Jawaban Vina yang langsung diucapkan begitu saja, tentu membuat Afrian sontak menoleh dan melihat ke arah Vina. Pria dengan rambut cepak itu tersenyum masam dan kembali mengumpulkan fokusnya pada Erina, untuk segala hal terkait memang harus segera dibahas empat mata bersama Vina.
"Dia enggak ngomong apa-apa?" tanya Erina memastikan jawaban Vina, pertanyaan yang segera mendapat anggukan dengan senyum simpul penuh keyakinan, "ya sudah kalau begitu."Baru saja Erina hendak berdiri, niatnya harus diurungkan saat pria berambut kribo dengan komik di pangkuannya berkata, "Kak, untuk makan atau konsumsi kita selama di sini gimana?"Tidak ada sahutan yang seiras dari sesama mahasiswa, tetapi pertanyaannya cukup mewakilkan, "oh ... itu bisa langsung ke rumahku kalau kalian lapar, bisa dibawa juga kalau malas bolak-balik," jawab Erina yang mendapat dehaman panjang dari enam mahasiswa itu, "kamu namanya siapa?" lanjut Erina bertanya pada pria berambut kribo itu."Erwin Widianto, panggil Erwin atau Win saja kak," ucap pria itu tersenyum lebar dengan kecanggungan yang tak dapat disembunyikan dengan senyum itu."Kalau kamu?" tanya Erina menunjuk pria dengan rambut pendek namun berponi samping, pria yang sedari awal kedatangan selalu disibukkan dengan laptopnya."Anggra Aji Saputra, panggil saja Angga," kata pria itu sempat terkejut karena kefokusannya pada layar laptop yang tidak pernah terlepas, "oh iya kak, sekalian tanya dong. Buat ketemu sama kepala desa atau pemangku adat, kita bisa ke rumahnya langsung atau ke ruang desa dekat gerbang depan?""Mau ngapain?" tanya wanita yang kini mengikat rambut kusut nan ikalnya, "kalian bisa temui kepala desa kapanpun di rumahnya, kalau pemangku adat biasanya pagi di dekat tempat parkir kapal, kalau siang sampai sore di kebun desa," paparnya menjelaskan secara singkat kebiasaan dua pemimpin desa Metanoia."Mau kasih tahu program kita selama di sini, barangkali besok bisa langsung kita kerjakan gitu," jawab Afrian menyadari arah pertanyaan Angga."Oh ya sudah nanti malam, kalian istirahat saja dulu. Kalau bisa, kalian ketemu sama Pak Ujang dulu, soalnya cuma mulut Pak Ujang yang didengar sama Danang," tutur Erina kemudian berdiri dan langsung berpamitan.Sama seperti saat membimbing mahasiswa berkeliling desa dan mengenalkan lingkungan, wanita itu hanya menjawab pertanyaan dan menjelaskan singkat. Walau lebih banyak tanggapan dengan tiga kata yaitu, 'aku enggak tahu.' Namun cukup untuk para mahasiswa mengenal karakter yang dimiliki oleh Erina.Seperginya salah satu wanita muda di desa yang mengenakan pakaian tipis itu, enam mahasiswa kembali ke kamar pojok sesuai arahan Afrian yang ingin membicarakan banyak hal, termasuk membuat kesepakatan sebagaimana kelompok dalam bekerja sama pada suatu kegiatan. Meletakkan buku tulis kampus, Afrian berujar, "Kita belum tahu karakter desa Metanoia, yang jelas belum ada dua puluh empat jam, kita sudah mengalami banyak hal kagak enak. Jadi untuk berjaga-jaga, kalau mau gosip atau bicara tentang desa, kita lewat buku ini karena keterbatasan sinyal. Oke?"Tidak ada tanggapan khusus dari lima rekannya, alih-alih menjawab justru mereka mengambil pulpen dari tas masing-masing. Melihat respon anggota kelompoknya yang cukup positif dan memahami hanya dengan sekali penjelasan, Afrian tersenyum simpul."Jadi lo mau ngomong apaan? Gue mau ke kebun, anggap saja kenalan sama warga setempat sambil gue curi obrolan tentang tiga ide kita," ujar Desry sambil mengeluarkan kamera yang biasa ia gunakan untuk membuat konten."Curi obrolan atau buat konten? Kagak ada sinyal di sini," sahut Liona dengan ketusnya."Tapi itu ide bagus loh, Li. Gue ikut nanti," ucap Vina menyetujui ide Desry, sang pemilik ide pun terkekeh puas seolah mengejek Liona."Sebentar," kata Afrian mulai menulis di atas bukunya, benda yang ia khususkan untuk percakapan seputar desa dalam kelompoknya. Tidak butuh waktu lama, Afrian meletakkan buku itu tepat di tengah mereka, buku yang sudah menampakkan barisan tulisan dengan pulpen bertintakan hitam.'1. Sebenarnya yang telepon gue dan Vina, kasih kabar kalau kita diterima KKN itu bukan Pak Ujang atau pemangku adat. Tapi Erina.''2. Tadi saat gue dan Vina berurusan sama si botak yang intip Desry, sebenarnya si botak itu bilang kalau abangnya adalah penyelamat cewek bernama Ririn, karena Ririn dibenci satu desa.''3. Kata si botak, Danang alias kepala desa itu pembunuh.''4. Erina sampai ke sini cuma buat tanya, hal yang diomongin si botak ke kita.'Tanpa banyak pikir lagi, Angga meraih buku itu dan menuliskan sesuatu. Tidak menghabiskan banyak waktu melebihi durasi Afrian menulis, Angga meletakkan buku itu.'5. Ada gudang yang cuma boleh dimasukin kepala desa, gudang itu bau aneh, dan pintu kayu gudang itu dililit rantai kapal pakai beberapa gembok besar.'Desry menyorot buku yang ditulis teman-temannya itu, lalu meletakkan kamera di penopang dengan tiga kaki khusus kamera. Tanpa basa-basi seperti khas kecerewetan seorang Desry, wanita itu mengambil buku dan menulis sesuatu juga.'Jadi kesimpulannya itu:''1. Erina yang kita kira buta angka dan huruf, ternyata bisa telepon kita?''2. Ririn itu siapa?''3. Si botak itu kayak orang berkebutuhan khusus, kan? Bohong mungkin.''4. Biar apa kira-kira Erina ke sini?''5. Kenapa bau aneh?'Afrian membaca tanggapan dari Desry lalu tersenyum kecut, seolah mengatakan bahwa semua orang paham akan situasi yang terjadi hingga timbul pertanyaan. Tidak perlu untuk dituliskan, namun kemudian Vina berkata, "Perasaan gue ya, kita bisa jawab ini semua dengan pertanyaan baru nanti. Sudahlah, gue mau ke kebun buat pendekatan sama warga setempat. Kalau kalian mau kemana?""Gue ke tiang pemancar, mau unduh panduan pembuatan laporan program kerja," ucap Angga yang memang sudah menyiratkan, bahwa dirinya yang akan mengambil alih penuh terkait penyuntingan dan penentuan tugas nanti."Gue ke dermaga, kalau perlu ikut berlayar jarak dekat juga kagak masalah," sambung Erwin menyimpan komiknya di ransel."Gue juga mau ke kebun, temui Pak Ujang bahas program kerja," kata Afrian yang menjadi akhir dari perkumpulan mereka pada sore menjelang hari yang gelap gulita.Sedangkan Liona hanya mengikuti jejak Vina, sebagaimana kebiasaannya mengamati lingkungan sebagai bagian dari hobinya yang tersalurkan ke jurusan Teknologi Lingkungan Hidup. Dan Desry, tentu saja akan disibukkan dengan rekaman hariannya untuk bahan konten.Tanpa basa-basi lagi, enam mahasiswa itu bergegas keluar rumah dan menuju tempat yang dikehendaki masing-masing diri, "kunci gue yang bawa, kalau mau balik dan rumah masih terkunci, mampir saja ke kebun. Denah gambaran gue sudah difoto, kan? Walau enggak ada jaringan, ponsel harus tetap ada buat foto, video, rekaman suara, atau apapun itu yang sekiranya penting.""Siap, Bos!" seru lima mahasiswa lainnya menanggapi penuturan dari Afrian, seruan yang langsung mengantarkan niat mereka untuk bergegas mencari kesibukan di desa orang.Langit telah gelap dengan taburan bintang di angkasa luas yang hanya bisa dipandang, bersama cahaya bulan purnama yang lebih dominan menarik perhatian, lima mahasiswa beriringan jalan menuju rumah. Cahaya ponsel yang tidak seberapa cukup membantu penglihatan, setidaknya mereka harus sudah mulai membiasakan diri dari terbatasnya akses listrik.Baru sampai di depan pohon mahoni yang berada dekat penginapan, Afrian terhenti dan memutar arah tubuhnya untuk melihat ke anggota kelompok yang ia pimpin. Sedari tadi, memang Afrian berjalan di paling depan, "Kemana Angga?" tanya pria itu langsung menimbulkan kecemasan dari anggota kelompoknya, apalagi mengingat Angga sore tadi berpamitan untuk mencari sinyal di dekat tiang pemancar sinyal, tiang yang jelas berada tidak jauh dari gudang terlarang milik kepala desa."Masih di tiang sinyal kali," celetuk Erwin menjawab."Ya sudah ayo kita jemput, yang cewek masuk duluan saja," tukas Afrian menyerahkan kunci ke Vina, lalu menarik lengan Erwin untuk
Kegelapan gulita memaksa mata untuk dapat melihat dalam gelap meski hampir mustahil rasanya, hanya kepekaan diri yang menguatkan kesadaran. Vina kembali menyalakan ponselnya dan menjulurkan tangan sambil memperhatikan sekitar, hanya dengan bekal melalui cahaya ponsel temaram."Gue punya ide," bisik Vina yang terdengar jelas oleh lima temannya, bisikan yang terasa seperti ucapan akibat keheningan, "kita ikuti mereka, tadi gue lihat ada kayak cahaya lentera. Gimana?""Ngapain?" sahut Desry langsung membuat tangan Vina yang memegang ponsel untuk terjulur ke depan wajahnya."Gue enggak mau basa-basi. Yang mau ikut ya ayo, yang enggak mau ikut silakan tidur," tukas Vina mematikan ponselnya lalu terasa wanita itu berdiri, getaran tipis dari lantai kayu cukup menyuratkan ketegasan wanita itu."Vin ... Vin," panggil Afrian yang tidak lagi menjaga intonasi suaranya, "jangan gegabah," lanjutnya dengan bantuan sorotan senter ponsel dari empat anggota kelompok.Sesaat langkah Vina terhenti, namun
Ufuk timur telah mengintip dengan sinar jingga dan berkas cahaya ungu yang turut menyinar samar, tidak ada bunyi ayam berkokok atau lalu lalang kendaraan yang khas para mahasiswa dengar setiap harinya. Hari kedua telah dimulai, setelah segala kegilaan mereka lewati kini harus kembali berhadapan dengan wajah kepalsuan, layaknya maling yang tidak mengetahui sandi brankas penyimpanan barang berharga.Tangan direnggangkan ke atas sambil menguap lebar, mengabaikan wajah yang mungkin terlihat aneh dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih terpejam. Sensasi mager alias malas gerak adalah hal biasa yang dirasakan orang-orang setiap paginya, orang yang hanya sudah mengetahui rutinitas monoton atau rutinitas yang tidak diketahui. Rasa yang tentu saja tidak bisa dimiliki oleh orang yang sudah menunggu hari, merencanakan sesuatu, atau memang menunggu hal tertentu.Baru saja mata mengerjap untuk menyesuaikan segala yang hendak dilihat, senyuman konyol menyapa satu sama lain di antara tiga wanit
"Oke kak sampai jumpa lagi," ujar enam mahasiswa itu serempak sambil melambaikan tangannya tanda perpisahan sementara.Melihat Erina sudah menjauh dari area rumah sementara, kelompok itu pun bergegas masuk dan berkumpul lagi di kamar terpojok, "jadi yang suruh Agus? Lo tahu cowok itu?""Suami Erina," jawab Angga atas pertanyaan Vina pada Afrian, "gue dengar namanya dipanggil saat gue lihat dia ajarin anak kecil buat memainkan kelaminnya demi kepuasan, gue juga dengar namanya semalam saat kita amati rumah itu," lanjutnya yang langsung mendapat jentikkan jari dari Vina."Benar, gue lupa!" ucap sang wakil ketua kelompok sambil tersenyum masam."Jadi kita juga diawasin dong?" tanya Desry sambil mengganti baterai kameranya dengan baterai cadangan."Wajar, semua tamu juga diawasin pemilik rumah," sahut Afrian menyiratkan bahwa, wajar baginya bila mahasiswa diawasi warga desa saat proses KKN."Tapi apa harus sampai suruh orang buat ke rumah ini cuma buat kasih penjelasan kayak intimidasi begi
Duduk di tanah kering yang telah menjadi pijakan depan rumah, tiga mahasiswi dan para wanita desa berkumpul di rumah Erina. Seperti biasa saat hendak membersihkan, merapikan dan mengikat sayuran yang dipanen, rumah Erina yang terbilang memiliki halaman cukup luas tentu menjadi tempat berkumpul."Kamu anak cantik, yang pakai anting depan belakang kuping, siapa namanya?" tanya Muniroh pada Desry yang sesaat terdiam memikirkan omongan wanita paruh baya itu.Sejanak Desry berpikir bahwa kalimat yang digunakan Muniroh sangat berantakan dan membingungkan, namun sekejap kemudian dia menyadari bahwa wanita di desa tidak mendapat izin untuk belajar, "Icasia Desry Putri, panggil Desry saja ya bu," jawabnya dengan kesopanan yang palsu."Oh Desry," timpal wanita itu yang hanya ditanggapi senyum canggung, "kamu jangan kayak teman-teman kamu itu ya, enggak ada sopannya sama orang tua. Sudah berbuat salah, kurang ajar, kupingnya budek kalau dibilangin, enggak minta maaf juga," lanjutnya yang tentu s
Desis dengan rasa sakit mendampingi tiga mahasiswi dan seorang wanita muda dari desa, keterampilan sederhana tangan Vina menepukkan kapas basah di kaki Erina, "tahan ya, nanti agak perih," ucap wakil ketua kelompok itu pada pasien dadakannya.Meneteskan obat merah untuk membunuh kuman sekaligus mencegah infeksi, ringis pelan dengan desis terdengar jelas dalam keheningan ini. Memasangkan plester khusus luka dan pengobatan sederhana selesai, Vina tersenyum kecil pada Erina yang mengulum senyum lebih dulu."Mau tolong aku urus sayur lagi, enggak? Biar besok bisa dijual Agus ke kota," kata Erina yang ternyata menambah kebungkaman bagi para mahasiswi.Ada begitu banyak pertanyaan, ketakutan, dan kegelisahan yang mahasiswi simpan membuat mulut mereka terbungkam serentak. Tak disangka, Erina kembali berucap, "Kalian takut sama mereka? Seharusnya kalian takut sama Danang si kepala desa sama Agus suamiku.""Hah?" tukas ketiganya serentak."Sudah ah, mau tolong aku enggak?" tegas Erina membuat
Diam, canggung, dan bingung hinggap dalam benak Vina dan tiga teman lainnya. Tatapan tajam Erina tidak kunjung mereda, bahkan semakin menajam saat tak kunjung dapat jawaban dari pria itu."Erwin, duduk dulu sini," kata Liona memecahkan hening di antara mereka berlima.Dalam kecanggungan sekaligus seberkas rasa takut, Erwin mendekati tiga teman wanitanya sambil tertunduk sebab pandangan Erina masih terus tertuju pada Erwin.Kegelisahan menghampiri perasaan pria dengan karet rambut di kepalanya, "lo tadi bilang apa, Win?" tanya Liona memancing pembicaraan."Hm ... Enggak ada," jawab Erwin setelah berdeham panjang."Tadi kamu bilang kalau bapak dan anak aku dibunuh," sahut Erina cepat memotong niat Liona untuk berbicara, "aku tanya, siapa yang bilang begitu ke kamu?"Liona berdecak saat rencananya untuk membuat topik pembicaraan baru dengan mengalihkan yang ada pun gagal, ketangkasan dengan fokus Erina sungguh mengkhawatirkan, "memangnya kenapa, Kak?" tanya Liona mencoba cara lain, berha
Tiga hari berlalu, malam demi malam dengan gentayang pikiran takut dan perasaan berkecamuk telah berhasil dilewati. Rasa lelah atas aktivitas harian dengan daya pikir untuk adaptasi, sungguh menguras tenaga yang tak jarang menimbulkan perang batin.Memasuki hari ke empat, enam mahasiswa itu sudah berkumpul di kamar pojok meski keadaan di luar belum tampak cahaya mentari yang mengintip. Bukan malas lagi yang membuat mereka enggan memulai hari, tetapi ketidaksamaan prinsip hidup mahasiswa dengan penduduk desa. Hanya ada satu hal yang membuat mereka bertahan, yaitu tugas akhir yang harus dituntaskan."Gimana hari kalian kemarin?" tanya Afrian membuka topik pembicaraan dengan para wanita yang masih bersandar dan terpejam."Menurut lo apalagi yang bisa dilakukan cewek-cewek di sini?" sahut Desry acuh tak acuh, bahkan ia sama sekali tidak membuka matanya walau untuk sekadar mengintip lawan bicaranya."Ada hal menarik enggak? Kayak kemarin lusa, Erina berantem sama ibu-ibu di sini kan," tutu