Part 2 (Mencari Bukti!)
Aku mengikuti mobil Mas Iden menggunakan taksi, meminta pak sopir menjaga jarak agar kami tidak ketahuan.Dua puluh limat menit perjalanan, mobil yang Mas Iden kemudikan berhenti di depan rumah.Ini bukan rumah Ibu?Apa jangan-jangan ini rumah wanita bernama Sheri itu?"Pak tolong jaga jarak, jangan sampai ketahuan," ucapku sambil menepuk punggung pak sopir.Tatapan mataku tak bisa lepas dari mobil milik Mas Iden.Pria berstatus suamiku itu turun dari mobil. Tiba-tiba saja seorang wanita membuka pintu rumah, ia langsung berlari memeluk suamiku.Dada ini bergemuruh hebat, ingin sekali aku turun dan melabrak mereka. Namun, bagaimana jika Mas Iden tidak mau mengaku, dan justru terus membohongiku dengan sandiwara yang ia buat. Apalagi aku tidak punya bukti yang memperlihatkan adanya hubungan di antara mereka.Aku mengeluarkan ponselku, mengambil potret kemesraan itu.Beberapa menit mereka saling bercengkrama, entah apa yang mereka berdua obrolkan. Yang jelas setelah itu mereka berdua masuk ke dalam rumah tersebut.Tetangga rumah ini lewat, aku akan turun untuk mengorek informasi."Bapak tunggu sebentar, saya mau keluar. Kalau saya lama, bapak tinggalkan saja." Selesai berpamitan pada sopir, aku melangkah keluar dari taksi."Ibu-ibu, tunggu." Aku memanggil mereka, dan lekas menghampiri. Ketiga Ibu-ibu itu berhenti dan berbalik badan."Ada apa Mbak?" tanya salah satu diantara mereka."Maaf Bu, saya mau numpang nanya." Mereka saling melempar tatapan. Kemudian menganggukkan kepala."Tanya apa Mbak?""Gini Bu, Ibu kenal pemilik rumah itu?" Aku menunjuk kearah rumah yang tadi Mas Iden masuki.Sebelah alis Ibu berambut panjang itu terangkat. "Kenal Mbak, itu rumah Sheri. Mbak ada urusan sama dia?" tanya Ibu itu."Kalau pria yang tadi sama dia itu siapa?""Itu suaminya, mereka nikah 10 bulan yang lalu kalau gak salah. Ahh, saya lupa Mbak." Aku terbelalak, benar dugaanku."Gosip yang beredar, dulu mereka itu pernah pacaran Mbak, terus putus. Dan sekarang menikah, terus gak lama punya anak. Kalau jodoh, gak bakalan kemana." Begitu lah penjelasan dari Ibu-ibu ini. Aku beringsut mundur, menahan sesak yang menghimpit dadaku. Jadi Mas Iden menikahi mantannya."Jadi dulu mereka pacaran? Apa Ibu tahu kalau pria itu sudah memiliki istri sebelum menikah lagi?" Mereka nampak terkejut, bukan mereka saja. Aku jauh lebih terkejut.Kalau Mas Iden menikah dengan mantannya, kenapa ia tidak pernah jujur. Kenapa harus bermain di belakangku. Aku begitu bod*h, bisa-bisanya aku baru tahu sekarang. Seperti apa sih mantannya sampai ia rela bermain api."Loh, jadi Pak Iden itu udah nikah sebelum nikah sama Sheri, begitu?""Berarti itu perempuan pelakor dong,""Apa pak Iden minta ijin pas mau nikah lagi?""Kayaknya gak, kalau minta ijin pasti istri pertamanya ada di pelaminan waktu itu." Ibu-ibu ini malah asyik bergosip. Aku mengusap wajahnya, harus apa aku ini.Apa aku labrak saja mereka sekarang?Tapi, bagaimana jika Mas Iden berkelit. Bukti ini tidak cukup, aku butuh yang akurat."Mbak." Lamunanku buyar, aku seketika menatap mereka."Mbak ini siapa? Apa jangan-jangan Mbak ini istri pertamanya Pak Iden?" tanyanya."Iya, saya istrinya.""Duh, yang sabar Mbak. Lebih baik Mbak samperin saja mereka! Itu pelakor harus di kasih pelajaran!" usul salah satu Ibu.Aku diam beberapa detik, menghirup oksigen melalui rongga hidung.Tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti di depan rumah Sheri. Dari plat mobilnya aku mengenal mobil itu.Itu bukannya Ibu dan Meli.Mereka ke sini juga?"Itu mertuanya, Mbak!""Itu juga mertua saja,""Samperin Bu, jangan mau diinjak-injak.""Boleh tidak saya minta tolong,""Minta tolong apa?""Ibu-ibu ini kan tahu kalau suami saya dan Sheri itu menikah—" Aku belum selesai dengan penuturanku. Namun, Ibu Endah memotongnya."Aku punya foto pernikahan mereka Mbak, waktu itu aku diundang, dan sempat foto juga." Bu Endah mengeluarkan ponselnya, ia menunjukkan foto Mas Iden dan Sheri di pelaminan."Kira-kira ini bukti cukup meyakinkan?""Menyakinkan kalau Ibu aja Bu Endah, dia kan datang di acara itu. Kalau saya diundang tapi gak datang. Bu Dina diundang gak?""Saya diundang, tapi gak sempat foto-foto sama penggantinya," jawab Bu Dina."Udah kelamaan, Mbak langsung datangi itu mereka. Dulu saya pernah di giniin sama suami saya yang dulu, tapi Alhamdulillah. Suami saya yang sekarang itu bener,""Jadi dulu suami ibu gak bener?""Iya, dia suka kasar dan main tangan. Udah gitu main perempuan, saya tinggali langsung. Hidup sekali ngapain numpuk penyakit hati. Lepas aja, pasti diganti sama Tuhan yang lebih baik." Cerita Bu Endah.Aku menggigit bibir bawahku, lalu mematikan rekaman suara pada ponsel ini."Kalau begitu terima kasih ya Bu, informasi dari kalian sangat membantu saya." Setelah itu aku mempercepat langkah. Ibu-ibu itu justru mengikutku dari belakang.Aku menoleh, Ibu-ibu itu mendekatiku. "Ada apa Bu?""Ini, aku kirimi foto-fotonya Mbak."Aku memberi Bu Endah nomor Waku. Tak lama, notifikasi masuk."Ini fotonya sudah saya kirim.""Makasih ya Bu.""Sama-sama, semangat Mbak!"Sepandai-pandainya dia menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga. Aku ingin tahu, seperti apa Sheri itu. Selama ini Mas Iden tidak pernah menyinggung soal mantannya, tidak tahu jika mereka ternyata kembali menjalin hubungan.Part 3 (Pilih Aku atau Dia?)Aku mengetuk pintu rumah Sheri. Menunggu sang pemilik rumah ini membuka pintu. Tidak lama kemudian, pintu rumah akhirnya dibuka. Aku tersenyum, memperlihatkan deretan gigiku melihat Kak Meli mematung. "Aku melihat mobil Mas Iden di depan rumah ini, dan mobil Kakak juga. Makanya aku datang ke sini, apa yang kalian lakukan di sini?" Aku menodong Kak Meli dengan pertanyaan. Wanita itu nampak gugup, ia menoleh kebelakang. Dan akhirnya menutup pintu. "Kakak lagi kunjungi teman Kakak, anaknya sakit," ucapnya. Aku menelan ludah, membasahi tenggorokan yang kering dan panas. "Kalau Mas Iden? Ngapain dia di sini?" Aku kembali bertanya, Kak Meli membulatkan matanya. "Kalau Iden—dia.""Dia apa kak?" Aku menyilang kedua tangan di dada, menunggu kelanjutan ucapan Kak Meli yang terbata-bata. "Iden Kakak suruh ke sini buat nemenin Kakak." Aku mengangguk kepala mendengar jawabannya. Kurang pas dengan kenyataan aslinya. Kalau benar, kenapa Mas Iden yang lebih dulu
Part 4 (Keputusannya!)"Cepat katakan, kamu pilih dia atau aku!" Aku menunjuk kearah wanita itu. Paling tidak suka jika Mas Iden mulai mengulur waktu. Tinggal bilang, bersamanya atau bersamaku. Melihat Mas Iden diam ubun-ubunku makin panas. "Jawab aku, Mas!""Pilih saja Sheri, Den, kalian sudah punya anak." Ibu menyahut, menatapku tak suka. "Iya Mas, kita kan saling mencintai. Buat apa kamu pertahankan dia, hidup dalam kepalsuan itu melelahkan," tutur Sheri. Aku menarik tangannya, lantas menampar pipinya lagi. "Plak!"Mas Iden terkejut, ia menyembunyikan Sheri di belakang punggungnya. "Berani kamu tampar Sheri, Mauren! Kamu tampar sampai dua kali!" Ibu menatapku garang, sedangkan Mas Iden, matanya mendelik tajam. "Baru dua kali, ribuan kali tanganku tak akan puas menamparnya." "Cukup, Mauren. Kendalikan dirimu, Sheri tidak salah. Aku lah yang salah, aku yang datang padanya!""Apa katamu, Mas? Kalian berdua sama-sama salah. Dasar bajing*n."Aku mendorong Mas Iden, pukulan keras
Part 5 (Dianggap Apa Aku Selama Ini?)Kudengar suara gedoran pintu, kemudian di susul dengan suara teriak dari luar. "Mauren, keluar! Kita bicara baik-baik!"Begitu lah kalimat yang keluar dari mulutnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Iden. Apa kurang jelas perkataanku saat singgah di rumah istri keduanya. Tok ...Tok ..."Mauren, Mas mohon keluar. Masalah ini bisa diselesaikan baik-baik. Jangan kekanak-kanakan." Aku memicingkan mata, apa katanya? Kekanak-kanakan. Coba dia yang diselingkuhi. Pasti kata-kata itu akan ditarik dari mulutnya. Sedikit pun aku tidak menanggapi. Memilih menyantap semangkuk mie instan yang baru selesai kubumbui. "Mauren, Mas tahu kamu ada di dalam. Ayolah keluar, apa susahnya sih bicara sebentar!"Kesekian kalinya Mas Iden berteriak. Apa tenggorakannya itu tidak kering, aku yang mendengarnya saja sudah jengah. "Mauren!"Kutarik napas dalam-dalam, kepalan tanganku makin kuat. Sialan!Bukannya dia sudah menjatuhkan pilihan. Dan memilih kembali pada
Part 6 (“Ma, Pa, Aku Pulang!”)****Aku menarik koperku sambil menjinjing tas. Memasukannya ke dalam bagasi mobil Mas Iden. "Tolong, kamu jual mobil suami saya. Kalau ada yang minat, suruh hubungi saya. Untuk sementara waktu saya pakai dulu mobilnya," ucapku pada Zany, dia orang kepercayaan Papa yang kusuruh datang ke rumah. Sejauh ini aku belum menceritakan masalah ini pada Papa. Masih ada beberapa langkah yang harus kuambil sebelum papa tahu jika pernikahan putrinya ada diujung tanduk. "Baik Bu,""Tolong kamu antarkan mobil saya pulang ke rumah Papa yah." Aku memberikan kunci mobilku pada Zany. Rencananya setelah dari pengadilan agama aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Rumah ini akan kujual, hasilnya untuk modal usaha. "Siap Bu,""Kamu sudah sewa orang untuk jaga rumah ini?" Aku bertanya sambil menatap Zany, pria berambut gondrong itu menganggukkan kepala. "Sudah Bu, mereka sebentar lagi sampai.""Terima kasih yah, kalau begitu saja jalan duluan."Aku memegang pintu mobil. Na
Part 7 (Meminta Tolong Zany!)"Zany kunci rumah sudah kamu ganti?" Aku bertanya pada Zany melalui sambungan telepon. "Sudah Bu, tadi ada sedikit masalah. Mertua Ibu datang kemari."Begitulah cerita dari Zany, bisa kusimpulkan. Keluarga Mas Iden sekarang sedang ketar-ketir."Apa yang Ibu mertua saya lakukan?""Mengamuk Bu, dia hampir memecahkan jendela rumah. Beruntung para tetangga dan Pak RT datang."Aku menghela napas, menutup tirai jendela. "Bodyguard yang kamu sewa belum datang?""Sudah Bu, sekarang mereka sedang berjaga.""Baguslah, kamu cepat antar mobil saya ke rumah Papa yah.""Siap Bu,""Ya sudah kalau begitu, kamu hati-hati di jalan, Zan,""Siap Bu."Setelah mendengar jawaban Zany aku memutuskan panggilan. Berjalan ke arah ranjang, dan merebahkan tubuhku di sana. Aku membuka aplikasi galeri, mencari foto Sheri yang sedang berpagutan dengan pria lain.Foto ini bisa kujadikan senjata. Bisa kugunakan sebagai alat untuk mencari bukti-bukti lain. Aku diam, bukan berarti aku
Part 8 (Memiliki Keduanya?)****Aku tidak menyangka kalau Mas Iden akan mendatangi kediaman Papa. Kendati demikian, kehadirannya di rumah ini membuat suasana menjadi tegang. Terlebih dia datang bukan sendirian, melainkan bersama Ibu dan saudara perempuannya."Ngapain kalian datang ke sini?" tanya Papa, sorot matanya tajam bak seperti pedang. Aku berdiri di ambang pintu, Mama dan Papa berusaha menghalangi Mas Iden masuk. "Kita ke sini mau ketemu, Mauren!" tutur Ibu mertuaku. "Buat apa? Sudah cukup kalian menyakiti putri saya?" murka Papa. "Aku minta maaf, Pa. Tolong biarkan aku bicara dengan Mauren!" Mas Iden memohon pada Papa. Memasang raut wajah memelas, dan ada sedikit penyesalan. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Pergi kalian dari rumah saya!""Om Dedi jahat banget, masih untung kita datang ke sini baik-baik! Mauren udah ambil mobil Iden, usir Iden dari rumahnya sendiri!" ketus Kak Meli."Omong kosong!""Kalian salah paham. Mauren saja yang berlebihan, anakmu itu tidak
Part 9 (Rahasia Meli)**** "Terima kasih banyak, Pak," ucapanku pada Pak Ibrahim. Kami baru saja selesai berdiskusi. "Sama-sama, Bu, nanti jika ada berkas yang kurang. Saya akan langsung menghubungi Ibu," jawabnya. Aku menganggukkan kepala, memberikan senyuman tipis pada pria tampan yang ada di depanku ini. Kuperkirakan usianya sepantaran dengan Mas Iden. "Siap, Pak," "Kalau begitu saya pamit, Bu," "Hati-hati di jalan Pak." Kini giliran pria itu yang menganggukkan kepala. Ia lekas mengambil tas kerja miliknya di atas meja, lalu melangkah menjauh dariku. Setelah memastikan punggung itu menghilang dari penglihatanku. Diri ini kembali duduk. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Beberapa kali suara deringan berasal dari benda pipih ini. [Paket sudah sampai pada tujuan. Bu Meli histeris saat membuka paket tersebut.] Aku mengerutkan kening, tanpa bisa kutahan lengkungan tipis tertarik di sudut bibir. [Rekam dan kirim videonya pada saya.] Aku membalas cepat pesan yang Hengki kir
Part 10 (Kebakaran?) **** POV Iden. Aku masih tidak menyangka, kalau Mauren akan tahu hubunganku dengan Sheri. Rahasia yang selama ini kusembunyikan darinya terbongkar sudah. Dan ini lah yang terjadi, pernikahan kami sekarang ada di ambang kehancuran. Kalau boleh jujur, aku tidak mau kehilangan Mauren, tapi aku juga tidak bisa melepas Sheri. Aku ingin memiliki keduanya. Andai Mauren mau berbaik hati menerima pernikahan keduaku ini. Mauren benar-benar egois. Selama ini aku sudah berusaha mencintainya, akan tetapi bayang-bayang Sheri terus menari dalam benak ini. Aku yang tidak tahan lagi, akhirnya kembali dalam dekapan masa lalu. Harusnya Mauren mengerti. Apa tidak bisa memaklumi kekhilafanku ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? "Kembali lah pada masa lalumu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku di sini baik-baik saja. Terkadang sudah memiliki pun belum tentu dicintai. Jika suatu hari kamu menyesal, ingat aku tidak pandai memungut sampah." Dengan susah payah aku menel
Ending (Akhir Yang Bahagia) Waktu terus berlalu, hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan, dan seterusnya. Setelah menunggu hampir lebih dari tiga bulan. Perempuan itu akhirnya memantapkan diri menjatuhkan pilihan pada Andriansyah. Dan hari ini mereka akan melangsungkan pernikahan di salah satu hotel bintang lima. Mauren tidak bisa mendeskripsikan perasaannya. Ia senang sekaligus gugup. Hatinya berbunga-bunga, momen sakral yang dulu pernah ia rasakan kini terulang kembali, dan tentunya bersama dengan pria yang takut kehilangan dirinya. Selama menunggu masa Iddah selesai, Mauren dan Andriansyah semakin dekat. Mereka kian lengket. Siapa sangka, yang awalnya hanya menganggap layaknya adik-kakak. Kini mereka telah melangkah ke jenjang pernikahan. Status mereka berubah. Andriansyah berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga dan menyayangi Mauren dengan segenap hati dan jiwanya. Bismillahirrahmanirrahim. "Saya nikahkan dan saya kawinnya engkau Andriansyah Nugroho dengan anak saya, M
Part 38 (Restu Dan Kabar Kematian) "Andriansyah, apa benar kamu melamar putriku?" tanya Bram, pria itu melipat kedua tangannya sambil bersandar pada kursi. Ia memanggil Andriansyah ke ruangannya karena desakan dari sang istri. Pasalnya, sepulang dari apartemen Andriansyah, Mauren terus tersenyum. Putrinya itu terlihat sedang berbunga-bunga dan dimabuk asmara. Membuat hati Bram menghangat melihat Mauren perlahan bangkit dari keterpurukan. Meski putrinya harus tertatih dalam membuka hati dan berdamai dengan luka lamanya. Its okey, semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. "Benar, Pak." Bram memicingkan mata, ia menatap Andriansyah dengan tatapan tajam. Pria itu sudah siap mengajukan banyak pertanyaan pada calon menantunya. Mauren bilang ia nyaman, sementara Andriansyah sendiri sudah beberapa kali meminta putrinya untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, Bram tetaplah Bram. Dia berkaca dari apa yang pernah terjadi beberapa bulan yang lalu. "Kamu yakin dengan keputusanmu? Mengi
Part 37 (Di atas Kebahagiaan Masih Ada Derita) Mauren menelepon Venya, ia menceritakan masalahnya mulai dari A sampai Z. Termaksud kegelisahanya mendapati Andriansyah baru beberapa menit yang lalu melamarnya. "Jadi begitu Ma, aku bingung harus jawab apa?" Mauren menarik kursi, ia menunggu air mendidih. "Kamu nyaman tidak sama dia?" tanya Venya. Sesaat Mauren terdiam, perempuan itu menopang dagunya dengan tangan kanan. "Jujur sama Mama, kamu nyaman sama Andriansyah atau tidak?" Venya mengulang pertanyaan, Mauren mengangguk kecil. "Nyaman Ma." "Menurut kamu Andriansyah itu orangnya seperti apa?" Mauren merasa Venya seperti sedang mengintrogasinya sekarang. Memberi pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal. Apa coba maksud Mama bertanya seperti itu padaku? gerutu Mauren dalam hati. "Mauren," "Menurut pandanganku yah Ma, Andriansyah itu orangnya baik. Dia bertanggung jawab, terus pekerja keras. Dan aku lihat, dia setia kok orangnya," ungkap Mauren. Venya menahan senyum, ia men
Part 36 (Isi Hati?) Sore itu Mauren mengunjungi apartemen Andriansyah. Ia mengantar kue kering titipan Venya. Dan langsung syok mendapati Andriansyah sakit. Punggung tangan Mauren bergerak menyentuh kening Andriansyah. Seketika hawa panas bercampur dingin menyapa permukaan kulitnya. Dia demam? "Kakak demam, kita ke rumah sakit ya," usul Mauren. Andriansyah yang menggigil dibalik selimut menggelengkan kepala. Pria itu tak punya tenaga untuk sekadar bangun, tubuhnya benar-benar lemas. Belum lagi wajahnya yang pucat. Dan hawa panas menyerang tubuhnya secara tiba-tiba. "Kakak sudah minum obat?" tanya Mauren. Andriansyah menoleh, sekali lagi ia menggeleng lemah. Menggigit bibirnya sambil meringis. "Kenapa belum minum obat? Kakak sudah makan belum?" Berbagai pertanyaan Mauren lontarkan. Tidak ada jawaban membuat perempuan cantik itu kalut. Rasa khawatir datang membabi-buta, sebelumnya ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Apa mungkin Andriansyah sakit karena kehujanan, dan
Part 35 (Karma Untuk Sheri?) Kini Andriansyah dan Meli telah dinyatakan resmi bercerai. Baru beberapa menit yang lalu hakim persidangan mengetuk palu, membuat ikatan diantara mereka terputus. Meli menangis, ia tidak sanggup lagi membendung kesedihannya. Ingin sekali Meli menahan Andriansyah. Tapi apa daya, lihatlah dirinya, ia bahkan harus duduk di kursi roda, tidak bisa bicara. Jangankan melontarkan sepatah dua patah, untuk bergerak saja Meli kesusahan. Kenapa Andriansyah pergi meninggalkannya? Kenapa ia tega mengakhiri hubungan mereka di saat kondisinya seperti ini? Kenapa. Kenapa dan kenapa? Andriansyah menoleh ke kiri, bertepatan dengan Meli yang masih memandangnya. Tatapan mereka bertaut, Meli ingin marah. Tapi kondisinya membuatnya kesulitan. Semesta seolah sedang menghukumnya, takdir macam apa yang sekarang ia jalani. Hakim persidangan bangkit setelah mengatakan sidang hari ini selesai. Menyisakan keheningan di antara mereka berdua. "Maaf Mel, semoga kamu bisa menerima
Part 34 (Jantungku Berdebar Saat Aku menatapmu?) Malam itu Bu Sani mencoba menghubungi Andriansyah. Ia mendapatkan nomor Andriansyah dari Iden. Ia tidak tega melihat putrinya, sepanjang hari Meli menangisi pernikahannya yang ada di ujung tanduk. Sayang, kalimat maaf yang keluar dari mulut Bu Sani tidak mampu membuat menantunya luluh. Sidang perceraian mereka tetap akan dilangsungkan besok di pengadilan agama. Mau tak mau, Meli harus menerima kenyataan ini bahwa pernikahan mereka cukup sampai di sini. "Andriansyah Ibu mohon, jangan tinggalkan Meli. Kasihan dia, dia butuh kamu, Nak." Sambil berlinang air mata Bu Sani mengatakannya. Andriansyah berdiam diri, ia tidak menanggapi penuturan Bu Sani. Mertuanya itu tidak pernah mencoba memahami dirinya. Apa pun kesalahan Meli, di mata Bu sani tetaplah benar. Lagi pula untuk apa ia mempertahankan hubungannya dengan Meli, jika bukan Meli yang bertakhta di hatinya. "Tolong Andriansyah, Meli membutuhkanmu. Dia mencintaimu, maafkan putriku. S
Part 33 (Dia Menalakku?) Terhitung sudah tiga hari Meli berada di rumah sakit, kini perempuan itu sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Selama ia berada di sana, sekali pun Andriansyah tidak pernah datang menjenguknya, membuatnya kalut dan dihantui oleh rindu yang menggebu-gebu. "Pelan, pelan, Den," ucap Bu Sani. Iden menganggukkan kepala, dengan hati-hati pria itu mendudukan kakaknya di jok belakang. "Kakak jangan menangis lagi, apa pun yang terjadi. Ini lah yang terbaik." Iden mengusap bekas air mata di pipi Meli. Kakak perempuannya itu masih belum bisa menerima keputusan Andriansyah, masih ada secuil harapan Andriansyah akan datang kembali padanya. Memeluknya, dan mengatakan, kita akan mulai semuanya dari awal. "Kamu harus kuat Mel, Ibu akan rawat kamu sampai sembuh. Kamu bisa, Nak." Bu Sani menyahut, wanita itu lantas ikut masuk ke dalam mobil. Merangkul pundak putrinya. Ia bisa merasakan sakit yang putrinya rasakan. Ibu mana yang tidak terluka, mendapati anaknya seperti bosan
Part 32 (Pemohonan Rujuk!) Andriansyah duduk menghadap Iden, posisi mereka hanya terhalang oleh meja berukuran sedang. "Ada apa, Iden?" tanya Andriansyah tanpa basa-basi. Tidak ada senyuman, tampangnya benar-benar dingin. Iden mengangkat kedua tangannya di atas meja. Gurat kelelahan terlihat jelas di wajahnya. Banyak beban yang kini Iden pikul, semenjak berpisah dengan Mauren ia kehilangan arah, kehilangan tempat bersandar. Parahnya ia harus menerima kenyataan kalau Sheri ternyata selingkuh dengan sahabatnya, dan Dea bukan putrinya. Belum lagi masalah kakaknya, dan Ibunya yang kini harus berbaring di rumah sakit. "Kenapa Abang ceraikan Kak Meli?" Andriansyah mendongak, ternyata benar dugaannya. Iden belum mengetahui alasannya mengunggat cerai Meli. Perempuan itu. Ujar Andriansyah gemas. "Apa Ibu dan Kakakmu tidak cerita?" Alih-alih akan menjawab, Andriansyah justru melemparinya dengan pertanyaan. Kening Iden mengernyit heran, ia menggeleng cepat. "Ibu tidak cerita apa-apa pada
Part 31 (Menjilat Ludah?)[Bang, siang ini ada waktu luang tidak. Aku ingin mengajak Abang ketemuan?]Andriansyah berdiam diri beberapa saat, ia baru saja mendapatkan pesan dari adik iparnya yang mengajaknya bertemu. Iden menghubunginya melalui aplikasi berlogo biru. Dan hal itu membuatnya cukup terkejut. Sepertinya permasalahannya dengan Meli telah merambat kemana-mana. Atau bisa jadi, Meli tidak menceritakan kebenaran pada adiknya. "Ada apa Kak?"Andriansyah mendongak, pandangan matanya bertemu dengan mata Mauren yang teduh. "Ini mantan suamimu ngajak Kakak ketemuan."Mata Mauren memicing, ia mencondongkan tubuhnya sedikit. "Untuk apa?""Palingan juga bahas Meli.""Temui saja, selesaikan masalah ini baik-baik.""Adikku yang manis, kamu pengertian sekali."Dengan gemas Andriansyah mencubit pipi Mauren. Jantungnya berdegup kencang. Entah mengapa ia selalu merasa nyaman saat berada di dekat mauren. "Kakak akan temui Iden, kamu temani ya?"Mauren mengangkat wajahnya, ia mengunyah ku