Musim Kemarau Panjang
Tahun ini musim kemarau yang panjang telah melanda Singasari dan seluruh bagian di pulau Jawa. Sungai, pengairan dan sawah-sawah mengering. Rakyat sudah menderita karena kelaparan, para pedagang bahan pokok menjual bahan makanan dengan harga tinggi setelah selama musim panen menimbun beras dan palawija di gudang.
Wirota merasa geram karena Pejabat Pemungut Pajak masih saja tetap membebankan pajak yang tinggi kepada rakyat dan tak pernah peduli kepada penderitaan rakyat kecil.
Ketika malam telah larut, Wirota dengan pakaian serba hitam dengan kedok menutup sebagian wajahnya, datang ke rumah pejabat pajak itu. Matanya menatap tajam ke arah rumah pejabat itu. Rumahnya besar dengan tembok yang tinggi dan dijaga oleh beberapa penjaga yang pastinya berilmu tinggi. Beberapa ekor anjing penjaga berkeliaran di halaman rumah yang selalu menyalak setiap kali ada bayangan bergerak atau bau yang tak di kenal.
“Sial, Pejabat itu punya banyak anjing penjaga, aku harus bekerja keras menyirep mereka,” gumam Wirota.
Usai menyirep para penjaga beserta anjing penjaganya, Wirota segera bergerak masuk halaman merayap di tembok yang tinggi dengan ilmu Cicak Merayap. Sesampainya di halaman, Wirota memejamkan matanya memanggil para perewangannya untuk mencari keberadaan harta si Pejabat. Tak berapa lama kemudian Wirota menuju ke suatu tempat di belakang lemari besar dan ternyata di belakang lemari itu ada sebuah rak batu rahasia. Dengan cepat tangan Wirota bekerja meraup mengambil uang emas dan perak sebanyak-banyaknya dalam kantong yang telah disiapkannya.
Setelah uang terkumpul cukup banyak sesuai kemampuannya membawa karung, Wirota menggembol kantong uang itu dalam tas yang dijahit seperti ransel, kemudian bergerak pergi meninggalkan rumah pejabat pajak itu. Namun sialnya ketika tengah berlari melintasi halaman belakang menuju tembok, dua orang penjaga mencegatnya menghadang jalan keluarnya dengan tombak.
“Siapa kamu dan mau apa kamu di sini!” bentak mereka.
Sial, aku sudah gagal menyirep mereka, maki Wirota dalam hati.
Kedua penjaga itu kemudian menyerangnya, Wirota menghindari serangan tombak mereka kemudian berlari menuju pagar. Namun para penjaga itu terus mengejarnya sampai ke pagar belakang.
Huh, mengapa mereka bisa lolos dari ilmu sirepku, para penjaga di sini rupanya memiliki ilmu kanuragan yang hebat, batin Wirota.
“Sekarang kau sudah tidak bisa kemana-mana lagi,” ujar penjaga itu dengan nada mengejek melihat Wirota sudah terdesak di bawah pagar tembok yang tinggi.
Wirota hanya tersenyum sinis di balik kedoknya, dan tiba-tiba saja dia menghilang tanpa bekas meninggalkan kedua penjaga itu kebingungan mencarinya. Dengan ilmu Ajian Welut Putih, Wirota berhasil lolos dari kejaran penjaga rumah pejabat pajak tersebut. Dalam merampok Wirota tidak pernah membunuh korbannya, yang dilakukannya adalah sebatas melumpuhkan saja tidak sampai melukai mereka sampai parah kecuali jika terpaksa. Setelah berada jauh dari rumah Pejabat itu, Wirota bersuit memanggil Jlitheng kuda hitamnya lalu memacu kudanya menuju perkampungan kumuh di pinggir kota.
Sesampainya di sebuah rumah, Wirota menaruh beberapa keping uang emas dan perak di masing-masing rumah, ada yang di simpan di dalam tempayan tempat beras,ada pula yang hanya disorongkan lewat pintu atau jendela. Umumnya para rakyat miskin di kota itu sudah tahu setiap bulan seseorang akan datang ke rumah mereka memberi sejumlah uang.
Kembali ke rumahnya dalam kesendirian, Wirota minum tuak dan menyantap pisang rebus hasil panen di kebunnya. Mereka sengaja tinggal di daerah yang jarang penduduk. Hal itu memang dilakukan Jayendra agar profesi dan semua data dirinya tidak diketahui banyak orang. Sambil menenggak tuak, dipegangnya lencana itu dan menyebut sebuah nama
“Arya Rahu, sampai ke ujung duniapun aku akan terus mencarimu.”
Malampun semakin dingin, Wirota masih asyik minum tuak untuk sejenak melupakan kesedihannya setelah Jayendra gugur dibunuh Arya Rahu. Akhirnya Wirota
Hari itu Wirota bangun kesiangan setelah semalaman dia mencuri di rumah pejabat pajak itu. Dengan mata masih setengah mengantuk, Wirota segera ke sumur untuk mandi menyegarkan tubuhnya. Tiba-tiba dia teringat dengan rencananya untuk menyusup ke istana. Dia berencana akan menyusup sebagai seorang Abdi Dalem istana. Tidak sulit baginya untuk memperoleh seragam abdi dalem dan samir sebagai penanda kepangkatan dan jenis tugas yang diemban seorang abdi dalem.
Ketika melewati sebuah rumah, Wirota melihat ada seragam abdi dalem lengkap dengan samirnya di jemur di halaman belakang. Dengan mudah Wirota mengambil pakaian abdi itu tanpa diketahui orang-orang di sekitarnya. Entah bagaimana nasib abdi itu ketika menyadari seragam kerjanya sudah raib.
Dengan berjalan kaki, Wirota menuju istana, mengelilingi temboknya. Di bagian belakang keraton ada pintu butulan kecil biasanya untuk lewat para abdi yang akan pergi keluar keraton tanpa harus berjalan memutar sampai depan istana. Butulan pintu kecil itu biasanya dikunci dari dalam, namun hal itu bukanlah masalah baginya untuk masuk kedalamnya. Setelah mengusap pintu dan menyebut mantera, pintu itu akan terbuka sendiri dan dengan mudah Wirota masuk ke dalamnya.
Sekarang Wirota telah berada di sebuah halaman yang luas penuh dengan tanaman bunga dan pepohonan yang rimbun. Di halaman itu ada seorang remaja laki-laki mungkin sebaya dirinya atau mungkin sedikit lebih muda, sedang mengejar ayam aduan.
“Jalu … kemarilah jangan pergi!”
Remaja itu berlarian mengejar-ngejar ayam namun ayam itu selalu saja bisa menghindar berlarian sambil mengepak-ngepakan sayapnya dan berkotek-kotek dengan berisik.
“Petok … kok kok kok petok!”
Melihat remaja itu tak pernah berhasil mengejar ayam, Wirota tak tahan berkomentar
“Kalau kau mengejarnya seperti itu, ayam itu akan lari ketakutan,” ujar Wirota.
Melihat Wirota berdiri di situ remaja laki-laki itu berkata
“Kalau begitu bantulah aku menangkapnya.”
“Baiklah, sebentar aku akan menangkapnya,” ujar Wirota
Wirota berlutut di tanah kemudian memanggil ayam itu sambil merapal mantera dalam hati. Tiba-tiba saja ayam yang semula panik berlarian kesana kemari menjadi lebih penurut. Sang ayam dengan sukarela mendatangi Wirota yang dengan segera menangkap ayam itu dan mengelusnya. Ajian itu adalah ajian pertama yang dipelajarinya dari Jayendra ketika Jayendra menyuruhnya mencuri ayam.
“Bagaimana kau bisa melakukannya?” tanya remaja itu dengan heran.
"Ah, itu gampang aku sudah sering melakukannya," ujar Wirota sambil tersenyum penuh arti.
Tentu saja memikat ayam adalah hal yang mudah bagiku karena aku adalah maling ayam he he he,batin Wirota.
Remaja itu segera menyambut ayam dari Wirota dan memasukan lagi ke kandang.
“Terimakasih akhirnya ayamnya bisa kembali, siapa namamu?”
“Aku Wirota dan kau sendiri siapa?” tanya Wirota.
“Panggil saja aku Jaya,” jawabnya sambil melihat ke arah Samir yang dipakai Wirota.
Samir yang dipakai Wirota adalah penanda tugas sebagai abdi dalem yang sering disuruh keluar istana untuk berbelanja berbagai keperluan istana.
Jaya yang sedang bosan di dalam istana kemudian berkata
“Aku sedang bosan di sini, tidak ada keramaian di tempat ini, semua terasa sepi. Kau bisa mengajakku keluar sebentar melihat keramaian?”
Wirota tertegun mendengar permintaan Jaya namun akhirnya dia menganggukan kepala dan menjawab“Ehmm … baiklah, di dekat pasar ada acara aduan ayam, kalau kau mau aku bisa mengajakmu ke sana.”Mereka berdua kemudian keluar istana dan berjalan menuju lokasi aduan ayam. Di lokasi tersebut sudah ramai orang memasang taruhan untuk ayam-ayam yang dijagokannya.“Kau mau pasang taruhan?” tanya Wirota.Jaya menggelengkan kepalanya“Tidak, aku tidak bawa uang, lalu kau juga akan pasang taruhan?”Wirota berpikir sejenak, baru diingatnya kemarin uang rampokan dari pejabat pajak itu sudah habis dibagikan kepada fakir miskin, sekarang hanya tinggal beberapa kepeng tembaga dan 1 kepeng perak saja di kantongnya. Jadi dia harus mencari uang lagi untuk bertahan hidup.“Aku akan pasang taruhan, kau tunggulah sebentar,” kata Wirota.Jaya berkeliling lokasi melihat-lihat ayam di situ, hatinya sedikit terhibur melihat ayam-ayam itu dan keramaian di sana. Sekembalinya dari Bandar Judi untuk memasang taruhan
Hmm … pantas saja mereka tidak bisa benebak dadu itu, semua mangkok itu kosong dadunya disembunyikan, batin Wirota.Ketika Bandar itu mulai memutar mangkoknya lagi, tiba-tiba Wirota menangkap tangannya dan berkata“Dadu itu kau sembunyikan, pantas saja mereka tidak ada yang bisa menebak dengan benar!” seru Wirota sambil membuka ketiga mangkok di depan Bandar itu. Mangkok-mangkok itu kosong semua. Para peserta judi semua terperangah melihat kejadian itu. Wajah mereka mulai tampak marah, kemudian Wirota memelintir tangan kanan orang itu hingga telapak tangannya terbuka. Sebuah dadu jatuh dari telapak tangannya.Bandar itu terkesiap melihatnya, mukanya pucat karena ketakutan“Kau ini keterlaluan sekali, tega sekali kau menipu temanmu sendiri!” tutur seorang prajurit kepada Bandar itu.“He he he he, maaf teman-teman namanya saja usaha. Aku butuh uang untuk melunasi hutang-hutangku kepada Tumenggung Barada,” kata si Bandar.“Ya tapi jangan dengan cara menipulah, teman sendiri lagi yang dit
Sial, aku ketahuan, batin Wirota dalam hati.Tanpa rasa gentar sedikitpun, prajurit wanita itu segera menyerang Wirota yang sudah bersiap melompati pagar. Namun sebelum berhasil melompati pagar wanita itu sudah berada di depannya dan dengan gencar menyerangnya dengan pedangnya. Pedang prajurit itu sudah membabat lehernya. Wirota memiringkan posisi kepalanya, memegang tangan si prajurit kemudian menendang perutnya. Prajurit wanita itu terdorong mindur beberapa langkah. Namun ternyata suara pertempuran mereka menarik perhatian para penjaga keputren lainnya. Dengan cepat prajurit penjaga berdatangan dari segala penjuru mengepungnya.Aku harus mengamalkan ilmu welut putih untuk menghilang, kata Wirota dalam hati.Sebuah mantera diucapkan dan dalam sekejap, tubuhnya menghilang. Para prajurit itu terkejut mendapati buruannya tida-tiba menghilang dengan cepat. Namun wanita penyerangnya tadi tak kurang akal, dia mengambil tanah kemudian melemparkan ke udara di depannya. Samar-samar ditengah
Ekspedisi PamalayuSetelah Wirota pergi, Wiraraja segera berangkat ke Bale Manguntur. Hari ini Prabu Kertanegara akan mengadakan rapat penting mengenai rencana besarnya memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke pulau Sumatera dengan Ekspedisi Pamalayu dan mengirim pasukan ke wilayah Sunda, Bali dan Pahang. Di Bale Manguntur telah berkumpul para Nayaka Praja, Senopati, Tumenggung dan para Mantri. Namun Raja Kertanegara masih belum datang, Wiraraja kemudian duduk di sebelah Mpu Raganata."Prabu Kertanegara belum datang?" tanya Wiraraja kepada sejawatnya Mpu Raganata."Belum, padahal sudah 2 jam kami semua di sini menunggu kehadiran Gusti Prabu. Hmm pasti dia masih belum pulih dari mabuknya yang parah semalam," ujar Mpu Raganata."Huuh, sayang sekali, sebenarnya dia adalah Raja yang cerdas tetapi dia punya kebiasaan buruk suka mabuk-mabukan. Lebih parahnya lagi dia menganggap minuman keras adalah minuman wajib untuk keperluan ritual Tantrayana. Padahal ajaran agama manapun tidak ada yan
Tak lama kemudian terdengar Prabu Kertanegara berbicara lagi"Sebagai ganti Rakryan Patih Mpu Raganata, aku menunjuk Kebo Anengah sebagai Rakryan Patih dan Panji Aragani sebagai wakilnya."Para hadirin bertepuk tangan mendengar titah sang Raja. "Sedangkan Kebo Anabrang kuangkat sebagai Senopati Agung!" kata Kertanegara.Orang-orang kembali bertepuk tangan menyambut gembira keputusan Kertanegara. Tentu saja sudah lama Kertanegara ingin melengserkan Raganata sebagai Patih dan Aria Wiraraja sebagai Rakryan Demung lalu memindahnya ke Songenep (Sumenep) Madura. Hari ini dia mendapatkan alasan yang tepat untuk membuang mereka yang bagaikan duri dalam daging bagi Kertanegara. Setiap saat kedua orang itu selalu saja mengkritisi setiap kebijakannya dan mengingatkan dirinya agar menghentikan kebiasaannya mabuk-mabukan dan bercinta dengan banyak wanita dengan alasan mengamalkan ritual Tantrayana. Kertanegara menggantinya dengan orang-orang yang lebih penurut dan memiliki kesukaan yang sama de
Tiba-tiba Lembu Sora melompat ke arah Wirota dan membacok wajahnya membuat Wirota harus mundur selangkah menghindarinya sambil tangannya menangkis dengan pedangnya untuk melindungi wajahnya. Percikan api meletik dari pedang mereka, tangkisan Wirota sempat membuat tangan Lembu Sora terasa kesemutan karena kuatnya tenaga yang dikerahkan pemuda itu. Sedangkan Lembu Sora sendiri baru menggunakan 50% tenaganya saja.Benar kata Kangmas Wiraraja, anak ini istimewa, tinggal diasah sedikit dia akan menjadi seorang prajurit yang hebat, batin Lembu Sora.Beberapa prajurit mulai berkerumun menonton latihan perang Lembu Sora dan Wirota. Mereka merasa heran, baru kali ini mereka melihat pemimpin mereka mau berlatih dengan seorang prajurit yang baru saja terdaftar di Kasatriyan mereka. Biasanya Lembu Sora hanya mau berlatih dengan prajurit senior saja.Kini terlihat Wirota sudah tidak sungkan-sungkan lagi melawan Lembu Sora yang sudah menyerangnya dengan gencar. Pedangnya berkelebat, sesekali terlih
Jangan-jangan dugaan pemberontakan itu memang benar adanya, dan dalam hal ini dia akan bekerjasama dengan Arya Rahu sebagai pemasok senjata dan prajurit. Pintar juga dia mendekati seorang Arya yang mengurus pembuatan senjata dan pasokannya ke seluruh wilayah Singhasari termasuk Kerajaan bawahan. "Tapi untuk apa mereka mengincar pedang Naga Bumi?" tanya Lembu Sora."Ndoro Sora, pedang Naga Bumi adalah pedang yang hebat. Pedang itu dapat mengiris sebongkah batu kali dengan mudah seperti mengiris batang pisang. Saya sudah membuktikan sendiri ketangguhannya," kata Wirota.Lembu Sora menganggukan kepalanya, sekarang dia akan lebih ketat lagi mengawasi Arya Rahu."Ngger, apa kau mau membalas dendam kepada Arya Rahu?" tanya Lembu Sora.Wirota tampak tertegun sejenak kemudian berkata"Tentu saja, saya ingin Ndoro Sora.""Kau tahu Jayakatwang Raja Gelang-gelang? Kami mencurigainya akan melakukan makar terhadap Raja Kertanegara. Melihat kemampuanmu, aku akan menempatkanmu sebagai pasukan Caya
Pemberontakan Pasukan Caya RajaKebo Arema penasehat Kertanegara rupanya mengetahui adanya pemberontakan ini. Entah siapa yang membocorkan rencana pemberontakan itu, sebelum mereka bergerak, para pelakunya sudah keburu ditangkap. Pemberontakan pasukan Caya Raja berhasil ditumpas dengan mudah. Hal itu membuat Jayakatwang semakin berhati-hati dalam melaksanakan rencana pemberontakannya.Akibat adanya upaya makar oleh pasukan Caya Raja, maka terjadi perombakan besar-besaran dalam pasukan Caya Raja. Regu Caya Raja di bawah pimpinan Wiragati dimutasi menjaga keamanan wilayah di luar Keputren. "Mulai besok kita sudah berjaga di tembok luar Keputren. Tampaknya kita akan lebih sering berjaga di siang hari," kata Wiragati."Aku malah senang jika kita berdinas pagi di Keputren, daripada kita dinas malam seperti kemarin-kemarin. Dini hari aku harus mengurus Raja mabuk, menggotongnya ke kamarnya. Terkadang Gusti Prabu Kertanegara sampai muntah-muntah di tanganku karena banyaknya tuak yang masuk
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria