Kini Wirota telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, dia mengikuti jejak Jayendra menjadi seorang maling dan penjudi yang handal. Malam hari usai merampok, Wirota biasanya mampir ke rumah-rumah orang miskin dan membagikan uang dengan diam-diam. Uang itu seperti biasa diletakan di dalam tempayan tempat beras atau hanya disorongkan di bawah pintu.
Satu hal yang selalu diingatnya dari Jayendra, dia melarangnya merampok orang miskin, bahkan mewajibkan Wirota membagikan sebagian hasil rampokannya kepada rakyat miskin. Sungguh berbeda dengan ilmu yang didapatnya dari Lembu Ampal gurunya yang selalu melarangnya melakukan kejahatan seperti mencuri, merampok, berjudi. Namun lama kelamaan Wirota menganggapnya sebagai hal biasa, bagaimanapun juga dia harus bertahan hidup dan hanya dengan cara menjadi maling itulah Wirota bisa bertahan hidup.
Larasati lama kelamaan mengetahui profesi Wirota yang sebenarnya, dalam hati kecilnya dia merasa sedih,marah dan kecewa, sosok yang dianggapnya sebagai pelindungnya ternyata adalah seorang maling. Namun dia memahami, sebagai orang miskin mereka harus bertahan hidup dan menjadi maling adalah pilihan Wirota untuk bertahan hidup. Setelah ibunya meninggal, Laras tak ingin membebani Wirota dengan dirinya, Laras memutuskan untuk menjadi abdi dalem di istana agar kehidupannya lebih baik. Sore itu dia menemui Wirota untuk berpamitan.
"Kangmas Wirota, aku sudah diterima menjadi abdi dalem di istana, hari ini aku pamit, besok aku sudah mulai bekerja," ungkap Larasati.
"Jadi kau sudah tidak di sini lagi?" tanya Wirota yang terkejut dengan pemberitahuan Laras yang mendadak itu.
Larasati tersenyum dan berkata
"Tentu saja aku masih menyempatkan pulang membersihkan dan merawat rumah peninggalan orangtuaku. Tetapi aku harus pergi karena aku tak ingin membebanimu lagi. Terimakasih atas kebaikanmu kepada keluargaku selama ini."
Wirota yang merasa kehilangan Laras lalu berkata
"Aku tidak keberatan menanggung kehidupanmu karena selama ini kau telah kuanggap sebagai adikku dan ibumu sudah bagaikan orangtua sendiri bagiku. Kalau kau di istana bagaimana aku bisa menemuimu?" Tanya Wirota.
"Kan aku masih bisa pulang walaupun hanya setahun sekali. Sudah ya aku pulang dulu," kata Laras.
Dengan berat hati Wirota melepas kepergian Larasati pergi ke istana menjadi seorang abdi dalem
Wirota kembali lagi kepada kesehariannya bersama Jayendra berjudi dan menjadi maling. Walaupun mereka hidup dalam kekurangan, namun Wirota merasa bahagia hidup besama Jayendra yang telah dianggapnya seperti orangtua sendiri.
Namun kebahagiaan Wirota bersama Jayendra tidaklah lama, suatu malam Jayendra didatangi 5 orang tak dikenal. Ketika itu Jayendra sedang duduk bersantai di depan rumahnya yang berada di tepi hutan di pinggir kota Singasari. Tiba-tiba muncul 5 orang laki-laki menemuinya.
“Sudah lama aku mencarimu Mahesa Bungkalan, tak kusangka ternyata kau bersembunyi di sini!” kata seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan Jayendra.
“Ooh, ternyata kamu Arya Rahu, dunia ini ternyata cuma selebar daun kelor, kita bertemu lagi setelah 10 tahun lamanya berpisah. Apa maumu mencariku kemari?!” tanya Jayendra.
“Huh, tidak usah berlagak pilon, pastinya kau sudah tahu pengkhianat seperti dirimu tidak pantas hidup di dunia ini. Sekarang serahkan Pedang Naga Bumi itu kepada kami!"
"Aku tidak memiliki pedang itu Rahu, bukankah dulu kau sudah merebutnya dari orang-orang Cina itu?" kata Jayendra.
“Diamlah kau Bungkalan, berikan pedang itu, jika tidak aku akan mengantarmu ke alam baka,” ucapnya sambil menyerang Jayendra dengan pedangnya.
Dia mulai bergerak menebas kepala Jayendra, namun Jayendra dengan gesit menghindari tebasan itu. Ketika usai menghindar, salah satu begundalnya sudah menyambutnya dengan sebuah tikaman pedang, beruntung Jayendra dapat menghindari tikaman itu dan merebut pedang dari tangan penyerangnya. Terkesiap ketiga orang itu, setelah sekian lama berpisah dan usianya sudah bertambah, Jayendra masih memiliki kekuatan prima seperti waktu mudanya semasa menjadi telik sandhi di kerajaan Singhasari. Namun bagaimanapun juga, usia tetap mempengaruhi kinerja seorang petarung.
Di serang dengan senjata bertubi-tubi membuat Jayendra mulai kelelahan, ilmu silat para pengeroyoknya tidak bisa dianggap enteng. Apalagi sudah lama dia tidak berlatih ilmu bela diri bersama sesama prajurit kerajaan semasa dia masih bekerja untuk Raja Wisnuwardhana. Selama ini lawan-lawan yang dihadapinya di luar istana hanyalah beberapa penjahat dengan ilmu cakar kucing yang hanya bisa digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil. Ditambah lagi, para penyerangnya pada malam itu jumlahnya banyak dan masih berusia muda dengan stamina prima. Akhirnya ada saatnya Jayendra tidak dapat menghindar, dadanya ditusuk keris penyerangnya, dia jatuh tersungkur bersimbah darah.
Orang-orang itu kemudian menggeledah rumah Jayendra, namun mereka tidak menemukan apa yang mereka cari, di rumah itu hanya terdapat koin emas dan perak hasil rampokan. Dengan gusar akhirnya mereka meninggalkan rumah Jayendra dengan tangan kosong.
Sementara itu Wirota baru saja pulang membeli tuak pesanan Jayendra. Ketika sedang di jalan, Wirota berpapasan dengan lima orang penunggang kuda, yang memacu kudanya dengan kencang bagai angin lesus. Wirota merasa heran, lima orang itu baru keluar dari tikungan menuju pondok mereka berdua. Tetapi untuk apa orang-orang itu mengunjungi pondok mereka, seketika perasaan Wirota mulai tidak enak, firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan Jayendra. Maka Wirota segera berlari menuju pondoknya.
Memasuki halaman pondoknya Wirota menemukan Jayendra yang sedang sekarat.
Paman…!” teriak Wirota.
Wirota memangku jenazah ayah angkatnya sambil menangis tersedu-sedu. Walaupun Jayendra seorang maling, namun Wirota banyak berhutang budi kepadanya.
"Wirota, ambilah pedang Naga Bumi itu yang kusimpan di atas blandar rumah. Bawalah dan jagalah dari orang jahat," kata Jayendra dengan nafas yang tinggal satu-satu, kemudian kepalanya terkulai lemas.
"Pamaan ....!"
Kini Wirota sebatang kara lagi di dunia ini, tanpa ada sosok ayah di sisinya. Malam itu sendirian Wirota mensucikan jenazah ayah angkatnya kemudian menguburkannya di halaman rumah. Usai menguburkan ayah angkatnya, Wirota kembali menangis di pusara Jayendra hingga menjelang pagi; Wirota menangis dan berkata
“Maafkan aku Paman, aku belum bisa mengadakan upacara perabuan yang layak untukmu. Hanya doa kupanjatkan kepada Sang Hyang Widhi agar kau mendapatkan tempat terbaik di Nirwana dan terlahir kembali dalam keadaan yang lebih baik.”
Ketika akan masuk rumah, di halaman rumah Wirota menemukan sesuatu yang berkilat-kilat. Diambilnya benda itu ternyata sebuah lencana bergambar mahkota raja, tanda pengenal Pejabat Kerajaan. Dalam Lencana itu tercetak nama Arya Rahu, Wirota mengantongi lencana itu sambil bergumam
"Arya Rahu, aku akan mencarimu walau sampai ke ujung dunia. Kau harus mati karena telah membunuh Paman Jayendra."
Tiba-tiba Wirota teringat pesan Jayendra tentang Pedang Naga Bumi yang disimpan di blandar rumah. Wirota segera masuk rumah dan merogoh semua blandar yang ada di rumah itu. Pedang Naga Bumi akhirnya di temukan di blandar di dapur, berbungkus sarung pedang yang terbuat dari tembaga dan kulit ikan pari. Wirota turun dari blandar dan duduk di tikar melolos pedang dari sarungnya.
Temaram sinar lampu minyak memantul di badan pedang membiaskan cahaya kuning keemasan.
"Pedang ini sangat indah, pasti dibuat dari bahan terbaik dan seorang Empu pembuat senjata yang hebat," gumam Wirota.
Pedang itu terbuat dari perunggu dan besi, di badan pedang terdapat ukiran naga yang dibuat dengan detil yang rumit dan indah. Di atas ukiran naga terdapat tulisan huruf kanji yang asing baginya.
Musim Kemarau PanjangTahun ini musim kemarau yang panjang telah melanda Singasari dan seluruh bagian di pulau Jawa. Sungai, pengairan dan sawah-sawah mengering. Rakyat sudah menderita karena kelaparan, para pedagang bahan pokok menjual bahan makanan dengan harga tinggi setelah selama musim panen menimbun beras dan palawija di gudang.Wirota merasa geram karena Pejabat Pemungut Pajak masih saja tetap membebankan pajak yang tinggi kepada rakyat dan tak pernah peduli kepada penderitaan rakyat kecil. Ketika malam telah larut, Wirota dengan pakaian serba hitam dengan kedok menutup sebagian wajahnya, datang ke rumah pejabat pajak itu. Matanya menatap tajam ke arah rumah pejabat itu. Rumahnya besar dengan tembok yang tinggi dan dijaga oleh beberapa penjaga yang pastinya berilmu tinggi. Beberapa ekor anjing penjaga berkeliaran di halaman rumah yang selalu menyalak setiap kali ada bayangan bergerak atau bau yang tak di kenal.“Sial, Pejabat itu punya banyak anjing penjaga, aku harus bekerja
Wirota tertegun mendengar permintaan Jaya namun akhirnya dia menganggukan kepala dan menjawab“Ehmm … baiklah, di dekat pasar ada acara aduan ayam, kalau kau mau aku bisa mengajakmu ke sana.”Mereka berdua kemudian keluar istana dan berjalan menuju lokasi aduan ayam. Di lokasi tersebut sudah ramai orang memasang taruhan untuk ayam-ayam yang dijagokannya.“Kau mau pasang taruhan?” tanya Wirota.Jaya menggelengkan kepalanya“Tidak, aku tidak bawa uang, lalu kau juga akan pasang taruhan?”Wirota berpikir sejenak, baru diingatnya kemarin uang rampokan dari pejabat pajak itu sudah habis dibagikan kepada fakir miskin, sekarang hanya tinggal beberapa kepeng tembaga dan 1 kepeng perak saja di kantongnya. Jadi dia harus mencari uang lagi untuk bertahan hidup.“Aku akan pasang taruhan, kau tunggulah sebentar,” kata Wirota.Jaya berkeliling lokasi melihat-lihat ayam di situ, hatinya sedikit terhibur melihat ayam-ayam itu dan keramaian di sana. Sekembalinya dari Bandar Judi untuk memasang taruhan
Hmm … pantas saja mereka tidak bisa benebak dadu itu, semua mangkok itu kosong dadunya disembunyikan, batin Wirota.Ketika Bandar itu mulai memutar mangkoknya lagi, tiba-tiba Wirota menangkap tangannya dan berkata“Dadu itu kau sembunyikan, pantas saja mereka tidak ada yang bisa menebak dengan benar!” seru Wirota sambil membuka ketiga mangkok di depan Bandar itu. Mangkok-mangkok itu kosong semua. Para peserta judi semua terperangah melihat kejadian itu. Wajah mereka mulai tampak marah, kemudian Wirota memelintir tangan kanan orang itu hingga telapak tangannya terbuka. Sebuah dadu jatuh dari telapak tangannya.Bandar itu terkesiap melihatnya, mukanya pucat karena ketakutan“Kau ini keterlaluan sekali, tega sekali kau menipu temanmu sendiri!” tutur seorang prajurit kepada Bandar itu.“He he he he, maaf teman-teman namanya saja usaha. Aku butuh uang untuk melunasi hutang-hutangku kepada Tumenggung Barada,” kata si Bandar.“Ya tapi jangan dengan cara menipulah, teman sendiri lagi yang dit
Sial, aku ketahuan, batin Wirota dalam hati.Tanpa rasa gentar sedikitpun, prajurit wanita itu segera menyerang Wirota yang sudah bersiap melompati pagar. Namun sebelum berhasil melompati pagar wanita itu sudah berada di depannya dan dengan gencar menyerangnya dengan pedangnya. Pedang prajurit itu sudah membabat lehernya. Wirota memiringkan posisi kepalanya, memegang tangan si prajurit kemudian menendang perutnya. Prajurit wanita itu terdorong mindur beberapa langkah. Namun ternyata suara pertempuran mereka menarik perhatian para penjaga keputren lainnya. Dengan cepat prajurit penjaga berdatangan dari segala penjuru mengepungnya.Aku harus mengamalkan ilmu welut putih untuk menghilang, kata Wirota dalam hati.Sebuah mantera diucapkan dan dalam sekejap, tubuhnya menghilang. Para prajurit itu terkejut mendapati buruannya tida-tiba menghilang dengan cepat. Namun wanita penyerangnya tadi tak kurang akal, dia mengambil tanah kemudian melemparkan ke udara di depannya. Samar-samar ditengah
Ekspedisi PamalayuSetelah Wirota pergi, Wiraraja segera berangkat ke Bale Manguntur. Hari ini Prabu Kertanegara akan mengadakan rapat penting mengenai rencana besarnya memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke pulau Sumatera dengan Ekspedisi Pamalayu dan mengirim pasukan ke wilayah Sunda, Bali dan Pahang. Di Bale Manguntur telah berkumpul para Nayaka Praja, Senopati, Tumenggung dan para Mantri. Namun Raja Kertanegara masih belum datang, Wiraraja kemudian duduk di sebelah Mpu Raganata."Prabu Kertanegara belum datang?" tanya Wiraraja kepada sejawatnya Mpu Raganata."Belum, padahal sudah 2 jam kami semua di sini menunggu kehadiran Gusti Prabu. Hmm pasti dia masih belum pulih dari mabuknya yang parah semalam," ujar Mpu Raganata."Huuh, sayang sekali, sebenarnya dia adalah Raja yang cerdas tetapi dia punya kebiasaan buruk suka mabuk-mabukan. Lebih parahnya lagi dia menganggap minuman keras adalah minuman wajib untuk keperluan ritual Tantrayana. Padahal ajaran agama manapun tidak ada yan
Tak lama kemudian terdengar Prabu Kertanegara berbicara lagi"Sebagai ganti Rakryan Patih Mpu Raganata, aku menunjuk Kebo Anengah sebagai Rakryan Patih dan Panji Aragani sebagai wakilnya."Para hadirin bertepuk tangan mendengar titah sang Raja. "Sedangkan Kebo Anabrang kuangkat sebagai Senopati Agung!" kata Kertanegara.Orang-orang kembali bertepuk tangan menyambut gembira keputusan Kertanegara. Tentu saja sudah lama Kertanegara ingin melengserkan Raganata sebagai Patih dan Aria Wiraraja sebagai Rakryan Demung lalu memindahnya ke Songenep (Sumenep) Madura. Hari ini dia mendapatkan alasan yang tepat untuk membuang mereka yang bagaikan duri dalam daging bagi Kertanegara. Setiap saat kedua orang itu selalu saja mengkritisi setiap kebijakannya dan mengingatkan dirinya agar menghentikan kebiasaannya mabuk-mabukan dan bercinta dengan banyak wanita dengan alasan mengamalkan ritual Tantrayana. Kertanegara menggantinya dengan orang-orang yang lebih penurut dan memiliki kesukaan yang sama de
Tiba-tiba Lembu Sora melompat ke arah Wirota dan membacok wajahnya membuat Wirota harus mundur selangkah menghindarinya sambil tangannya menangkis dengan pedangnya untuk melindungi wajahnya. Percikan api meletik dari pedang mereka, tangkisan Wirota sempat membuat tangan Lembu Sora terasa kesemutan karena kuatnya tenaga yang dikerahkan pemuda itu. Sedangkan Lembu Sora sendiri baru menggunakan 50% tenaganya saja.Benar kata Kangmas Wiraraja, anak ini istimewa, tinggal diasah sedikit dia akan menjadi seorang prajurit yang hebat, batin Lembu Sora.Beberapa prajurit mulai berkerumun menonton latihan perang Lembu Sora dan Wirota. Mereka merasa heran, baru kali ini mereka melihat pemimpin mereka mau berlatih dengan seorang prajurit yang baru saja terdaftar di Kasatriyan mereka. Biasanya Lembu Sora hanya mau berlatih dengan prajurit senior saja.Kini terlihat Wirota sudah tidak sungkan-sungkan lagi melawan Lembu Sora yang sudah menyerangnya dengan gencar. Pedangnya berkelebat, sesekali terlih
Jangan-jangan dugaan pemberontakan itu memang benar adanya, dan dalam hal ini dia akan bekerjasama dengan Arya Rahu sebagai pemasok senjata dan prajurit. Pintar juga dia mendekati seorang Arya yang mengurus pembuatan senjata dan pasokannya ke seluruh wilayah Singhasari termasuk Kerajaan bawahan. "Tapi untuk apa mereka mengincar pedang Naga Bumi?" tanya Lembu Sora."Ndoro Sora, pedang Naga Bumi adalah pedang yang hebat. Pedang itu dapat mengiris sebongkah batu kali dengan mudah seperti mengiris batang pisang. Saya sudah membuktikan sendiri ketangguhannya," kata Wirota.Lembu Sora menganggukan kepalanya, sekarang dia akan lebih ketat lagi mengawasi Arya Rahu."Ngger, apa kau mau membalas dendam kepada Arya Rahu?" tanya Lembu Sora.Wirota tampak tertegun sejenak kemudian berkata"Tentu saja, saya ingin Ndoro Sora.""Kau tahu Jayakatwang Raja Gelang-gelang? Kami mencurigainya akan melakukan makar terhadap Raja Kertanegara. Melihat kemampuanmu, aku akan menempatkanmu sebagai pasukan Caya
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria