Duduk di tanah kering yang telah menjadi pijakan depan rumah, tiga mahasiswi dan para wanita desa berkumpul di rumah Erina. Seperti biasa saat hendak membersihkan, merapikan dan mengikat sayuran yang dipanen, rumah Erina yang terbilang memiliki halaman cukup luas tentu menjadi tempat berkumpul."Kamu anak cantik, yang pakai anting depan belakang kuping, siapa namanya?" tanya Muniroh pada Desry yang sesaat terdiam memikirkan omongan wanita paruh baya itu.Sejanak Desry berpikir bahwa kalimat yang digunakan Muniroh sangat berantakan dan membingungkan, namun sekejap kemudian dia menyadari bahwa wanita di desa tidak mendapat izin untuk belajar, "Icasia Desry Putri, panggil Desry saja ya bu," jawabnya dengan kesopanan yang palsu."Oh Desry," timpal wanita itu yang hanya ditanggapi senyum canggung, "kamu jangan kayak teman-teman kamu itu ya, enggak ada sopannya sama orang tua. Sudah berbuat salah, kurang ajar, kupingnya budek kalau dibilangin, enggak minta maaf juga," lanjutnya yang tentu s
Desis dengan rasa sakit mendampingi tiga mahasiswi dan seorang wanita muda dari desa, keterampilan sederhana tangan Vina menepukkan kapas basah di kaki Erina, "tahan ya, nanti agak perih," ucap wakil ketua kelompok itu pada pasien dadakannya.Meneteskan obat merah untuk membunuh kuman sekaligus mencegah infeksi, ringis pelan dengan desis terdengar jelas dalam keheningan ini. Memasangkan plester khusus luka dan pengobatan sederhana selesai, Vina tersenyum kecil pada Erina yang mengulum senyum lebih dulu."Mau tolong aku urus sayur lagi, enggak? Biar besok bisa dijual Agus ke kota," kata Erina yang ternyata menambah kebungkaman bagi para mahasiswi.Ada begitu banyak pertanyaan, ketakutan, dan kegelisahan yang mahasiswi simpan membuat mulut mereka terbungkam serentak. Tak disangka, Erina kembali berucap, "Kalian takut sama mereka? Seharusnya kalian takut sama Danang si kepala desa sama Agus suamiku.""Hah?" tukas ketiganya serentak."Sudah ah, mau tolong aku enggak?" tegas Erina membuat
Diam, canggung, dan bingung hinggap dalam benak Vina dan tiga teman lainnya. Tatapan tajam Erina tidak kunjung mereda, bahkan semakin menajam saat tak kunjung dapat jawaban dari pria itu."Erwin, duduk dulu sini," kata Liona memecahkan hening di antara mereka berlima.Dalam kecanggungan sekaligus seberkas rasa takut, Erwin mendekati tiga teman wanitanya sambil tertunduk sebab pandangan Erina masih terus tertuju pada Erwin.Kegelisahan menghampiri perasaan pria dengan karet rambut di kepalanya, "lo tadi bilang apa, Win?" tanya Liona memancing pembicaraan."Hm ... Enggak ada," jawab Erwin setelah berdeham panjang."Tadi kamu bilang kalau bapak dan anak aku dibunuh," sahut Erina cepat memotong niat Liona untuk berbicara, "aku tanya, siapa yang bilang begitu ke kamu?"Liona berdecak saat rencananya untuk membuat topik pembicaraan baru dengan mengalihkan yang ada pun gagal, ketangkasan dengan fokus Erina sungguh mengkhawatirkan, "memangnya kenapa, Kak?" tanya Liona mencoba cara lain, berha
Tiga hari berlalu, malam demi malam dengan gentayang pikiran takut dan perasaan berkecamuk telah berhasil dilewati. Rasa lelah atas aktivitas harian dengan daya pikir untuk adaptasi, sungguh menguras tenaga yang tak jarang menimbulkan perang batin.Memasuki hari ke empat, enam mahasiswa itu sudah berkumpul di kamar pojok meski keadaan di luar belum tampak cahaya mentari yang mengintip. Bukan malas lagi yang membuat mereka enggan memulai hari, tetapi ketidaksamaan prinsip hidup mahasiswa dengan penduduk desa. Hanya ada satu hal yang membuat mereka bertahan, yaitu tugas akhir yang harus dituntaskan."Gimana hari kalian kemarin?" tanya Afrian membuka topik pembicaraan dengan para wanita yang masih bersandar dan terpejam."Menurut lo apalagi yang bisa dilakukan cewek-cewek di sini?" sahut Desry acuh tak acuh, bahkan ia sama sekali tidak membuka matanya walau untuk sekadar mengintip lawan bicaranya."Ada hal menarik enggak? Kayak kemarin lusa, Erina berantem sama ibu-ibu di sini kan," tutu
Derit pintu kayu terbuka perlahan dalam harapan cemas, posisi kaki memasang kuda-kuda secara mantap juga dilakukan Angga dan Erwin, sementara Vina berdiri di tengah ruang tepat berhadapan dengan pintu utama. Empat insan itu saling menanti kejadian selanjutnya tepat sesaat pintu terbuka, "Vina ...." Suara Erina menyambut diikuti tangannya yang mendorong pintu agar cepat terbuka, dorongan yang cukup membuat Afrian tersentak.Dorongan mengejutkan itu diselesaikan dengan terjatuhnya tubuh Erina, bersetelan daster yang sudah compang-camping kian menambah kesan mengkhawatirkan dari sosok pembimbing para mahasiswa selama di desa ini. Tanpa banyak bicara lagi, tiga pria itu membopong Erina ke kamar pojok dan Vina kembali mengunci pintu utama.Kaki yang berlumuran darah dengan banyak luka lecet serupa bekas cakar, rambut acak-acakan, dan badan yang basah dengan keringat tentu memancing rasa heran dalam benak masing-masing mahasiswa, "jam berapa, Af?" tanya Angga mengisyaratkan bahwa mereka har
[2 Tahun Lalu]Menjalani hari berstatus sebagai mahasiswa semester awal, tepatnya semester dua. Pastilah dipenuhi berbagai ekspektasi dan keinginan untuk terlibat langsung dengan segala kegiatan kampus, ingin meraih banyak penghargaan atas kegiatan yang diikuti, berharap nilai terdongkrak sempurna karena aktif dalam kegiatan kampus, dan banyak lagi.Tidak jarang keinginan dan ekspektasi yang dicurahkan melebihi batas kemampuan yang dimiliki, melebihi batas waktu yang ditetapkan, dan meninggalkan banyak kekecewaan dan rasa gagal. Meski begitu, momen-momen pada semester awal juga yang seringkali dianggap sebagai proses pembentukan mental menuju semester berikutnya.Seorang wanita berambut cokelat yang terpadu indah dengan kulit putih bersihnya, penampilannya menarik meski sebagai mahasiswa semester awal yang selalu dinantikan banyak teman seangkatannya. Tidak hanya bermodalkan penampilan menarik, wanita dengan kalung liontin sabit itu juga memiliki keaktifan, ketangkasan, dan kepintaran
Trauma, tentu suatu hal yang tidak ingin dialami dan dirasakan siapapun. Namun, perasaan yang dilewati dengan berbagai beban pikiran dan kejadian yang diluar kendali, kerap kali menjadi siksaan dalam diri seseorang."Kuat?" tanya seorang pria berambut cepak pada wanita yang sedari tadi menunduk.Kaki yang tertekuk dan pundak yang terlihat lemah, seolah tidak bisa lagi menanggung beratnya beban hidup. Bermandikan peluh dan air mata yang sulit dikendalikan, wanita bernama lengkap Arshavina Citrani itu mengangguk untuk menanggapi pertanyaan ketua kelompoknya, "harus," jawabnya lirih.Perlahan kepala itu terangkat dan menyibakkan rambut lurus panjang yang sedari tadi menutupi wajahnya, mengusap keseluruhan wajah dengan baju yang disingkapkan guna menghapus jejak peluh dan air mata, "enggak ada alasan untuk kabur dari tanggung jawab," ucap Vina mengulum senyum simpul."Yakin?" tanya Afrian sambil mengulurkan tangan membantu Vina untuk berdiri, uluran tangan yang disambut cepat bersama deng
Kehebohan wanita berkulit tan itu benar-benar mengusik suasana hati Vina yang berada di ambang batas, keceriaannya jelas terasa meski berbanding terbalik dengan perasaan Vina kini. Seperti ungkapan yang baru diutarakannya tadi, tapi ... untuk apa program kerja disukai para wanita desa bila kepala desa tidak memberi izin?Tidak penting disukai oleh mayoritas orang bila sang penguasa tidak menyukai, tidak penting pula berada di pihak besar bila tidak memiliki pengaruh seperti pihak tinggi. Begitulah kondisi yang sekarang dialami sekaligus yang dipikirkan Vina, sampai kemudian langkah berderap mendekati kamar pojok.Afrian, Erwin, dan Angga bergantian masuk ke kamar dan duduk bersandar di salah satu sisi ruangan. Melihat enam insan itu duduk, perlahan dan dibantu Liona pun Erina beranjak duduk dan juga bersandar dengan kaki diluruskan."Kenapa kalian ini?" tanya Erina menyadari keheningan di antara anggota kelompok mahasiswa itu.Tidak ada jawaban, enam mahasiswa amat disibukkan oleh piki