Aku tidak menghiraukan apa yang diucapkan Mbak Dila, duduk dengan bersandar adalah caraku mengalihkan emosi yang mulai mendidih karena mendengar ucapan Mbak Dila. Bukan menyimak apa yang dikatakan Om Farhan, malah terus memperhatikan papaku. "Eh, tapi itu papa kamu bukan sih? Dari penampilan si jelas jauh berbeda, tapi namanya dan muka juga mirip. Eh bisa saja sih wajah sama, nama pun bisa kembar." Mbak Dila terus menerus bersuara tanpa peduli aku mendengarkan dia atau tidak. "Mbak, dengarkan aja, itu simak atasan lagi pidato kok malah nyerocos, nggak punya adab apa ya?" Aku bertanya balik padanya. "Susah sih ya ngomong sama orang susah seperti kamu dan papamu itu, aku yakin seratus persen, papamu mengharapkan balasan saat menolong Pak Farhan," tutur Mbak Dila kembali membuatku menghela napas. Mas Arlan menoleh ke arahku, ada senyum yang ia sunggingkan dengan sengaja. "Sabar ya bidadariku, kalau bicara sama tukang gosip ya seperti itu, kan Mbak Dila terkenal biang gosip di rumah,
Papa berdiri tegak, aku bertepuk tangan dengan kencang. Sedangkan iparku melongo memperhatikan kami berdua. "Kenapa, Mbak? Masih berasa mimpi? Coba cubit suami Mbak Dila," ejekku. Aku kembali fokus pada papa yang sedang naik podium. "Terima kasih atas tempat dan waktunya. Saya tidak ingin bicara banyak di sini, hanya ingin memberikan satu informasi. Bahwa PT. Candra Sentosa, perusahaan kecil di bawah PT. Miyusa Santosa, akan berpindah kepemilikan, saya akan berikan perusahaan sepenuhnya untuk Arlan, menantu saya," ungkap papa tanpa menunda-nunda, ia langsung memberikan informasi ini pada semuanya, termasuk Mbak Dila dan Mas Gerry. Kemudian, papa meminta aku dan Mas Arlan naik ke podium, begitu juga dengan Om Farhan. Namun, ketika aku naik ke podium, Mbak Dila pergi begitu saja. "Loh loh, kan pertemuan belum selesai, kok Mbak Dila sudah pergi?" tanyaku pada Mas Arlan. "Mungkin sedih melihat kamu bahagia," bisik Mas Arlan. Saat itu juga Mas Gerry datang menghampiri kami yang berad
Mama Desti terlihat tegang, lalu mereka menggeser posisinya. Kini keduanya duduk di kursi, aku yang fokus memegang handphone sambil tak lepas pandangan ke arahnya.Aku sembunyi di sebelah pintu kamar yang terhalang lemari besar kuno berhiaskan guci dan hiasan tua. Ukuran lemari nyaris menyentuh atap rumah, terlalu tinggi hingga memang jika bersembunyi takkan terlihat oleh mereka. Namun, karena mereka pindah tempat, aku jadi kesulitan untuk merekam dalam bentuk video.Akhirnya aku zoom merekam videonya, kebetulan ponsel yang kupunya cukup canggih dalam mengambil gambar jarak jauh maupun jarak dekat."Kamu bicara apa sama Rifat? Dia ngomong apa?" tanya mama kedengaran panik."Aku tidak bilang apa-apa, dia hanya cari Mama, memang dia siapa? Pacar Mama?" tanya Hesti untuk kesekian kalinya."Bukan siapa-siapa, sudahlah ini urusan orang tua," timpal mama lagi. Berselang kemudian, kulihat Mbak Dila datang bersama Mas Gerry. Bagaimana aku mau bisa ke dapur untuk buatkan Mas Arlan teh kalau m
"Iya, Mas Gerry juga selingkuh pada Calista hanya untuk memeras wanita itu, Calista mau saja dibodohi laki-laki, kadang aku bingung sama orang-orang kaya raya, kok bisa bucin pada laki-laki. Contohnya Calista, sekarang aku rasa Nilam juga seperti itu," ungkap Mbak Dila membuatku mengernyit. Justru yang aneh itu dia, harga diri dijual hanya untuk memeras selingkuhan suaminya. Mbak Dila bahkan sudah tahu bahwa suaminya berzina dengan wanita tanpa ikatan pernikahan, tapi ia malah mendukungnya karena harta. Aku coba lewat di antara mereka, memergoki keduanya yang sedang bicara tentangku. Ingin tahu saja reaksi yang akan mereka perlihatkan. "Ehm, ada Mbak Dila di sini, cepat sekali baiknya dengan Mama," celetukku dengan sengaja. Mereka terkejut, berdiri dengan posisi keduanya tiba-tiba menjauh. "Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Mbak Dila. "Sejak tadi, aku dengar semua yang kalian bicarakan, kenapa?" tanyaku padanya. Mereka saling beradu pandangan, raut wajahnya seketika berubah m
Dengan cepatnya tangan ini menarik Mas Arlan untuk sembunyi, begitu juga dengan Pak Supri, ia ikut mengekor di belakang kami. Mata kami menyorot mobilnya dengan pandangan sempurna, meneliti hingga jauh dari mata kami. Bahuku menurun ketika mobil yang digunakan untuk menculikku sudah tak terlihat lagi. Beruntungnya Pak Supri memakai mobil lain saat ini, bukan mobil yang dipakai tadi pagi. "Kenapa tadi nggak kita hadang saja, Sayang? Orang yang menculikmu itu pasti berniat jahat, tinggal dekat dengan kita pula," celetuk Mas Arlan saat kami keluar dari tempat persembunyian. Aku membasahi bibir, dalam hati ini masih menyimpan satu rahasia tentang laki-laki yang barusan lewat. Mas Arlan paham dengan diamku ini, ia melambaikan tangannya di hadapanku untuk membuyarkan lamunan. "Mas, kalau begitu kita tidak bisa menyelidiki motif penculikannya, lagian kita tidak memiliki bukti akurat saat penculikan terjadi," jelasku padanya. Bola matanya berputar mencerna ucapanku barusan. 'Kalau tempa
"Namanya siapa, Pak? Halo, Pak!" teriakku sampai akhirnya Mas Arlan menghampiri. "Kenapa, Sayang? Kok teriak-teriak?" tanya Mas Arlan yang sudah ada di dekatku. Sambungan telepon pun sudah diputus oleh Pak Supri entahlah di sana ia sedang melakukan apa, tapi biasanya jika seperti ini dipanggil oleh papa, bos utamanya. Mungkin Mbok panggil atas perintah papa. "Pak Supri lagi cerita, Mas. Dia kan aku suruh tanya-tanya ke ojek tadi, sudah dia tanya-tanya, tapi keburu mati teleponnya," jelasku padanya. Seandainya ia tahu bahwa aku antusias menyelidiki kasus ini bukan karena penculikan, tapi karena kematian ibunya, mungkin hatinya akan rapuh, dan takkan mampu melewati hari-harinya dengan kebahagiaan. "Apa yang diceritakan Pak Supri, Nilam?" tanya Mas Arlan ikut penasaran. Ia bertanya sambil merapikan baju. "Sepertinya ada yang tertinggal," kata Mas Arlan sambil mengernyit, seakan sedang berpikir. "Apa, Mas yang tertinggal?" tanyaku akhirnya dapat mengalihkan pembicaraan tentang Pak Su
Suara mama tiba-tiba terhenti, aku dan Mas Arlan pun semakin penasaran. Kemudian, kami duduk dulu di bahu sofa supaya lebih nyaman mendengar mama bicara. "Iya, tadi kami ngikutin, tapi kata Dila, besok aja ke rumahmu pagi-pagi, kan sudah tahu rumahnya, jadi besok Gerry antar sekalian berangkat kerja," ucap mama. "Oh gitu, besok aku juga kerja, nanti Mama dan Mbak Dila ...." Aku tahu Mas Arlan pasti khawatir, ia takut mereka macam-macam terhadapku. "Kenapa? Kamu takut istrimu disiksa gitu?" tebak mama. "Tenang Arlan, kami bukan penjahat seperti di film-film," tambahnya lagi. Aku menelan saliva ketika ia mengucapkan hal yang menurutku tidak sesuai dengan perilakunya. Mereka memang tidak menyiksa fisikku, tapi kedua wanita itu selalu menyiksa batin ini. "Ya udah, Mah, aku tunggu kalian besok di rumah ini, ya. Jangan lupa bawa kue," tuturku. "Eh, tapi jangan pakai racun ya," pesanku menyusul. "Owalah, dari tadi speakernya aktif toh, pantesan kamu bicara seperti itu, Arlan, pasti si
"Pemilik rumah itu? Yang pakai cat merah, kan?" tanya Bu RT sambil menunjuk. Suaranya cukup menggelegar hingga aku memberikan isyarat untuk tidak keras-keras bicaranya dengan cara jari telunjuk menutup bibir ini. "Iya Bu, rumah itu tapi jangan keras-keras, soalnya ada mertua saya di dalam," pintaku sambil celingukan. "Tapi pemilik rumah itu bukan Rifat, istrinya juga bukan Desti," kata Bu RT masih saja keras bicaranya. Aku menautkan kedua alis seraya berpikir mana yang benar, tapi Bu RT mana mungkin bohongi aku. "Lalu siapa, Bu, pemiliknya?" tanyaku sekali lagi. Siapa tahu nama panjangnya ada nyerempet ke nama mama. Namun, belum sempat Bu RT menyebutkan namanya, tiba-tiba saja Mama Desti dan Mbak Dila muncul dari pintu belakang yang tembus ke teras juga. "Kalian ngomongin siapa? Kok barusan Mama dengar sebut nama Mama, ya? Nilam kamu ngomong apa ke orang sini?" cecar Mama Desti membuatku terperangah. Astaga, kenapa aku jadi ketiban sial begini sih, Bu RT juga suaranya terlalu mele