Diam, canggung, dan bingung hinggap dalam benak Vina dan tiga teman lainnya. Tatapan tajam Erina tidak kunjung mereda, bahkan semakin menajam saat tak kunjung dapat jawaban dari pria itu."Erwin, duduk dulu sini," kata Liona memecahkan hening di antara mereka berlima.Dalam kecanggungan sekaligus seberkas rasa takut, Erwin mendekati tiga teman wanitanya sambil tertunduk sebab pandangan Erina masih terus tertuju pada Erwin.Kegelisahan menghampiri perasaan pria dengan karet rambut di kepalanya, "lo tadi bilang apa, Win?" tanya Liona memancing pembicaraan."Hm ... Enggak ada," jawab Erwin setelah berdeham panjang."Tadi kamu bilang kalau bapak dan anak aku dibunuh," sahut Erina cepat memotong niat Liona untuk berbicara, "aku tanya, siapa yang bilang begitu ke kamu?"Liona berdecak saat rencananya untuk membuat topik pembicaraan baru dengan mengalihkan yang ada pun gagal, ketangkasan dengan fokus Erina sungguh mengkhawatirkan, "memangnya kenapa, Kak?" tanya Liona mencoba cara lain, berha
Tiga hari berlalu, malam demi malam dengan gentayang pikiran takut dan perasaan berkecamuk telah berhasil dilewati. Rasa lelah atas aktivitas harian dengan daya pikir untuk adaptasi, sungguh menguras tenaga yang tak jarang menimbulkan perang batin.Memasuki hari ke empat, enam mahasiswa itu sudah berkumpul di kamar pojok meski keadaan di luar belum tampak cahaya mentari yang mengintip. Bukan malas lagi yang membuat mereka enggan memulai hari, tetapi ketidaksamaan prinsip hidup mahasiswa dengan penduduk desa. Hanya ada satu hal yang membuat mereka bertahan, yaitu tugas akhir yang harus dituntaskan."Gimana hari kalian kemarin?" tanya Afrian membuka topik pembicaraan dengan para wanita yang masih bersandar dan terpejam."Menurut lo apalagi yang bisa dilakukan cewek-cewek di sini?" sahut Desry acuh tak acuh, bahkan ia sama sekali tidak membuka matanya walau untuk sekadar mengintip lawan bicaranya."Ada hal menarik enggak? Kayak kemarin lusa, Erina berantem sama ibu-ibu di sini kan," tutu
Derit pintu kayu terbuka perlahan dalam harapan cemas, posisi kaki memasang kuda-kuda secara mantap juga dilakukan Angga dan Erwin, sementara Vina berdiri di tengah ruang tepat berhadapan dengan pintu utama. Empat insan itu saling menanti kejadian selanjutnya tepat sesaat pintu terbuka, "Vina ...." Suara Erina menyambut diikuti tangannya yang mendorong pintu agar cepat terbuka, dorongan yang cukup membuat Afrian tersentak.Dorongan mengejutkan itu diselesaikan dengan terjatuhnya tubuh Erina, bersetelan daster yang sudah compang-camping kian menambah kesan mengkhawatirkan dari sosok pembimbing para mahasiswa selama di desa ini. Tanpa banyak bicara lagi, tiga pria itu membopong Erina ke kamar pojok dan Vina kembali mengunci pintu utama.Kaki yang berlumuran darah dengan banyak luka lecet serupa bekas cakar, rambut acak-acakan, dan badan yang basah dengan keringat tentu memancing rasa heran dalam benak masing-masing mahasiswa, "jam berapa, Af?" tanya Angga mengisyaratkan bahwa mereka har
[2 Tahun Lalu]Menjalani hari berstatus sebagai mahasiswa semester awal, tepatnya semester dua. Pastilah dipenuhi berbagai ekspektasi dan keinginan untuk terlibat langsung dengan segala kegiatan kampus, ingin meraih banyak penghargaan atas kegiatan yang diikuti, berharap nilai terdongkrak sempurna karena aktif dalam kegiatan kampus, dan banyak lagi.Tidak jarang keinginan dan ekspektasi yang dicurahkan melebihi batas kemampuan yang dimiliki, melebihi batas waktu yang ditetapkan, dan meninggalkan banyak kekecewaan dan rasa gagal. Meski begitu, momen-momen pada semester awal juga yang seringkali dianggap sebagai proses pembentukan mental menuju semester berikutnya.Seorang wanita berambut cokelat yang terpadu indah dengan kulit putih bersihnya, penampilannya menarik meski sebagai mahasiswa semester awal yang selalu dinantikan banyak teman seangkatannya. Tidak hanya bermodalkan penampilan menarik, wanita dengan kalung liontin sabit itu juga memiliki keaktifan, ketangkasan, dan kepintaran
Trauma, tentu suatu hal yang tidak ingin dialami dan dirasakan siapapun. Namun, perasaan yang dilewati dengan berbagai beban pikiran dan kejadian yang diluar kendali, kerap kali menjadi siksaan dalam diri seseorang."Kuat?" tanya seorang pria berambut cepak pada wanita yang sedari tadi menunduk.Kaki yang tertekuk dan pundak yang terlihat lemah, seolah tidak bisa lagi menanggung beratnya beban hidup. Bermandikan peluh dan air mata yang sulit dikendalikan, wanita bernama lengkap Arshavina Citrani itu mengangguk untuk menanggapi pertanyaan ketua kelompoknya, "harus," jawabnya lirih.Perlahan kepala itu terangkat dan menyibakkan rambut lurus panjang yang sedari tadi menutupi wajahnya, mengusap keseluruhan wajah dengan baju yang disingkapkan guna menghapus jejak peluh dan air mata, "enggak ada alasan untuk kabur dari tanggung jawab," ucap Vina mengulum senyum simpul."Yakin?" tanya Afrian sambil mengulurkan tangan membantu Vina untuk berdiri, uluran tangan yang disambut cepat bersama deng
Kehebohan wanita berkulit tan itu benar-benar mengusik suasana hati Vina yang berada di ambang batas, keceriaannya jelas terasa meski berbanding terbalik dengan perasaan Vina kini. Seperti ungkapan yang baru diutarakannya tadi, tapi ... untuk apa program kerja disukai para wanita desa bila kepala desa tidak memberi izin?Tidak penting disukai oleh mayoritas orang bila sang penguasa tidak menyukai, tidak penting pula berada di pihak besar bila tidak memiliki pengaruh seperti pihak tinggi. Begitulah kondisi yang sekarang dialami sekaligus yang dipikirkan Vina, sampai kemudian langkah berderap mendekati kamar pojok.Afrian, Erwin, dan Angga bergantian masuk ke kamar dan duduk bersandar di salah satu sisi ruangan. Melihat enam insan itu duduk, perlahan dan dibantu Liona pun Erina beranjak duduk dan juga bersandar dengan kaki diluruskan."Kenapa kalian ini?" tanya Erina menyadari keheningan di antara anggota kelompok mahasiswa itu.Tidak ada jawaban, enam mahasiswa amat disibukkan oleh piki
Semua mata tertuju pada pria berambut cokelat bersetelan kaus oblong dan celana pendek, pria yang berseru dan berhasil mengalihkan fokus tujuan tiga temannya. Empat hari dari lima puluh hari yang diberikan pihak kampus untuk mengabdi pada masyarakat, tentu bukanlah waktu yang sebentar jika mengingat progres mereka yang bahkan belum dimulai."Kita palsukan laporan mingguan dari kegiatan kita selama ini, sudah hampir seminggu, kan?" ucap Angga membuat Afrian langsung berdecak."Enggak semudah itu, kocak," timpal Afrian seraya membaringkan dirinya, "kita bakal presentasikan itu dan juga ada dokumentasinya. Kita baru kasih usul saja sudah dipatahkan sama kepala desanya, gimana mau ada program?" lanjut ketua kelompok itu dengan kekesalan yang tak bisa ia sembunyikan.Melihat kepasrahan yang tercermin dari seorang Afrian, membuat tiga anggota lain turut membaringkan dirinya dan sesekali menghembuskan napas bebas, "sudah empat hari di sini, empat hari juga gue enggak olahraga Yoga, empat har
Perintah yang menggaung dari depan rumah terdengar jelas di telinga wanita dalam kelompok itu, perintah yang dengan mudahnya diserukan meski tidak menyinggung, "dari pada bendungan, gue lebih setuju tetap adakan sosialisasi dan kegiatan belajar untuk para wanita di sini." Vina berceletuk sambil mengambil perlengkapan yang diminta Afrian."Kenapa?" tanya Liona mengambil alih alat tulis dari tangan Vina."Bikin bendungan itu enggak bisa dalam waktu satu bulan dan itu juga bakal makan biaya besar," jawab Vina sambil menyodorkan buku ke Desry yang sudah memegang kamera dan ponsel untuk merekam segala hal."Iya tapi itu bakal bermanfaat banget buat warga sini," ucap Liona sebagai orang yang telah mengusulkan pembuatan bendungan itu."Tapi saat kita selesai di sini, mereka yang enggak paham apapun, bendungan buat listrik itu bakal rusak dan terbengkalai. Syukur banget enggak makan korban jiwa," sahut Vina seraya beranjak keluar kamar, "sudahlah kita lanjut bahas di depan saja sama yang cowo