaya yang selalu ada di antara peran Mama Desti selama ini. Kulihat ia bangkit dari duduknya, tampaknya tidak jadi bertemu dengan orang yang ia ajak bicara di telepon tadi. Mas Arlan pun sontak membuka masker ketika dipastikan Rifat tak berada di restoran kecil ini. "Sepertinya Rifat tadi mau ketemu pengacara, tapi batal, makanya ia kesa
"Sudahlah, jangan buang waktu, cepat katakan apa yang ingin Mbak bicarakan," suruhku tanpa basa-basi. "Aku ingin menawarkan kerja sama, bagaimana?" tanya Mbak Dila membuatku mengernyitkan dahi. "Kerja sama dengan Mbak? Sorry, nggak sudi!" cetusku asal jeplak. Aku rasa ia hanya jadi benalu saja, tidak mungkin orang sepertinya akan mengikuti alur perintahku. Yang ada nanti malah dirinya yang nyuruh-nyuruh. "Kamu nggak tertarik untuk cari tahu siapa Rifat?" tanya Mbak Dila. Wajahnya langsung tersenyum berlagak seperti orang yang menang. Sepertinya ia tahu aku membutuhkan informasi tentang Rifat, dan Mas Bayu adalah anteknya. "Nggak, aku bisa cari tahu sendiri tentang siapa pun, nggak perlu kerja sama dengan Mbak Dila," senyumku menarik perhatian sang kakak dari Mbak Dila yang berada di sebelahnya. "Oh ini istrinya Arlan, benar juga ya ternyata sombongnya luar biasa," celetuk Mas Bayu sambil mengangkat lengan bajunya. "Ya, begini yang kubilang, dia sombongnya luar biasa, padahal ha
Mbak Dila menyunggingkan senyuman dengan kedua tangan dilipat di atas dada. Cara jalannya menunjukkan seperti orang yang tidak punya rasa bersalah, padahal tadi pagi sudah membuat gaduh di rumahku."Hai semuanya, apa kabar? Kok Hesti sakit aku nggak dikasih info? Kalian jahat deh, aku kan masih keluarga. Jangan mentang-mentang udah ada Nilam yang kaya raya kalian lupa denganku, nggak ingat ya semua rahasia aku yang pegang," ucap Mbak Dila memang selalu menguji kesabaran. Gaya bahasanya kalau bicara seperti orang ngajak ribut. Kedengarannya juga sangat tidak cocok untuk menjenguk. "Haduh, ular kenapa bisa melintasi rumah sakit sih? Mbak Dila ke sini lewat gorong-gorong?" ejekku gantian, tawa renyah terdengar dari sudut sebelah Hesti, mamanya Adit turut menertawakan saat mendengar celetukkanku. Namun, Mas Arlan mengedipkan mata saat menyorotku sempurna. Mbak Dila menghampiriku, lalu berdiri tepat di depanku. "Kamu nggak usah sok jadi pahlawan, kan tujuan kita sama, menghancurkan kelu
Aku memberikan isyarat untuk berhenti bicara pada Pak Juna, sebab khawatir polisi dengar dan malah repot dimintai keterangan. Pak Juna hanya menyaksikan pertengkarannya bukan kecelakaan. Kemudian, aku kembali ke tempat mereka berbicara. Sedangkan Pak Juna aku suruh diam dulu untuk sementara waktu. "Jadi apa penyebab kecelakaannya, Mas?" tanyaku saat bergabung kembali. "Masih ditelusuri, tapi yang jelas memang saat berada di mobil Calistanya sendiri," terang Mas Arlan. "Bagaimana dengan saksi dalam kecelakaan? Apa ini kecelakaan tunggal atau Calista ditabrak?" cecarku lagi. "Ini polisi lagi mau jelaskan tapi ada telepon masuk sebentar," kata Mas Arlan. Kami menunggu sekitar dua menit, polisi tadi menutup telepon dan bicara pada kami lagi. Posisiku berdiri tegak di depan polisi. "Ya, jadi untuk sementara dugaan kami kecelakaan tunggal, karena tidak ada mobil lain yang celaka di sana," jelas polisi. "Oh gitu, masih dalam penyelidikan kan, Pak?" tanya Mas Gerry. "Kalau keluarga k
Mbak Dila pun berlaku pergi, ia berlenggak lenggok masuk ke dalam restoran. "Apa kita masuk, Mas?" tanyaku pada suami. "Dila hapal muka kita, meski menyamar pun pasti tahu," timpal Mas Arlan. "Apa Pak Juna? Tapi dia kali Mbak Dila ke rumah selalu ada Pak Juna, itu artinya ia sudah hapal wajahnya juga," cetusku padanya. Kulihat ke arah Pak Juna yang tiba-tiba menyambangi seseorang wanita dan bersalaman dengannya. Seketika itu juga aku punya inisiatif untuk meminta tolong padanya. "Mas, kamu duluan ke mobil, aku ngomong ke Pak Juna sebentar," suruhku."Kamu hati-hati," jawab Mas Arlan sambil membuka pintu mobil. Aku menghampiri Pak Juna yang tengah ngobrol. Kuajak mereka melipir ke pinggir sejenak. "Ini siapanya Pak Juna?" Aku bertanya pada bodyguard yang tengah bicara dengan seorang wanita sepantaran Mbak Dila. "Ini kakak saya, Bu, Bunga namanya," ucap Pak Juna. "Boleh minta tolong, Pak?" tanyaku. Wanita itu menoleh dan tersenyum sambil menundukkan wajahnya. "Dengan senang h
"Itu kamarku, kalian sembunyi di sana, cepat!" suruh Ryan. "Nggak keburu, pasti kelihatan kalau kita buka pintu kamar," timpal Mas Arlan. Kemudian, Ryan berdecak kesal sambil keluar, sedangkan aku dan Mas Arlan akhirnya bersembunyi di balik sofa. Kami duduk sambil menutup mulut supaya helaan napas tak terdengar ke telinga Rifat. Berselang kemudian,suara Ryan kedengaran masuk bersama Rifat. "Kata satpam, tadi ada tamu, mana tamunya?" tanya Rifat kedengaran sangat penasaran. Sebab, satpam sudah terlanjur memberi informasi bahwa Ryan sedang menerima tamu. "Nggak kok, Om, tamunya udah pulang sepuluh menit yang lalu, tadi pas satpam keluar beli rokok," sanggah Ryan jelas berbohong. Sebisa mungkin aku tidak bicara, dan ingat untuk nonaktifkan ponsel lebih dulu. Aku rogoh ponsel yang kusimpan di dalam saku celana kemudian mematikannya. Begitu juga dengan Mas Arlan, ini untuk mengantisipasi hal yang tidak terduga. Ryan terdiam, agak sepi sejenak, entah apa yang mereka lakukan, aku hany
"Iya, nanti aku coba bicara pada Nilam dan Om Farhan," jawab Mas Arlan. Kemudian ia memutuskan telepon setelah mengucapkan salam. Kami semua duduk tegak saat tengah sarapan, sepertinya kabar yang diberikan oleh Mas Gerry adalah kabar buruk tentang Calista. Posisi kami hampir serentak sama, apalagi papa yang tadi sempat dengar bahwa aku menyebutkan nama Kiara. Mas Arlan meneguk air putih yang ada di meja. Setelah itu siap berbicara dengan kami. "Ngomong apa Mas Gerry tadi?" tanyaku sambil posisi kepala agak miring ke samping. "Jadi tadi Mas Gerry minta tolong padaku, ia minta pertolongan untuk menjaga Calista, sebab kondisinya bisa menurun karena ada yang mutusin selang infus dan oksigennya di saat Mas Gerry keluar makan. Beruntung nyawa Calista masih bisa tertolong, tapi agak sedikit lemah sekarang, karena belum waktunya copot selang infus dan oksigen, sudah ada yang memutuskannya," terang Mas Arlan. "Apa ini ada kaitannya dengan ucapan kamu tadi, Nilam? Tentang Kiara," sambung
"Maksud kamu itu apa, Nilam! Jangan sembarangan nuduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik!" sentak Mbak Dila. Mas Arlan merangkulku dan meminta segera masuk mobil. Namun, Mbak Dila terus saja menghalangiku. "Mbak, waktuku itu ibarat uang, kalau ngurusin Mbak Dila namanya buang-buang uang karena sudah melewatkan waktu begitu saja, sekarang pilih mana, mau diteriaki maling atau minggir?" Gantian aku yang ancam dia yang kelakuannya sangat kampungan itu. Mbak Dila diseret sang kakak yang sejak tadi berada di dalam mobil. Akhirnya mereka minggir dari jalan yang menghalangi kami lewat. Aku masuk dengan menghentakkan kaki. Kali ini kami berdua berangkat berdua saja, karena merasa sudah aman dari peneror yang diduga Rifat pada saat aku dan Mas Arlan hendak membuka kasus yang dulu. "Sekarang aman dari Rifat, tapi ternyata Mbak Dila semakin gila, maunya dia itu apa sih? Kita sudah nggak ada hubungan apa-apa, aku punya utang juga nggak sama nenek lampir itu!" cetusku dengan panjang lebar.