"Iya, Mas Gerry juga selingkuh pada Calista hanya untuk memeras wanita itu, Calista mau saja dibodohi laki-laki, kadang aku bingung sama orang-orang kaya raya, kok bisa bucin pada laki-laki. Contohnya Calista, sekarang aku rasa Nilam juga seperti itu," ungkap Mbak Dila membuatku mengernyit. Justru yang aneh itu dia, harga diri dijual hanya untuk memeras selingkuhan suaminya. Mbak Dila bahkan sudah tahu bahwa suaminya berzina dengan wanita tanpa ikatan pernikahan, tapi ia malah mendukungnya karena harta. Aku coba lewat di antara mereka, memergoki keduanya yang sedang bicara tentangku. Ingin tahu saja reaksi yang akan mereka perlihatkan. "Ehm, ada Mbak Dila di sini, cepat sekali baiknya dengan Mama," celetukku dengan sengaja. Mereka terkejut, berdiri dengan posisi keduanya tiba-tiba menjauh. "Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Mbak Dila. "Sejak tadi, aku dengar semua yang kalian bicarakan, kenapa?" tanyaku padanya. Mereka saling beradu pandangan, raut wajahnya seketika berubah m
Dengan cepatnya tangan ini menarik Mas Arlan untuk sembunyi, begitu juga dengan Pak Supri, ia ikut mengekor di belakang kami. Mata kami menyorot mobilnya dengan pandangan sempurna, meneliti hingga jauh dari mata kami. Bahuku menurun ketika mobil yang digunakan untuk menculikku sudah tak terlihat lagi. Beruntungnya Pak Supri memakai mobil lain saat ini, bukan mobil yang dipakai tadi pagi. "Kenapa tadi nggak kita hadang saja, Sayang? Orang yang menculikmu itu pasti berniat jahat, tinggal dekat dengan kita pula," celetuk Mas Arlan saat kami keluar dari tempat persembunyian. Aku membasahi bibir, dalam hati ini masih menyimpan satu rahasia tentang laki-laki yang barusan lewat. Mas Arlan paham dengan diamku ini, ia melambaikan tangannya di hadapanku untuk membuyarkan lamunan. "Mas, kalau begitu kita tidak bisa menyelidiki motif penculikannya, lagian kita tidak memiliki bukti akurat saat penculikan terjadi," jelasku padanya. Bola matanya berputar mencerna ucapanku barusan. 'Kalau tempa
"Namanya siapa, Pak? Halo, Pak!" teriakku sampai akhirnya Mas Arlan menghampiri. "Kenapa, Sayang? Kok teriak-teriak?" tanya Mas Arlan yang sudah ada di dekatku. Sambungan telepon pun sudah diputus oleh Pak Supri entahlah di sana ia sedang melakukan apa, tapi biasanya jika seperti ini dipanggil oleh papa, bos utamanya. Mungkin Mbok panggil atas perintah papa. "Pak Supri lagi cerita, Mas. Dia kan aku suruh tanya-tanya ke ojek tadi, sudah dia tanya-tanya, tapi keburu mati teleponnya," jelasku padanya. Seandainya ia tahu bahwa aku antusias menyelidiki kasus ini bukan karena penculikan, tapi karena kematian ibunya, mungkin hatinya akan rapuh, dan takkan mampu melewati hari-harinya dengan kebahagiaan. "Apa yang diceritakan Pak Supri, Nilam?" tanya Mas Arlan ikut penasaran. Ia bertanya sambil merapikan baju. "Sepertinya ada yang tertinggal," kata Mas Arlan sambil mengernyit, seakan sedang berpikir. "Apa, Mas yang tertinggal?" tanyaku akhirnya dapat mengalihkan pembicaraan tentang Pak Su
Suara mama tiba-tiba terhenti, aku dan Mas Arlan pun semakin penasaran. Kemudian, kami duduk dulu di bahu sofa supaya lebih nyaman mendengar mama bicara. "Iya, tadi kami ngikutin, tapi kata Dila, besok aja ke rumahmu pagi-pagi, kan sudah tahu rumahnya, jadi besok Gerry antar sekalian berangkat kerja," ucap mama. "Oh gitu, besok aku juga kerja, nanti Mama dan Mbak Dila ...." Aku tahu Mas Arlan pasti khawatir, ia takut mereka macam-macam terhadapku. "Kenapa? Kamu takut istrimu disiksa gitu?" tebak mama. "Tenang Arlan, kami bukan penjahat seperti di film-film," tambahnya lagi. Aku menelan saliva ketika ia mengucapkan hal yang menurutku tidak sesuai dengan perilakunya. Mereka memang tidak menyiksa fisikku, tapi kedua wanita itu selalu menyiksa batin ini. "Ya udah, Mah, aku tunggu kalian besok di rumah ini, ya. Jangan lupa bawa kue," tuturku. "Eh, tapi jangan pakai racun ya," pesanku menyusul. "Owalah, dari tadi speakernya aktif toh, pantesan kamu bicara seperti itu, Arlan, pasti si
"Pemilik rumah itu? Yang pakai cat merah, kan?" tanya Bu RT sambil menunjuk. Suaranya cukup menggelegar hingga aku memberikan isyarat untuk tidak keras-keras bicaranya dengan cara jari telunjuk menutup bibir ini. "Iya Bu, rumah itu tapi jangan keras-keras, soalnya ada mertua saya di dalam," pintaku sambil celingukan. "Tapi pemilik rumah itu bukan Rifat, istrinya juga bukan Desti," kata Bu RT masih saja keras bicaranya. Aku menautkan kedua alis seraya berpikir mana yang benar, tapi Bu RT mana mungkin bohongi aku. "Lalu siapa, Bu, pemiliknya?" tanyaku sekali lagi. Siapa tahu nama panjangnya ada nyerempet ke nama mama. Namun, belum sempat Bu RT menyebutkan namanya, tiba-tiba saja Mama Desti dan Mbak Dila muncul dari pintu belakang yang tembus ke teras juga. "Kalian ngomongin siapa? Kok barusan Mama dengar sebut nama Mama, ya? Nilam kamu ngomong apa ke orang sini?" cecar Mama Desti membuatku terperangah. Astaga, kenapa aku jadi ketiban sial begini sih, Bu RT juga suaranya terlalu mele
Suara klakson terdengar dari mobil yang aku hadang. Lalu, sang sopir keluar dari kaca jendela mobil tersebut. Aku meneliti dan mengingat wajah sang sopir, sepertinya beda orang."Nilam, kamu ingin bunuh Mama ya? Tiba-tiba narik tangan dan berdiri di depan mobil orang." Mama marah sekaligus panik melihat aksiku.Aku terdiam dengan wajah datar, Mama pun masih menunggu aku melepaskan genggaman tangan."Mbak, maaf bisa minggir nggak? Bos saya mau lewat," celetuk sopir dengan cara berteriak melalui jendela."Maaf, saya tetangga baru, ingin kenalan," kataku sopan. Pandangan ini tertuju pada pria yang berada di kursi belakang. Namun, kurang jelas kalau melihat dari luar.Sopir itu keluar, aku kembali memperhatikannya namun memang beda dengan orang yang menculikku pada waktu bersama Rifat. Tidak lama kemudian, laki-laki yang kutunggu keluar dari mobil. Namun, bukan wajah Rifat yang keluar. Berbeda jauh dengannya, sepertinya pria ini masih bujangan."Maaf, Mbak. Kalau mau kenalan ke rumah aja,
"Nilam!"Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang dari arah belakangku. Kemudian, aku menoleh ke arah pusat suara. Ternyata orang yang tidak pernah aku duga sebelumnya yang menyapa. Wanita berparas ayu tinggi semampai datang dari arah timur. "Oh, kamu, Kiara," gumamku sambil menyorot wanita yang kudengar sudah berstatuskan janda itu. Ya, predikat itu telah bertengger lama sebelum aku menikah dengan Mas Arlan. Kemudian, aku baru tersadar bahwa laki-laki ojek yang tadi sudah dalam genggaman ini tidak ada di lokasi. "Sial, kabur lagi aja," celetukku. "Loh siapa yang kabur?" tanya Kiara. "Ng-nggak kok, bukan siapa-siapa," kataku sambil menyunggingkan senyuman. "Rumahmu di sini?" tanyaku lagi sambil mengalihkan perhatian. "Emm, iya, rumahku di belakang rumah itu," ucap Kiara sambil menunjuk rumah depanku persis. " Dan ini habis dari pasar dekat sini lalu lihat kamu langsung aja panggil, kamu ngapain di sini? Setahuku rumahmu bukan di sini kan?" tambahnya lagi dengan sederet pertanya
"Apa ini hanya ingin mengalihkan tentang Ryan tadi?" Mas Arlan tampak meragukanku lagi. Aku terdiam sambil menyorotnya, wajah kalem tapi tetap menawan itu tertunduk. "Apa ada laki-laki lain di mataku, Mas?" tanyaku sambil membelai dagunya. Ia terdiam, kulihat Mas Arlan menghela napas berat. "Aku percaya, hanya saja takut kehilanganmu. Sebab tadi Mama kirim video bahwa Ryan menghampiri kamu ke rumah," terang Mas Arlan membuat alisku seketika menyatu. "Kok bisa Mama kirim videonya? Apa ia ada di sini sewaktu Ryan ke rumah?" tanyaku heran. "Aku nggak nanya Mama tentang siapa yang ambil videonya, dadaku terbakar api cemburu saat melihat ada sosok pria muda yang datang menemui istriku," terangnya. "Boleh lihat video itu? Aku ingin tahu di mana asal video itu diambil, kalau dari CCTV itu artinya ada yang pasang," kataku sambil meraih ponsel yang ada di tangan Mas Arlan. Aku mengusap layar ponsel, lalu melihat asal dari videonya. "Sepertinya ini sengaja direkam, Mas, bukan dari CCTV,"