“Saya Wirota, saya hanyalah seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini.," jawab Wirota. "Saya adalah Kepala Desa di sini, apakah Ki Sanak sudah mendapatkan tempat untuk menginap?" "Terimakasih Ki Sanak, saat ini saya menginap di rumah Mbah Lepo,” ujar Wirota. Pria di depannya mengerutkan keningnya “Mbah Lepo? Dulu di desa ini memang ada orang yang bernama Lepo, tapi dia sudah lama menghilang. Kami tidak pernah bertemu dengannya lagi.” Wirota tertegun dan sedikit bingung “Lalu siapa kakek tua yang sore itu mempersilahkan saya menginap di rumahnya?” Kepala Desa tampak terkejut bercampur bingung mendengar pernyataan Wirota “Kalau begitu tolong tunjukan di mana rumahnya?” Tiba-tiba seorang pemuda berseru “Hei, lihat sepertinya orang ini bukan Siluman Musang, ternyata selama ini kita telah salah menuduh orang. Siluman Musang bukanlah pembunuh para penduduk desa. Kita seharusnya meminta maaf pada Siluman Musang karena selama ini kita telah menuduhnya membunuh penduduk desa.”
"Buka penutup tombaknya, aku ingin melihat seperti apa wujud tombak dari batu pusaka itu.Wirota membuka selubung penutup ujung tombak. Terlihat mata tombak yang hitam berkikat-kilat. Siluman Musang berjalan menghampiri Wirota, lalu tangannya di sentuhkan ke tombak. Namun mendadak dia menarik kembali tangannya. Energi tombak itu telah menolaknya, Siluman Musang mendadak terjatuh, kaki tangannya terasa lumpuh.“Ki Sanak!” Seru WirotaWirota segera membungkus kembali tombaknya, sementara Siluman Musang terbaring lemas di tanah. Orang-orang desa segera membawa Siluman Musang ke pembaringan batu di pojokan."Tombak ini benar-benar hebat, tidak semua orang bisa mendekati tombak ini. Berhati-hatilah jika tidak cocok orang yang menyentuhnya akan sakit dan lumpuh. Kelak tombak ini akan diperebutkan oleh para raja di Jawa,"kata Siluman Musang.Melihat para penduduk desa itu sudah mulai kelelahan kepala desa memutuskan untuk menginap di tempat itu."Saudara-saudara sekalian, hari sudah mulai ge
“Lalu apa rencana anda selanjutnya?”“Kita akan mencuri pusaka itu dan membawanya kembali ke Gunung Padang. Bertahun-tahun kita telah meninggalkan Gunung Padang, berusaha memburu mereka. Sekarang saatnya Batu Pusaka itu kembali ke pangkuan Sekte Gunung.” kata pemimpin rombongan itu. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” Tanya anak buahnya.“Kita akan menjebak mereka ketika mereka keluar dari tempat ini,” kata pemimpin Sekte Gunung.Orang-orang Sekte Gunung mulai bergerak cepat menuruni tebing membuat jebakan di sekitaran gua dan jalan keluar. Sementara Wirota dan rombongan penduduk desa beristirahat setelah seharian bekerja membereskan jenazah orang-orang yang mati dan mengobati orang-orang yang terluka.“Kita terpaksa menginap di sini semalam lagi, besok pagi kita berangkat jika keadaan memungkinkan. Hari sudah malam, kalau kita berangkat sekarang nanti kita akan kemalaman di jalan dan terpaksa menginap di hutan. Lagipula masih ada beberapa orang yang terluka, mereka memerlukan istir
“Lalu apa rencana anda selanjutnya?”“Kita akan mencuri pusaka itu dan membawanya kembali ke Gunung Padang. Bertahun-tahun kita telah meninggalkan Gunung Padang, berusaha memburu mereka. Sekarang saatnya Batu Pusaka itu kembali ke pangkuan Sekte Gunung.” kata pemimpin rombongan itu. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” Tanya anak buahnya.“Kita akan menjebak mereka ketika mereka keluar dari tempat ini,” kata pemimpin Sekte Gunung.Orang-orang Sekte Gunung mulai bergerak cepat menuruni tebing membuat jebakan di sekitaran gua dan jalan keluar. Sementara Wirota dan rombongan penduduk desa beristirahat setelah seharian bekerja membereskan jenazah orang-orang yang mati dan mengobati orang-orang yang terluka.“Kita terpaksa menginap di sini semalam lagi, besok pagi kita berangkat jika keadaan memungkinkan. Hari sudah malam, kalau kita berangkat sekarang nanti kita akan kemalaman di jalan dan terpaksa menginap di hutan. Lagipula masih ada beberapa orang yang terluka, mereka memerlukan istir
"Kurasa ada orang atau kelompok yang ingin menjebak kita. Mungkinkah gerombolan perampok yang kemarin itu yang ingin balas dendam?" Tanya Wirota. Siluman Musang berkomentar"Bisa jadi demikian, menurutku tombak pusakamu telah mengundang para pemburu benda mustika yang ingin memiliki tonbak ini. Sekarang kita harus berhati-hati karena musuh yang kau hadapi tidak hanya satu kelompok orang tetapi bisa menjadi banyak orang.""Seorang warga desa yang tengah duduk di samping jenazah lalu bertanya"Lalu bagaimana debgan jenazah teman kita yang mati in?""Jika jita harus.menggali kubur, itu akan memakan waktu lama padahal kita harus segera sampai ke kaki gunung sebelum hari gelap. Menjelang maghrib biasanya kabut akan turun. Jangan sampai kita terjebak kabut di tengah perjalanan, itu akan sangat berbahaya. Bisa-bisa kita tersesat di kampung demit," kata Kepala Desa."Benar, saat ini kita sedang dalan bahaya, kita tidak mungkin mengubur jenazah sekarang karena kita harus segera mencapai desa
Tak ada jalan lain selain harus menghadapi orang-orang itu. Sementara itu kepala desa telah memberikan aba-aba menyerang pada anak buahnya yang tersisa“Serang mereka!”“Tunggu!” Seru Wirota.Kepala Desa dan Siluman Musang terkejut Wirota maju ke hadapan Kepala Desa dan anak buahnya“Orang-orang ini hanya mengincarku dan tombak ini, bukan kalian. Jadi sebaiknya kalian segera pergi, biar aku yang menghadapinyam” kata Wirota.Namun Kepala Desa menolak“Tidak, kami tidak bisa diam melihat teman kami menghadapi bahaya, Kau orang yang berjasa bagi kami, sudah seharusnya kami membalas budi pada orang yang telah menolong menyelamatkan penduduk desa dari teror Iblis Pencabut Nyawa. Kita akan menghadapinya bersama-sama.”Gerombolan Sekte Gunung dari Gunung Padang telah bergerak menyerang, Wirota dan anggota rombongan lainnya termasuk kepala desa segera menghadapi orang-orang dari sekte Gunung. Namun ketika pedang dan golok disabetkan ke tubuh orang-orang dari Sekte Gunung, tubuh mereka sama
Siluman Musang menghampiri Wirota lalu memeluknya dengan perasaan haru“Terimakasih Ngger, jika tidak karena kamu, selamanya aku akan dituduh sebagai pembantai penduduk desa.”“Ki Sanak, jaga diri baik-baik, kapan-kapan jika urusanku selesai aku akan mampir kemari menjenguk anda,” kata Wirota.Siluman Musang mengeluarkan sebuah kantong kain dari kantongnya“Ini ada sedikit uang untuk bekalmu, kau pasti memerlukannya.”Wirota terkejut, dia membuka kantong itu dan melihat ada segenggam koin perak di dalamnya.“Tidak Ki Sanak, aku tidak bisa menerima ini, walaupun sedikit tapi aku masih punya uang jika sekedar untuk membeli makanan saja, masih cukup.”Siluman Musang langsung menukasnya“Jumlah ini tidak sebanding dengan jasa yang telah kau berikan kepadaku. Hanya ini yang bisa kuberikan untukmu sebagai tanda terimakasihku. Ambilah, perjalanan masih jauh, uang kepeng tembagamu tidak akan cukup untuk bekal perjalanan.”Wirota merasa ragu, tetapi dia akhirnya menyadari bahwa perjalanan mas
Sekarang Nelayan sudah mulai bisa menguasai dirinya. Dia lalu mulai bercerita“Ra Kuti dan teman-temannya di Dharmaputra memberontak terhadap Prabu Jayanegara. Akupun ikut serta dalam pemberontakan itu.”Wirota terkejut dan tak menyangka Nelayan terlibat dalam pemberontakan Ra Kuti.“Apa…Ra Kuti memberontak dan kau ikut membantunya? Ini pasti gara-gara mulut beracun Halayuda sehingga terjadi pemberontakan ini.”Nelayan langsung menukas“Kali ini tidak Wiro, pemberontakan ini sejatinya karena dendam Ra Kuti terhadap Jayanegara yang telah merusak rumah tangganya sehingga isterinya mati bunuh diri karena malu. Tidak hanya Ra Kuti, Ra Tanca dan para pejabat Dharmaputera lainnya sudah kesal karena isteri mereka dilecehkan oleh Jayanegara ketika mereka tidak ada di rumah. Ah, Raja satu itu memang tidak sebaik ayahnya, kerjanya cuma menggoda isteri orang saja, sakit jiwa mungkin orang itu. Lebih tertarik pada isteri orang daripada gadis, makanya sampai sekarang dia tidak juga menikah dan men
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria