"Nilam!"Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang dari arah belakangku. Kemudian, aku menoleh ke arah pusat suara. Ternyata orang yang tidak pernah aku duga sebelumnya yang menyapa. Wanita berparas ayu tinggi semampai datang dari arah timur. "Oh, kamu, Kiara," gumamku sambil menyorot wanita yang kudengar sudah berstatuskan janda itu. Ya, predikat itu telah bertengger lama sebelum aku menikah dengan Mas Arlan. Kemudian, aku baru tersadar bahwa laki-laki ojek yang tadi sudah dalam genggaman ini tidak ada di lokasi. "Sial, kabur lagi aja," celetukku. "Loh siapa yang kabur?" tanya Kiara. "Ng-nggak kok, bukan siapa-siapa," kataku sambil menyunggingkan senyuman. "Rumahmu di sini?" tanyaku lagi sambil mengalihkan perhatian. "Emm, iya, rumahku di belakang rumah itu," ucap Kiara sambil menunjuk rumah depanku persis. " Dan ini habis dari pasar dekat sini lalu lihat kamu langsung aja panggil, kamu ngapain di sini? Setahuku rumahmu bukan di sini kan?" tambahnya lagi dengan sederet pertanya
"Apa ini hanya ingin mengalihkan tentang Ryan tadi?" Mas Arlan tampak meragukanku lagi. Aku terdiam sambil menyorotnya, wajah kalem tapi tetap menawan itu tertunduk. "Apa ada laki-laki lain di mataku, Mas?" tanyaku sambil membelai dagunya. Ia terdiam, kulihat Mas Arlan menghela napas berat. "Aku percaya, hanya saja takut kehilanganmu. Sebab tadi Mama kirim video bahwa Ryan menghampiri kamu ke rumah," terang Mas Arlan membuat alisku seketika menyatu. "Kok bisa Mama kirim videonya? Apa ia ada di sini sewaktu Ryan ke rumah?" tanyaku heran. "Aku nggak nanya Mama tentang siapa yang ambil videonya, dadaku terbakar api cemburu saat melihat ada sosok pria muda yang datang menemui istriku," terangnya. "Boleh lihat video itu? Aku ingin tahu di mana asal video itu diambil, kalau dari CCTV itu artinya ada yang pasang," kataku sambil meraih ponsel yang ada di tangan Mas Arlan. Aku mengusap layar ponsel, lalu melihat asal dari videonya. "Sepertinya ini sengaja direkam, Mas, bukan dari CCTV,"
Ternyata orang yang kuhina setiap harinya anak konglomerat, ditambah lagi apa yang kufitnah tentang perselingkuhan justru aku yang merasakan sendiri diselingkuhi, diumumkan di hadapan umum pula oleh Calista. Dikarenakan sudah kepalang malu, akhirnya aku maafkan Mas Gerry dengan satu syarat, yaitu berhenti berhubungan intim dengan Calista dan belajar memanfaatkan orang yang mencintainya. "Kamu kuras hartanya, Mas, hubungan kita akan kuanggap baik-baik saja," celetukku padanya. Mas Gerry terdiam, ia menundukkan wajahnya. "Atau kamu mau pilih dia? Aku tahu pasti kalah dengan kekayaan yang Calista punya, tapi kamu tahu kan siapa Mas Bayu?" tanyaku padanya namun seakan mengancam. "I-iya, aku tahu, Mas Bayu adalah mantan pembunuh yang mendapatkan hukuman 15 tahun penjara dan baru bebas bulan lalu," jawab Mas Gerry membuatku tersenyum tipis. "Baguslah kalau kamu paham, kalau begitu kamu harus kuras harta Calista untuk bayar utangmu di kantor, aku nggak mau kehilangan rumah dan mobil, m
Aku dan Mas Arlan akan menemui Mbok Nur esok sore, kami sepakat akan mencari di mana letak kampungnya. "Sekarang kita tidur, Sayang," ajak Mas Arlan. Ia menggendongku sampai ke kamar. Sikapnya memang sering berubah, kadang datar, sesekali romantis, seringnya sih bikin nyaman. Terkadang hubungan rumah tangga baik, tapi ada saja masalah dari ipar bahkan mertua. Tidak mungkin perjalanan rumah tangga itu semulus kulit, semua akan menemui titik dimana kerenggangan hubungan terjadi. Namun, apabila saling menguatkan, tentu akan baik-baik saja. ***Hari ini Mas Arlan harus berangkat lebih pagi, sebab ingin menyelesaikan pekerjaan lebih awal, ia ingin pulang lebih cepat untuk mencari dimana keberadaan Mbok Nur. "Kamu baik-baik di rumah, kalau Ryan ke sini jangan diajak masuk, khawatir nanti ada yang memfitnah," pesan Mas Arlan sambil mengulurkan tangannya. "Iya, Mas. Tenang aja, aku akan menjaga kepercayaanmu," timpalku padanya. Mobil Mas Arlan keluar gerbang, tapi tiba-tiba ada yang ter
Masih pagi cafe juga belum buka, memang biasanya jam sepuluhan baru dibuka, itu pun pasti masih sepi pengunjung. Aku memang tidak boleh menganggap hal ini dengan enteng. Mbak Dila bersama Mas Gerry, sedangkan aku hanya sendiri, bodyguard paling ada untuk mengawasiku saja. Jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Sambil menunggu jam sepuluh tiba, lebih baik aku merapikan rumah yang berantakan. Beberapa pekerjaan rumah yang tidak pernah aku lakukan sebelum menikah dengan Mas Arlan adalah mencuci piring, mencuci pakaian, dan nyetrika baju. Selain itu, pernah aku coba meskipun harus memaksa pembantu menyerahkan pekerjaannya. Namun, setelah mendapatkan gelar seorang istri, semua aku lakukan, itu semua karena cinta yang tumbuh kepadanya begitu besar. Kuambil beberapa piring, lalu membersihkannya dengan spons, kemudian membilasnya dengan air keran yang mengalir hingga bersih. "Selesai, akhirnya kerjaan rumah selesai, tinggal nyapu, lalu salin baju, berangkat deh. Kalau bukan
"Dila, Mama suruh kamu pulang sekarang! Jangan membantah!" perintah Mama Desti masih dalam sambungan telepon. "I-iya, Mah," jawab Mbak Dila terbata-bata. "Awas kamu ya, Mama terus mengawasi kamu!" celetuk Mama Desti lagi. Kemudian telepon pun terputus, Mbak Dila pun mematung tanpa mengeluarkan suara. Sedangkan Mas Gerry menarik lengannya. "Kami pamit dulu ya, Nilam," ucap Mas Gerry sambil menarik lengan Mbak Dila. Sementara Mbak Dila yang sudah berdiri pun menyorotku. "Kenapa nggak jadi ngomong Mbak?" tanyaku saat ia berdiri. "Belum saatnya Nilam," sahut Mbak Dila. "Pengecut," cetusku sambil menarik senyuman miring. "Orang kaya bebas ya mau ngehujat apa pun, ada bodyguard yang memantau, itu artinya kamu yang pengecut, Nilam," timpal Mbak Dila. "Lebih baik buruan pulang, aku bisa cari tahu sendiri tanpa dari Mbak Dila, rugi waktuku aja sebenarnya perjalanan ke sini," celetukku lagi. Mbak Dila pun menurunkan bahunya, ia menghela napas kasar dan beranjak pergi bersama Mas Gerry
Mas Arlan mengangkat telepon di hadapanku. Ia mengaktifkan speaker agar aku bisa dengar percakapan mereka. "Halo, Tante," ucap Mas Arlan. "Arlan, Tante lagi di Jakarta lagi nih, kata Mbak Desti, pernikahan Hesti maju minggu depan? Ini makanya disuruh ke rumahnya, eh pas sampai rumah Mbak Desti ternyata kamu sudah tidak tinggal di sini," ungkap Tante Dian membuat Mas Arlan menoleh ke arahku.Tante Dian seolah-olah hadir menjadi malaikat penolong, padahal ia pun termasuk orang dalam daftar pelindung mama. "I-iya, Tante, kami berdua sudah tidak tinggal di sana," jawab Mas Arlan gugup. "Tante juga baru tahu kalau Mama kamu sudah tahu ya tentang jati diri Nilam, padahal beneran deh Tante dan Om Khalil tidak mengatakannya pada Mbak Desti." Kalau hal ini memang sepertinya mereka tidak mengatakan padanya, adik dari Mama Desti hanya disuruh bungkam atas kejadian 15 tahun silam, bukan 25 tahun silam yang seperti ia sebutkan pada waktu itu. "Emm, iya Tante," jawab Mas Arlan singkat. "Kok k
Mbok Nur terlihat menghela napasnya, lalu membasahi bibir untuk memulai cerita. "Bu Desti itu diselingkuhi oleh papamu, lalu yang dipilih Kinan pada saat Bu Desti meminta papamu untuk memilih. Mbok tahu bagaimana rasanya Bu Desti waktu itu, ia sakit, tapi akhirnya Bu Desti milih untuk ikhlas dimadu. Bu Kinan, ibumu itu sedikit cerita setelah melahirkan, sebenernya tidak tahu kalau papamu sudah punya istri, mereka menikah siri saat Bapak ada tugas di luar kota, ketahuannya pun Bapak yang menceritakan," terang Mbok Nur membuatku terperangah. Kisahnya kenapa persis Mas Gerry dan Mbak Dila? Ia selingkuh dan lebih memilih Calista. Namun mereka ada bedanya, Mama Kinan tidak tahu kalau ia adalah istri muda. Sedangkan Calista, tahu betul bahwa Mas Gerry memiliki seorang istri. "Terus, Mbok. Bagaimana cara Mama Desti membunuh Mama Kinan? Kenapa yang di penjara itu Mas Bayu, kakak kandungnya Mbak Dila?" tanyaku penasaran. "Kok kalian tahu tentang Bayu?" tanya Mbok Nur balik. "Mas Gerry cer